Bangsa dan gender merupakan sebuah konsep yang saling mengkonstruksi dan memperkuat satu sama lain: keberhasilan dari nasionalisme juga tergantung seberapa berhasil identitas gender tertentu itu dimobilisasi, dan bagaimana gender menempati bentuk khusus dalam latar nasional tertentu. Metafor tanah kelahiran “Ibu Pertiwi” dan “Bapa Pertiwi” adalah salah satu bentuk gender yang paling jelas dalam mengartikulasikan nasionalisme, meski abstraksi semacam Ibu Perriwi India, Ibu Pertiwi Irlandia menampilkan ideologi yang sama namun dalam waktu yang sama juga menyimbolkan ide asah-asuh, atau secara halus menungkapkan peran gender perempuan secara terbatas untuk dijalankan para perempuan.
Kalangan feminis gelombang pertama di Eropa dan Amerika Utara mengarahkan tuntutan mereka pada negara bangsa untuk meraih kedudukan hukum yang penuh pada perempuan sebagai warga bangsa yang berkedudukan yang sama, daripada hanya sebagai anak atau istri dari seorang pria. Bahkan gerakan feminisme di dunia ketika itu berkembang seiring dengan gerakan kemerdekaan, contoh ini bisa dilihat di negara-negara dunia ketiga.
“Sebagai perempuan saya tidak punya negara, sebagai perempuan saya tidak menginkan negara, sebagai perempuan negara saya adalah dunia, ”itulah diktum terkenal Virginia Woolf yang menginspirasi gerakan feminis gelombang kedua untuk menolak pentingnya nasionalisme pada konsep gender. Meski sebetulnya apa yang dimaksud oleh Woolf adalah sebuah jarak yang jelas antarperempuan dan partriarki, nasionalisme imperialis, untuk dijadikan patokan konsep pembebasan perempuan sebagai konsep persaudarian yang global dan universalitas gender, dan berarti perempuan mampu berdiri di luar garis formasi kebangsaan.
Feminis gelombang ketiga mempermasalahkan ide di atas. Kaum feminis sekarang bahkan mengenal nasionalitas atau kebangsaan setali tiga uang dengan ras, etnisitas, kelas, dan seksualitas sebagai persilangan yang penting dalam diferensiasi gender perempuan. Artinya, bahwa setiap bangsa yang berbeda memiliki konsep gender yang berbeda demikian pula dengan perempuan dari golongan ras, kelas, etnisitas, dan seksualitas yang berbeda tentu diposisikan secara berbeda dalam sebuah bangsa yang sama. Bahkan sekarang ini para sarjana feminis telah mengalihkan perhatian utamanya, bagaimana nasionalisme itu juga mengkonstruksi maskulinitas dan femininitas. Banyak kalangan feminis gelombang ketiga melihat negara secara beragam, semacam melihat negara sebagai sebuah lembaga politik. Negara pada satu sisi mempunyai sejarah yang memasung kemerdekaan politik perempuan dan pada sisi yang lain negara sebagai satu-satunya lembaga hukum yang mampu melindungi perempuan dari kapitalisme global yang begitu sulit dijinakkan.
Debat tentang pentingnya nasionalisme bisa kita lacak pada perdebatan mengenai kewarganegaraan. Para teoretisi kontemporer tentang gender menganggap bahwa kewarganegraan itu lebih dari apa yang biasa dianggap hanya bagaimana memiliki paspor dan hak untuk ikut pemilu. Lebih jauh mereka memahami kewarganegaraan sebagai partispasi penuh pada komunitas nasional. Desantara