Dua pekan lalu, tepatnya 20-23 Agustus 2007, suatu momen kebudayaan, dan sekaligus politik, berlangsung. Sejumlah karya seni dan budaya baik yang tradisional maupun yang modern dipentaskan. Sebuah ritual “resistensi” kaum korban melawan ketidakadilan.
Mereka pentas tidak di galeri-galeri atau di pusat-pusat gedung kesenian, apalagi di hotel-hotel berbintang. Bukan pula untuk meramaikan hajatan pesta, kongres partai, atau menyambut birokrat pusat, apalagi hiburan para bule pelancong.
Para seniman itu tampil di atas panggung rakyat, ruang publik terbuka yang bisa diakses siapapun. Mereka manggung di tengah-tengah pengungsi korban lumpur Lapindo yang tinggal di petak-petak sempit kios Pasar Baru Porong. Bersama ibu-ibu yang hampir setiap pagi dan sore mengantri di depan sederetan kamar mandi darurat, dan juga anak-anak yang kehilangan keceriaan.
Para pekerja seni ini mulai dari ketoprak, rebana, barongsai, ludruk, tarian reog Ponorogo, kuda lumping, wayang, sastrawan, hingga musisi band “indie” asal Surabaya, tampil bergantian dalam satu panggung. Bersama warga, mereka membangun solidaritas demi merubah keadaan.
“Saya datang ke sini karena kita bersaudara, saya ingin menjadi bagian dari air mata bapak ibu sekalian,” ujar Zawawi Imran lirih di atas pentas sesaat sebelum membacakan puisinya dihadapan warga korban lumpur Lapindo.
Nada yang sama juga dirasakan oleh para seniman tradisional lainnya yang datang dari berbagai pelosok Jawa Timur seperti Kediri, Malang, Ponorogo, Surabaya, dan Sidoarjo sendiri.
Kesenian dan Gerak Sosial
Barangkali sudah banyak orang tahu, bahkan tak sedikit para peneliti mencatat bahwa pentas kesenian seperti ludruk dan lainnya bukanlah sekadar hiburan bagi para penontonnya.
Ludruk, misalnya, seperti diamati oleh James L. Peacock (Rites of Modernization, 1968) pada awal tahun 1960-an, adalah cermin dinamika sosial, ekonomi dan politik waktu itu. Teater tradisional rakyat Jawa Timur ini ikut menjadi saksi perubahan sosial, aspirasi kultural, maupun ekspresi suka-lara para partisipan pertunjukannya yang sebagian besar berasal dari kelompok lemah dan terpinggirkan.
Lewat fantasi, ejekan-ejekan, olok-olok, dan gagalnya harapan, ludruk, kata Peacock, telah menciptakan katarsis atas hambatan-hambatan yang ada dalam situasi kehidupan nyata. Selain itu, drama ludruk menampilkan “pemain dagelan yang kasar dan berasal dari kelas bawah yang mengungkapkan kritik konservatif dan kenyataan-kenyataan lokal.”
Di sini, kesenian rakyat selain merekam dinamika sosial juga berpotensi sebagai motor perubahan. Ketika cara-cara konvensional seperti demontrasi, mogok makan, dan uji material UU belum membuahkan hasil, maka media kesenian menjadi alternatif menyuarakan perubahan.
Pasar Baru Porong dua pekan lalu tidak hanya menjadi saksi penderitaan warga korban lumpur yang terus menuntut hak-haknya yang dirampas oleh kerakusan pemodal. Atau dibiarkan oleh penguasa, dan nyaris didiamkan oleh mayoritas tokoh agama.
Pasar Baru Porong adalah situs lahirnya solidaritas dan kebersamaan kaum korban dan mereka yang dipinggirkan oleh struktur kekuasaan. Apalagi berbarengan dengan itu kesenian yang tampil seperti ludruk, jaran kepang, barongsai, musik “indie” dan lainnya umumnya adalah kesenian-kesenian yang nyaris bernasib sama dengan para pengungsi yang dilupakan dan dipinggirkan baik oleh kekuasaan politik, agama, maupun pemodal.
Seniman, Kiai, Rakyat
Aksi bersama korban lumpur Lapindo itu tidak hanya didominasi oleh para seniman. Tokoh-tokoh agama, para kiai dan ulama dari berbagai pesantren yang acapkali dianggap kurang akur dengan komunitas seni pun ikut larut dalam solidaritas dan kebersamaan.
Kesan seolah ada jurang pemahaman dan pertengkaran antara kaum agamawan dan komunitas seniman menjadi sirna.
Betapa menariknya saat Kiai Panji Taufik asal Pesantren An-Nuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, meminta seorang panitia mematikan musik qasidah yang riuh rendah suaranya menenggelamkan alunan gamelan reog siang itu. Berbarengan dengan itu terlihat kaki sang kiai melangkah menyaksikan para penari reog yang mulai tampil dengan gerak estetis nan atraktif di tengah kerumunan massa.
Berikutnya giliran konco reog yang penuh suka cita menghadiri istighosah dan doa bersama yang digelar para kiai dan tokoh-tokoh lintas agama. Bahkan siang itu acara yang dihadiri oleh seluruh warga pengungsi di Pasar Baru Porong ini mereka ikuti dengan khusu’ dan takzim hingga usai.
Inilah salah satu pemandangan unik yang digelar oleh warga korban lumpur Lapindo bersama dengan para kiai, tokoh agama, cendekiawan, intelektual, aktifis LSM, mahasiswa dan para seniman yang berdatangan dari berbagai daerah. Seperti Jakarta, Depok, Tasikmalaya, Yogyakarta, Klaten, Ponorogo, Malang, Mojokerto, Tuban, Gresik, Surabaya, Madura, Makassar dan kota-kota lain.
Bila kaum seniman dan rakyat bersatu padu menampilkan kreatifitas simbolik dan estetiknya guna menggugat ketidakadilan dan keserakahan. Di pihak lain para kiai menggelar doa bersama dan bahtsul matsail menuntut penyelesaian seadil-adilnya bagi warga korban. Tentu saja, ini semua tanpa menanggalkan upaya-upaya legal dan langkah-langkah politik yang sedang dijalankan seperti demontrasi dan uji material UU.
Hasil dari perjuangan ini masih dinanti. Tetapi geliat gerakan kebudayaan kaum korban demi keadilan, kebebasan dan kemanusiaan, sedang dimulai.