Fatwa MUI Mengoyak Ajaran Sedulur Papat Kelima Pancer

Desantara

Agama seharusnya menjadi ruang ekspresi diri yang membahagiakan. Idealnya, ragam pemikiran, keyakinan, atau olah jiwa lain mampu dipayungi oleh keberadaan agama tersebut. Namun kadangkala dan bahkan yang sering terjadi, kekuatan dan heterogenitas pikir, hati atau jiwa malah menemukan rantai agama yang begitu kuat membelenggunya. Sehingga, wajah agama yang seharusnya manis dan ramah, malah terlihat amat angker dan mengerikan.

Salah satu wajah agama yang tampak mengerikan adalah ketika ia membuat “kebijakan” publik yang diskriminatif. Ia menjadi motor penggerak pelanggaran terhadap kebebasan tafsir agama, hak-hak budaya dan sipil manusia. Dengan jargon kembali kepada ajaran (di)murni(kan) atau demi menyelamatkan masyarakat awam dari ajaran yang menyesatkan, agama benar-benar telah menjadi algojo yang haus darah. Wajah seram agama inilah yang telah menjadikan Ajaran Sedulur Papat Kelima Pancer (ASPKP) luluh lantah dan para pengikutnya tercerai-berai di antara luka hati yang teramat dalam.

Salah satu wajah agama yang tampak mengerikan adalah ketika ia membuat “kebijakan” publik yang diskriminatif. Ia menjadi motor penggerak pelanggaran terhadap kebebasan tafsir agama, hak-hak budaya dan sipil manusia. Dengan jargon kembali kepada ajaran (di)murni(kan) atau demi menyelamatkan masyarakat awam dari ajaran yang menyesatkan, agama benar-benar telah menjadi algojo yang haus darah. Wajah seram agama inilah yang telah menjadikan Ajaran Sedulur Papat Kelima Pancer (ASPKP) luluh lantah dan para pengikutnya tercerai-berai di antara luka hati yang teramat dalam.

ASPKP-ku dan keyakinanmu

 

ASPKP populer pada tahun 1999 di Tasikmalaya, tepatnya di kampung Cigaleuh. desa Santana Mekar, kecamatan Cisayong. Mereka dipimpin oleh seorang tokoh yang bernama HMS Gali Kutub Robbani dari Cibeas (sebuah kampung kecil di Cisayong). Sebagai pusat kegiatan, mereka mendirikan sebuah bangunan spiritual mirip pure. Nama bangunan tersebut disesuaikan dengan nama ajarannya, yaitu Sedulur Papat Kelima Pancer.

Di bangunan tersebut, Sang tokoh dan para pengikutnya melakukan diskusi, dialog, dan kontemplasi. Malah menurut sebagian sumber, dalam setiap pertemuan, tafsir al-Quran menjadi salah satu kajian khusus.

Ajaran, yang para pengikutnya disebut-sebut sebagai pengagum Syekh Abdul Qadir Jaelani tersebut, memang melawan arus penafsiran yang (di)lazim(kan) dan (di)linear(kan), bahkan dituding telah melakukan pelecehan agama yang terang-terangan.

Di antara beberapa inti ajaran ASPKP yang dianggap MUI Tasikmalaya ngaco dan melecehkan ajaran Islam itu adalah sebagai berikut.

Pertama, sumber ajarannya berasal dari keputusan sejarah dunia abad 21 putaran dunia ketiga (ada semacam doktrin futuristik, bahwa sumber kebenaran didasarkan pada paradigma tentang apa yang akan terjadi di masa depan).

Kedua, sumber ajarannya menyatakan bahwa dalam mengambil kebijakan Allah telah meminta izin kepada para Wali, para Nabi, para Malaikat dan para leluhur suci.

Ketiga, sholat cukup dengan ingat atau zikir saja serta menghadap kemana saja (mirip dengan salah satu inti ajaran Tasawuf Mikung yang pernah-dan masih muncul di beberapa daerah di Jawa Barat).
Keempat, puasa 40 hari 40 malam (mati geni).

Kelima, bangunan dianalogikan kepada anggota dua tangan, dua kaki dan kepala sebagai pancer. Mereka juga menjadikan empat sifat yang wajib bagi rasul dan satu sifat kemanusiaan sebagai pancer. Dan terakhir, HMS Gali Kutub Robani dinyatakan sebagai titisan Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Keenam inti ajaran ASPKP tersebut ditolak mentah-mentah oleh MUI, dengan beberapa argumentasi yang didasarkan pada Al-Quran dan Hadis. Di antaranya menurut MUI, sudah jelas bahwa sumber ajaran Islam adalah Al-Quran dan Hadis, dan bahwa Allah mempunyai kekuasaan penuh terhadap para Wali, para Nabi, para Malaikat dan para leluhur suci, sehingga tidak mungkin Dia tergantung kepada mereka. Demikian juga, lanjut MUI, sholat telah diatur oleh Al-Quran dan Hadis, dan dalam Islam tidak ada sinkretisme (roh nitis-nyurup) dan istilah puasa 40 hari 40 malam.

Penolakan dan penentangan tersebut melibatkan Departemen Agama dan MUI Tasikmalaya. Melalui komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tasikmalaya nomor 46/MUI/-TSM/IX/1999, ajaran tersebut dinyatakan terlarang dan bertentangan dengan Aqidah Islam. Maka sejak keputusan itu ditetapkan tanggal 09 September 1999, sejak saat itu pula ajaran tersebut dibubarkan dan bangunannya ditutup. Bahkan menurut sebagian sumber, pihak aparat keamanan memerintahkan para pengikut ASPKP untuk membongkarnya.

Sepanjang penulis ketahui, setelah adanya fatwa MUI, para pengikutnya cerai berai dan tidak diketahui lagi rimbanya, kecuali mereka yang dipaksa “kembali” ke ajaran “Islam”. Berkas-berkas ASPKP sendiri hanya ada di Kejaksaan Negeri Tasikmalaya. Dan untuk mengoreknya kita pun harus pintar-pintar mencari alasan. Setelah pelarangan tersebut, ajaran ASPKP betul-betul luluh lantah dan nyaris tak terdengar lagi.

Tidak diketahui apakah ada pihak lain yang pernah atau sekedar membela mereka, termasuk dari Komnas HAM sekalipun. Hal ini bisa jadi karena ASPKP tidak begitu dikenal oleh sebagian besar orang, atau mungkin juga ia dianggap masalah yang remeh temeh atau ecek-ecek (tai kuku), atau bisa jadi pihak lain yang pura-pura tidak tahu.

Saya tidak bermaksud membangunkan harimau yang sedang tidur atau sengaja mendatangkan taleus ateul (satu istilah dalam bahasa Sunda yang berarti membangunkan sesuatu yang dianggap bisa menimbulkan masalah). Saya justru beranggapan bahwa masalah tersebut menjadi taleus ateul kalau dibiarkan mengendap begitu saja, tanpa ada proses review atau studi kritis. Karena kebijakan atau keputusan apapun, termasuk fatwa MUI itu tidak lepas dari suatu ideologi atau kepentingan tertentu. Bila kita meminjam analisis Foucault bahwa selalu ada kuasa di balik lahirnya kebenaran, maka kita pun berhak curiga terhadap keputusan MUI tersebut. Ada apa dengan keputusan MUI, sehingga seenaknya sendiri melakukan pelarangan dan pembusukan karakter terhadap sekelompok orang yang berbeda cara pandangnya. Mengapa pula ASPKP langsung divonis sesat, padahal mereka tidak diberi ruang oleh MUI dan pemerintah untuk sekedar memberikan pertanggungjawaban di depan publik?

Saya hanya sekedar mengingatkan bahwa semua orang mempunyai hak melakukan interpretasi terhadap teks segila apapun, termasuk teks kitab suci. Sesungguhnya banyak persoalan publik atau personal yang tidak bisa hanya ditilik dari perspektif teologis atau fiqih semata. Karena hasilnya akan tidak proporsional dan malah keputusan atau kebijakan yang diproduksi tersebut akan melahirkan penindasan. Tentu akan lebih simpatik bila persoalan-persoalan tersebut dijawab dengan menggunakan perspektif HAM Kultural. Karena perspektif ini telah mencoba melepaskan diri dari doktrin agama yang kaku dan membius. Problem yang dialami oleh ASPKP adalah salah satu persoalan yang harus ditilik oleh perspektif ini. Lalu tugas kita selanjutnya mengupayakan agar Fatwa MUI tersebut bisa dicabut, sehingga para pengikut ASPKP bisa menjalankan ajarannya tanpa rasa takut. Semoga! Desantara.

BAGIKAN: