Oleh Hasan Basri
Di Banyuwangi berkembang berbagai jenis kesenian tradisional. Ada janger, kuntulan, kundaran, angklung caruk, barong, rengganis, gandrung dan masih banyak yang lain. Di antara sejumlah kesenian tradisional tersebut, gandrung menempati posisi istimewa sekaligus unik dilihat dari dinamika perkembangannya kaitan relasinya dengan negara, agama dan masyarakat.
Gandrung bagi banyak pengamat dan peneliti tak banyak beda dengan tayub, lengger, gambyong, teledek dan sejenisnya. Sebuah kesenian yang menampilkan seorang sampai empat orang perempuan dewasa menari, menembang, sendirian maupun berpasangan dengan penonton pria (pemaju) pada malam hari dengan iringan orkestra sederhana; gong, kethuk, keluncing (trianggel), biola, kendang.
Namun bagi para tokoh di Banyuwangi gandrung tidak sekedar kesenian profan sekedar bersenang-senang menghabiskan malam, tapi sebuah kesenian yang sarat dengan nilai historis dan kepahlawanan.
Kesadaran sejarah atau barangkali lebih tepatnya romantisme historis ini berkembang pada awal tahun 70-an setelah beberapa budayawan mencoba memberikan tafsiran makna dari gending-gending klasik yang dibawakan gandrung seperti gending padha nonton, sekar jenang, seblang lokinto, layar kumendhung dan lain-lain. Kemudian ditambah diperolehnya beberapa dokumen tulisan lawas penulis Belanda dan beberapa tulisan berbahasa Inggris yang membantu upaya penggalian makna tersebut. Berdasar hasil tafsiran makna gending-gending klasik tersebut lahir wacana bahwa gandrung adalah sebuah kesenian yang berfungsi sebagai alat perjuangan melawan Belanda. Analisanya begini; setelah Perang Puputan Bayu pada tahun 1771-1772 rakyat Blambangan yang hampir habis dan sisanya tinggal memencar dalam kelompok-kelompok kecil di pedalaman hutan, maka untuk konsolidasi perjuangan dan membangkitkan lagi semangat juang lahirlah kesenian gandrung yang berkeliling menghubungi sisa-sisa pejuang yang terpencar tadi. Kesimpulan ini berdasar tulisan John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi tahun 1926. Sebenarnya tulisan Scholte ini tidak memberikan data yang cukup jelas. Keyakinan fungsi perjuangan kesenian gandrung sebenarnya lebih bertumpu pada hasil pemaknaan terhadap syair-syair klasik. Wacana gandrung sebagai alat perjuangan ini kemudian berkembang menjadi keyakinan dan kesadaran kolektif di kalangan tokoh-tokoh di Banyuwangi. Hal ini terlihat pada tulisan-tulisan yang terbit di Banyuwangi seperti buku “Gandrung Banyuwangi” yang diterbitkan oleh DKB (Dewan Kesenian Blambangan) tanpa tahun, artikel di majalah Seblang edisi II tahun 2004 yang berjudul “Gandrung Kawitane Alat Perjuwangan” dan banyak tulisan lain yang diangkat di media lokal maupun nasional.
Kesadaran sejarah peran gandrung berjalan seiring dengan upaya pencarian identitas daerah yang mulai giat dilakukan Pemda sejak awal tahun 70-an. Gandrung sebagai kesenian masyarakat Using yang dianggap sebagai masyarakat asli Banyuwangi menjadi pilihan yang paling gampang dari pada kesenian-kesenian lainnya. Selain alasan-alasan estetika, misalnya dari segi performance gandrung pasti lebih menarik dibanding angklung caruk yang seluruh pemainnya laki-laki, gandrung juga lebih populer dibanding kesenian-kesenian lainnya. Maka jadilah gandrung yang awalnya hanya dikenal di lingkungan masyarakat petani, perkebunan, nelayan yang erat dengan ritual, ditarik oleh negara menjadi identitas daerah yang sepenuhnya profan. Tahun 1975 lahirlah koreografi baru tari “Jejer Gandrung“ sebagai tari selamat datang yang digelar untuk acara-acara formal menyambut tamu negara. Sebuah tari yang mencoba merangkum seni pertunjukan gandrung yang terdiri dari babak jejer, paju dan seblang subuh yang dipentaskan semalam suntuk, diringkas hanya dalam durasi waktu 15 menit. Sebagai identitas, negara punya ukuran estetika sendiri yang ketat baik penari maupun panjak (penabuh gamelan) dan pelengkap performance lainnya. Dari sinilah kemudian gandrung sebagai kesenian memiliki dua basis pendukung, yaitu gandrung di komunitas awalnya yaitu gandrung terob dan gandrung sanggar. Gandrung terob adalah komunitas seniman kesenian gandrung dan masyarakat pendukungnya. Sedangkan gandrung sanggar adalah komunitas seniman yang menyuplai pementasan formal yang diminta negara.
Gandrung sebagai identitas bagi Banyuwangi yang multi etnik tidak selalu berada dalam satu kata. Gandrung berada dalam posisi tarik ulur dan diperdebatkan oleh kekuatan yang melingkarinya. Kekuatan tidak hanya dalam pengertian negara atau pemerintah daerah, melainkan juga wacana dominan dan nilai-nilai yang disepakati masyarakat. Dalam hal ini agamawan dengan teksnya sendiri soal ukuran-ukuran moral, budayawan dengan teksnya sendiri yaitu gandrung sebagai warisan sejarah yang luhur, negara dengan teksnya sendiri gandrung sebagai alat negara, semuanya berebut dan berpilin dengan kekuatannya masing-masing. Sedangkan komunitas gandrung terob tidak tahu menahu dan berada di luar kontestasi ini. Mereka berada dalam posisi yang dibaca.
Pergulatan ini berjalan intens walau tidak selalu secara terbuka. Kasus dibongkarnya patung gandrung di pelabuhan Ketapang atas permintaan kaum agamawan Ketapang menunjukkan hal itu. Dalam kasus ini melibatkan juga anggota DPRD yang harus turun meninjau dan menindaklanjuti pengaduan keberatan masyarakat atas adanya patung gandrung yang berada tepat di depan masjid walau sebenarnya masih dalam area pelabuhan. Namun peran dominan negara dan wacana identitas daerah mengalahkan wacana-wacana kontra. Di tengah polemik gandrung sebagai identitas Banyuwangi di sidang-sidang DPRD, pada tahun 2003 keluar SK bupati nomor 147 yang menetapkan tari jejer gandrung sebagai tari selamat datang di kabupaten Banyuwangi. Dengan demikian pemihakan terhadap gandrung yang bersifat politis menimbulkan akibat politis pula. Akibatnya ketika didirikan pusat latihan gandrung di desa Kemiren, program ini hanya berlangsung dua tahun karena pada tahun berikutnya anggarannya tidak disetujui oleh DPRD.
Di tangan negara, gandrung sebagai identitas daerah menjadi wacana dominan. Patung dan gambar gandrung menghiasai kota dan desa. Gambar gandrung menghias tempat sampah, pot bunga di trotoar, brosur pariwisata, baliho di perempatan jalan dan dinding perkantoran. Patung gandrung diletakkan di sudut-sudut taman, gapura kampung sampai pintu masuk kabupaten. Bahkan di pintu masuk dari utara di wana wisata Watu Dodol dibangun patung gandrung setinggi 12 m. Begitulah gandrung telah direngkuh negara dan karena menjadi identitas menghendaki tunggal, maka gandrung sebagai sesuatu yang dilihat, sesuatu yang dinilai semakin berada di tempat tinggi dan semakin kentara untuk diperdebatkan dan diperebutkan.
Setelah gandrung menjadi identitas daerah, menjadi taruhan image daerah, maka Pemda menerapkan standar estetika yang memenuhi unsur kepantasan laik jual dan membanggakan. Pada saat demikianlah kemudian ketika negara mengirimkan muhibah seni baik nasional maupun internasional terjadi proses marjinalisasi secara sistematis. Yang dipilih mewakili negara bukanlah komunitas gandrung terob melainkan gandrung sanggar yang lebih mampu memenuhi standar estetika yang ditetapkan negara. Disaat gandrung menjadi kebanggaan kolektif, justru komunitas aslinya termarjinalkan. Mereka tidak mempunyai kemampuan dan keberanian untuk berbicara, mereka lebih menganggapnya sebagai problem yang tak terucapkan.
Belum lagi problem relasinya dengan agama. Dengan semakin intensifnya proses purifikasi agama menempatkan gandrung berada pada posisi pesakitan. Gandrung distigma sebagai kesenian maksiyat dan tidak layak didekati. Konstruk agama dengan dengan seperangkat standar moralitas telah mereduksi estetika pertunjukan gandrung. Goyang pinggul, minuman keras, berbaurnya laki-laki dengan perempuan, kostum semuanya bertentangan dengan nilai dominan yang dikembangkan agama. Sekali lagi gandrung berada pada posisi yang lemah, sebagai pihak yang dinilai. Walau mereka sebenarnya memiliki ukuran nilai sendiri namun sekali lagi tak terucap dengan lantang. Mereka dalam posisi bertahan dan sering kali secara tak sadar menerima setigma dari luar sebagai kebenaran.
Dalam kaitan membangun tata sosial yang berkeadilan, memberikan kesempatan yang sama terhadap semua elemen masyarakat untuk berekspresi tanpa tekanan dari pihak lain, ketidakseimbangan relasi ini perlu diupayakan agar terjadi relasi yang seimbang antara komunitas gandrung terob dengan kekuatan dominan yang melingkupinya. Mereka diberdayakan agar mampu berfikir secara kritis membaca posisinya sendiri di tengah relasinya dengan kelompok lain. Membangun kemampuan mereka untuk menyadari dan berani menyuarakan kemarjinalannya, dan mampu mengevaluasi kekurangan mereka sendiri sangat penting dalam kerangka berfikir bahwa perubahan sosial akan menjadi lebih sehat dan memiliki daya perlawanan yang kuat
apabila tumbuh dari komunitas itu sendiri. Bukan perubahan yang dibangun dari atau oleh pihak luar akan tetapi tumbuh dari kesadaran mereka sendiri. Hasan Basri