Film Etnografi dan Film Brosur Pariwisata; Antara Pengalaman Representasi dan Etika

(Pengalaman Workshop Film di Sedulur Sikep Pati-Kudus)
Mungkin dari Joseph Conrad lah yang mengawali cara pandang kolonial ketika Belanda mengalami perjumpaan-perjumpaan eksotik dengan masyarakat pribumi di Nusantara. Setelah pada tahun 1918 de Quincey yang merasa dihantui oleh Melayu misterius sehingga Asia dikenal sebagai dongeng. Sebagai seorang perwira kapal, Conrad memiliki semangat penaklukan terhadap timur sebagai pedalaman yang harus direpresentasikan dalam sastra. Yang kemudian imagi tentang timur yang pedalaman inilah yang kemudian dikenal sebagai “Mooi Indie” yang ideologinya masih tersisa di benak para petualang yang “memedium” otentisitas masyarakat dalam instrumen sastra, seni rupa, foto, film dan bahkan musik hari ini. Sejarah antara penindas dan yang tertindas yang sekian lama, inilah yang kemudian menjadikan persoalan antara yang lain (‘the other’)
bukan hanya identifikasi perjumpaan fisik semata, lebih mengakar lagi persoalan perjuampaan adalah perjuampaan cara pandang (ideologi), preposisi, atas realitas yang dialami seseorang. Sehingga istilah “pribumi” atau native sekalipun menjadi persoalan penindasan wacana dalam praktek representasi selama ini. Warisan kesadaran Joseph Condrad inilah yang masih terasa kita lihat ketika televisi swasta dan seniman kita sendiri ketika memandang saudara-saudara kita yang ada di pedalaman secara representatif, yang akhirnya menentukan pedalaman secara geo sosial!

Setelah era sastra ‘esksotisme’, kehadiran representasi masyarakat Nusantara di pedalaman oleh kolonial Belanda melalui dokumentasi image-image foto pada dasarnya tidak lebih dari pada brosur-brosur pariwisata tentang keunikan masyarakat pedalaman di Nusantara. Hal ini tentu membiaskan terhadap data antropologi secara visual dengan semangat penaklukan terhadap yang lain (the other) yang direpresentasikan menjadi artefak-artefak sosial masyarakat. Semangat mencari keunikan, keindahan, keanehan, erotisme, sampai dengan magisme tidak lebih adalah cara pandang yang tidak egaliter terhadap eksistensi masyarakat pedalaman. Sehingga era semangat representasi melalui medium visual (kamera) lebih dari kehendak merekam daripada kehendak berdialog dengan entitas yang lain.

Kelahiran kamera film oleh Louis Lumiere bersaudara merupakan babak awal dari perdebatan dalam memaknai realitas dalam sejarah seni. Cita-cita terhadap pencapaian realisme secara adiluhung oleh seni, menjadi sesuatu yang tidak signifikan lagi ketika medium foto dan film mampu menjawab cita-cita tersebut dengan kemampuannya menampilkan bentuk tiga dimensi dihadapan para audiens (penonton). Kelahiran kamera menandakan sebuah era baru terhadap cara pandang terhadap realitas, sehingga karya seni setelahnya berperilaku seakan seperti kamera.

Era setelah lahirnya kamera menjadikan problem representasi yang ada jauh lebih tidak etis, ketika hubungan manusia dengan manusia yang lainnya belum tuntas kini muncul instrumen visual yang mampu merepresentasikan manusia sebagai obyek. Kehadiran kamera itu sendiri menyatakan batas yang riil dengan yang tidak riil menjadi bias karena apa yang disajikan oleh kamera adalah fiksi baru tentang realitas. Eksistensi kamera sebagai instrument visual secara mandiri telah menyatakan subyektifitasnya dengan frame (lensa) yang membingkai obyek dalam realitas. Dari refleksi ini maka klaim terhadap dokumenter sampai dengan dokumentasi sekalipun mengalami keretakan obyektifitas yang memang berasal dari instrumen itu sendiri. Dari latar ini maka kehendak klaim representasi pun menjadi hal yang nisbi ketika ada keniscayaan instrumental.

Masyarakat Sedulur Sikep merupakan salah satu entitas masyarakat lokal yang banyak di kaji oleh kalangan akademisi. Representasi masyarakat Sedulur Sikep selama ini dikenal sebagai masyarakat Samin yang memiliki konotasi yang berlainan dikalangan masyarakat. Sebagai entitas masyarakat lokalitas, Sedulur Sikep tidak bisa diidentifikasi sebagai masyarakat etnis, sehingga pendekatan etnografi dalam membaca masyarakat Sedulur Sikep tidak bisa diidentifikasi dengan persepsi adat secara artistik atau simbolis. Seperti umumnya cara pandang masyarakat bahkan akademisi, perjumpaan pertama oleh mereka biasanya terimajinasikan oleh adanya identitas kultural yang artisik seperti adanya upacara adat, hari sakral, formalisasi ajaran-ajaran dan lain sebagainya. Masyarakat Sikep merupakan konteks sosial masyarakat Jawa yang berasal dari perlawanan sosial Samin Surosentiko terhadap kolinial Belanda, sehingga identifikasi adat dalam pengertian antroplogi positivistik akan menjadi tidak akan relevan dengan keyakinan masyarakat Sedulur Sikep yang lebih meyakini laku (lakon) sebagai artikulasi keyakinan ajarannya. Dari asumsi ini maka me-representasi-kan masyarakat Sedulur Sikep jauh lebih sulit, karena tidak bisa diasumsikan dengan semangat eksotisme artistik berupa benda-benda, upacara, sakralitas, ritual dan lain sebagainya.

Sebagai masyarakat yang meyakini laku (lakon) sebagai bentuk artikulasi dari ajaran yang diyakininya, masyarakat Sedulur Sikep sendiri adalah sebuah konteks masyarakat yang tidak meyakini adanya bentuk representasi dalam eksistensi mereka. Hal ini pulalah yang menjadikan adanya tradisi lisan di Sedulur Sikep yang cukup konsisten dari generasi-generasi sebagai salah satu artikulasi keyainan dalam menjalankan ajaran Samin Surosentiko. Bagi mereka, sinau teko serawung (belajar dari saling bergaul dan bertamu mempererat persaudaraan) adalah istilah yang mungkin bisa saya tafsirkan sebagai bagian dari mengenal dan melihat secara langsung (berkunjung) jika ingin mengenal masyarakat Sedulur Sikep. Karena bagi mereka mengenal adalah membangun hubungan dan menjaga persaudaraan (sikep) dengan saling berkomunikasi dan bertatap muka. Dari sikap ini, hampir bisa tafsirkan bahwa kontek masyarakat sedulur adalah kontek masyarakat yang memang tidak meyakini adanya praktek representasi apapun. Segala sesuatunya dibuktikan dengan proses mengalami ‘ada’ oleh dirinya sendiri.

Ide tentang workshop film di Masyarakat Sikep (Samin) yang dilakukan oleh Desantara diawali pada tanggal 8 Februari 2008 ini, dilatari dari adanya kondisi persoalan representasi yang dilakukan oleh beberapa kelompok nirlaba dan industri dalam memandang masyarakat lokal di Nusantara. Adanya wacana pendekatan etnografi dikalangan seniman foto dan film selama ini, juga masih menyisakan persoalan etika dalam proses representasi yang dilakukan oleh beberapa kalangan dalam mendokumentasikan dan bahkan memdokumenterkan masyarakat lokal ke dalam medium foto dan film. Orientasi hasil yang menarik secara artistik maupun estetik justru menjadi tanda tanya dan beban permasalahan hubungan antara pelaku representasi dan entitas masyarakat yang direpresentasikan. Seperti cara memandang kolonial terhadap masyarakat tradisi kita dengan semangat penaklukan, sehingga memposisikan entitas masyarakat tertentu sebagai yang berada di ‘pedalaman’ sebagai yang eksotik dan erotis.

Bahwa tidak ada masyarakat yang homogen merupakan sebuah orientasi yang cukup membuat proses workshop memerlukan intensitas sharing dengan para partisipan. Pengalaman dari beberapa bentuk representasi yang dilakukan selama ini justru meng 'homogen' kan entitas masyarakat tertentu. Suasana plural dalam masyarakat Sedulur Sikep semakin mempertegas penggambaran adanya sebuah keyakinan akan 'lakon' (laku) yang dalam prakteknya adalah bagaimana eksistensi masing-masing individu yang terdapat dalam masyarakat tersebut dalam menjalankan keyakinan dalam kesehariannya. Keniscayaan pluralisme inilah yang kemudiaan beberapa sikap dari individu di masyarakat Sikep tidak merespon adanya workshop film sebagai ekspresi dirinya dalam medium visual. Beberapa tanggapan dari keyakinan akan yang nyata (sing sa'nyotone) dari beberapa individu Sedulur Sikep merupakan penggambaran dari kuatnya akan ketidakpercayaan terhadap bentuk representasi apapun. Dalam menyikapi pluralisme, pihak fasilitator mencari jembatan etis agar pihak yang tidak terlibat juga tetap dapat berpartisipasi dalam sisi yang lain di luar workshop seperti permasalahan visual yang diizinkan di shoting atau tidak.
Dalam proses Workship film dengan masyarkat Sedulur Sikep merupakan kerjasama antara pihak Desantara dengan Payuguban Kadang Sokep sebagai sebuah wadah bagi kalangan muda masyarakat Sedulur Sikep. Keberadaan paguyuban ini mungkin bisa dianggap sebagai jembatan etis dalam proses workshop untuk menjembatani pluralisme yang ada dalam suatu dialog. Sekali lagi, payuguban dalam masyarakat Sedulur Sikep pun juga harus tetap dimaknai sebagai sesuatu yang tidak homogen didalamnya. Dalam perjalanannya selama ini, payuguban merupakan sebuah wadah bagi beberapa kalangan di masyarakat Sedulur Sikep yang menjembatani komunikasi dengan entitas masyarakat di luarnya.

Semangat workshop film Desantara di masyarakat Sedulur Sikep diawali dengan mengukur sejauhmana resp
on dan apresiasi masyarakat Sedulur Sikep dalam memandang medium visual, serta merefleksikan pengalaman-pengalam etis terhadap adanya proses representasi yang dilakukan oleh beberapa kelompok terhadap Sedulur Sikep selama ini. Dalam prakteknya, workshop film ini mampu merefleksikan pengalaman-pengalaman terhadap keberadaan instrumen medium visual bagi mereka. Tentu dalam prakteknya gagasan ini tidak bisa dimaknai sebagai sebuah proses yang metodis, karena metodelogi nya pun juga sebagai proses integrasi dengan mereka adalah sebuah proses panjang untuk mencapai posisi egaliter antara pihak fasilitator dengan para partisipan yang berasal dari beberapa individu Sedulur Sikep yang mau terlibat dalam workshop film ini.

Worksop film yang berlangsung selama hampir 2 bulan lebih ini, selalu ‘perjumpaan-perjumpaan pertama’ setiap harinya, karena ketidakdugaan proses workshop selalu melahirkan pemaknaan-pemaknaan baru bagi kami pihak fasilitator. Tema wokshop dalam diskusi yang dengan para partsipan adalah bagaimana pihak luar dalam memandang masyarakat Sedulur Sikep. Pengambilan tema tersebut berangkat dari adanya film Lari dari Blora yang di produseri ileh Dinas Pariwisata Jateng yang mengidentifikasi penggambaran Sedulur Sikep yang tidak etis dalam proses pembuatannya. Representasi dari film tersebut dianggap oleh beberapa masyarakat Sedulur Sikep sebagai sebuah penggambaran yang tidak etis dan tidak seutuhnya. Pada dasarnya sejarah keberadaan masyarakat Sedulur Sikep juga merupakan sejarah pergaulan yang plural dengan entitas masyarakat diluarnya. Sehingga dalam dinamika masyarakat Sedulur Sikep dengan entitas masyarakat diluarnya adalah sesuatu yang terbuka dan memiliki peran penting dalam membangun dinamika masyarakat disekililingnya. Fenomena ini semakin memperkuat penggambaran bahwa identifikasi masyarakat Sedulur Sikep yang konsisten menjalankan keyakinan leluhurnya tidak dapat diidentikan sebagai masyarakat yang tertutup apalagi terpencil dalam dinamika sosial lokalnya.

Diambilnya tema tersebut juga sebagai refleksi terhadap semangat keterbukaan dibalik semangat keyakinan akan nilai lokalitas dan sejarah mereka yang telah dianut setelah sekian generasi, selain juga mendorong mereka para masyarakat Sedulur Sikep mengapresiasikan dirinya dan lingkungan diluarnya. Dalam proses workshop ini juga mengukur kemungkinan-kemungkinan estetika yang dimiliki dalam kesadaran para partisipan masyarakat Sedulur Sikep, sebagai sebuah sikap terhadap kaidah-kaidah kamera yang dibakukan oleh mainstream (TV, Bioskop, dll).

Dalam prakteknya, bahwa pendekatan etnografi belum cukup untuk menandakan sebuah proses etis dan representatif dalam menggambarkan masyarakat 'yang lain'. Persepsi film yang selama ini memiliki kaidah-kaidah artistik dalam konsepsi film mainstream juga akan sangat menggangu terhadap proses representasi yang etis. Kecendrungan film akan sifat yang me'natural'kan kenyataan adalah sebuah kenaifan baru terhadap representasi itu sendiri. Sehingga sikap etis adalah hal yang menjadi semangat utama dalam proses membangun estetika dalam proses workshop film bersama Sedulur Sikep ini. Justru ketika mereka mampu mengapresiasikan dirinya sendiri yang akan menjadi peluang-peluang estetika baru dalam medium visual film. Menghindari kaidah 'bagus' dan 'jelek' dalam konsepsi mainstream merupakan sebuah sikap terhadap perkembangan film yang semakin menyihir penonton. Eksotisme film yang menggambarkan masyarakat lokal di Nusantara seperti film karya-karya Garin Nugroho pada dasarnya tidak lebih dari brosur pariwisata, hidup penonton yang sadar! Desantara / Akbar Yumni

Tulisan terkait:
Representasi dalam Spiritualitas Sedulur Sikep
Agenda, Sabtu, 7 Juni 2008

BAGIKAN: