Muhammad Nurkhoiron
Sampai hari ini, hak asasi manusia yang tercantum dalam piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa (DUHAM PBB) telah diterima sebagai prinsip moral universal. Prinsip-prinsip ini kini menjadi panutan moral bagi setiap negara pihak. Berbagai kovenan, konvensi-konvensi internasional dibentuk untuk memudahkan implementasi DUHAM PBB di atas. Pendeknya, semakin negara pihak menjauhkan diri dari prinsip-prinsip hak asasi manusia universal, semakin besar kemungkinan mereka terkucil dan tertinggal dalam percaturan internasional. Faktanya, tidak sedikit konstitusi negara-negara dunia saat ini telah mengadopsinya sebagai cita-cita kolektif bangsa, memasukkannya ke dalam konstitusi mereka.
Tak terkecuali Indonesia. Indonesia telah memasukkan pasal hak asasi manusia di dalam batang tubuh UUD 1945 (pasal 28A-28J). Bahkan, jauh sebelum terjadi amandemen UUD 1945, pasal-pasal di dalam DUHAM PBB ini telah dimasukkan didalam konstitusi sebelummya; UUD RIS 1949 dan UUDS 1950. Dalam perkembangannya di Indonesia, prinsip-prinsip HAM ini juga terus diadopsi menjadi kebijakan nasional melalui ratifikasi ke dalam undang-undang. Sebagai bagian dari negara dengan penduduk mayoritas muslim, prinsip-prinsip universal HAM sering disetarakan dengan Maqasid al-Syariah al-Islamiyah. Dalam perspektif Islam, pendeknya HAM PBB adalah prinsip-prinsip yang setara/senafas dengan nilai kemaslahatan.
Namun demikian, tidak berarti prinsip yang tercakup dalam DUHAM PBB, dalam pelaksanaannya diterima secara total oleh negara-negara berpenduduk muslim. Semisal di Indonesia, makna kebebasan dan jaminan keamanan atas individu — sebagaimana dinyatakan dalam kovenan internasional hak sipil dan politik, yang harus dihormati dan dilindungi negara tidak bisa diterapkan dengan sepenuhnya menggunakan model kebebasan individu yang diterapkan di negara liberal.
Di dalam Islam, kebebasan individu, terutama dalam menentukan pilihan atas tubuhnya, dibatasi oleh kewajiban menjalankan perintah dan ketentuannya. Sebaliknya, dalam hak asasi manusia, kebebasan individu bersifat mutlak, jaminan keamanan atas kebebasan ini harus dilindungi oleh negara. Hal ini tercermin dalam jaminan atas kebebasan dan keamanan individu dengan identitas gender dan orientasi seksual yang berbeda dari heteroseksual. Hak LGBTI adalah bagian dari hak asasi manusia.
Kebebasan individu atas tubuhnya dengan menyatakan identitas gender dan seksual sebagai LGBTI, saat ini menjadi titik tengkar paling panas antara prinsip HAM universal dengan prinsip moral agama-agama konvensional, khususnya Islam. Meskipun dunia medis, termasuk WHO sudah mengakui keragaman gender dan orientasi seksual LGBT dan tidak menganggap sebagai penyimpangan, sebagian besar doktrin agama (Islam) menyatakan sebaliknya. DI dalam negara-negara liberal sendiri, hak LGBT ini sebenarnya baru diakui belakangan. Sebelumnya, regulasi nasional mereka masih mengacu pada doktrin moral agama-agama yang dianut warganya yang menganggap LGBT sebagai bentuk penyimpangan seksual.
Berdasarkan biografi Alan Turing, yang riwayatnya ditulis oleh Andrew Hodges, dan diangkat ke layar kaca melalui film, Imitation Game (disutradarai Morten Tyldum, 2014), adalah contoh peliknya sejarah pengakuan (recognition) pemerintah Inggris atas hak-hak seorang Gay. Alan Turing, adalah ahli matematika dan enigma terhebat pada masanya. Ia berhasil menyingkap kode enkripsi Nazi dalam perang dunia ke-2, hingga membuat Inggris dan sekutu berhasil menghantam Jerman. Sayang, penghargaan yang diperolehnya karena temuannya itu, tidak berdampak bagi kehidupannya sebagai seorang gay. Ia justru dihukum dengan rehabilitasi medis karena dianggap memiliki perilaku menyimpang. Tak tahan dengan hukuman medis, ia memilih bunuh diri. Sejak saat itu berbagai riset di bidang kedokteran dan psikologi di galakkan. Akhirnya, kemajuan riset-riset medis dan psikologi membawa pengakuan bagi hak-hak LGBTI. Mereka tidak boleh didiskriminasi dan harus diperlakukan setara seperti warga negara lain.
Berkaca dari peristiwa ini, menurut Costas Douzinas, prinsip hak asasi manusia mengakui keragaman identitas individu. Setiap individu tidak saja memiliki hak kebebasan dalam arti konvensional, namun berhak mengklaim sebuah hak baru yang dianggap memberi kenyamanan atas identitasnya. Klaim atas hak ini (rights to claim rights), bisa menabrak seluruh basis moral tradisional yang selama ini diyakini agama-agama, sejauh diterima oleh sains. Dan inilah yang terjadi bagi adanya pengakuan atas hak-hak LGBTI.
Meskipun di kalangan muslim moderat, hak LGBTI diakui haknya sebagai individu yang setara di hadapan hukum. Namun menyatakan identitas gender dan orientasi seksual yang berbeda, kelompok muslim moderat masih banyak yang tidak berani menerima secara terbuka. Karena pengakuan atas hak LGBTI secara eksplisit memiliki implikasi yang berbeda.
Pertama, pengakuan atas LGBTI berarti mengubah cara pandang kita terhadap identitas gender dan orientasi seksual. Islam, dan agama semit lain, menganggap relasi seksual harus bersifat hubungan laki-laki dan perempuan dalam kerangka heteroseksual. Relasi seksual dalam hubungan sejenis dianggap amoral, atau penyimpangan. Jika “hukuman moral” ini dijadikan referensi oleh pejabat publik, ini akan berdampak bagi diskriminasi atas pelayanan publik: diskriminasi di dalam pencatatan sipil, di bidang pekerjaan, pendidikan, kesehatan dll.
Kedua, perkawinan sejenis membawa dampak bagi perubahan cara pandang kita terhadap institusi keluarga. Dalam kerangka pemikiran heteroseksual, institusi keluarga dibangun atas dasar relasi laki-laki dan perempuan melalui perkawinan. Institusi keluarga, menurut pandangan heteroseksual juga berperan dalam menjaga reproduksi. Dalam hal ini, perkawinan sejenis tidak diakui bahkan dianggap amoral karena merusak sendi-sendi dasar keluarga yang selama ini didasarkan atas nilai-nilai heteroseksual. Tiadanya pengakuan bagi perkawinan sejenis berdampak bagi tiadanya perlindungan untuk tinggal bersama dalam ikatan keluarga. Oleh karena itu, tidak ada perlindungan, bahkan larangan keras pasangan LGBTI yang hendak melakukan adopsi anak secara legal. Kedua, tidak adanya perlindungan keluarga LGBTI, dengan sendirinya meniadakan layanan bagi mereka dalam mengatur harta bersama, termasuk perebutan harta gono-gini saat mereka memutuskan perceraian.
Perlawanan terhadap institusi keluarga ini sebenarnya juga sudah dilakukan lebih awal oleh gerakan perempuan/feminis. Kaum feminis mempersoalkan pembagian kerja di keluarga yang menempatkan perempuan sebagai subordinasi, dan dominasi patriarkis yang dilandasi heteroseksual dianggap sebagai penindasan. LGBTI meradikalkan pandangan kaum feminis ini dengan mengubah konstruksi keluarga sebagai pusat reproduksi dan pelanggengan heteroseksualisme. Pluralisme fungsi keluarga menjadi tuntutan yang tak bisa dibendung. Ini merupakan tantangan masa depan yang tidak bisa direspons secara reaksioner.
Menghadapi pluralisme diskursus keluarga ini, kalangan agamawan boleh jadi akan terus melakukan perlawanan berdasarkan nilai-nilai konservatif mereka. Ketidaksetujuan dan konflik-konflik kepentingan ini seharusnya dikelola di atas sistem demokrasi. Pihak-pihak yang tidak bersetuju penting untuk membuka diri dalam dialog. Dialog diperlukan untuk menempatkan status kewargaan masing-masing pihak. Dalam politik kewargaan, baik perjuangan untuk mempertahankan doktrin agama konvensional/heteroseksual maupun LGBTI memiliki kebebasan dan hak setara dalam berkontestasi di ruang publik. Dalam ruang konstetasi demokratik, yang paling penting didiskusikan adalah membuka persoalan agar masing-masing pihak saling memahami problem subordinasi dan penindasan lalu timbul solidaritas — setidak-tidaknya empati. Kukira jika Indonesia sudah sampai ke tahap ini, transformasi demokrasi sudah beranjak lebih maju dan diskursus hak asasi manusia, terutama dalam perjuangan identitas tidak berhenti dengan membuat pagar pembatas kami, kita dan mereka, yang dalam kata-kata Chantal Mouffe, semestinya semua berada dalam rantai equivalen dalam rangka meradikalkan demokrasi.