Hak-hak Perempuan dalam Nikah Muta'h

Perkawinan dalam Islam sesungguhnya tidak bermakna eksploitatif. Dalam arti bahwa seorang laki-laki bila telah menyunting seorang perempuan lantas ia berhak mengeksploitasinya. Namun memang dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai praktek ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan, atau setidaknya proses subordinasi terhadap perempuan. Tapi menurut saya, itu bukan karena ajaran Islam, melainkan dari budaya masyarakat itu. Atau kebanyakan terkait dengan moralitas atau mental pihak laki-laki itu sendiri.
Memang dalam Al Quran sendiri banyak ayat yang terkesan, atau memang dikesankan sebagai dalih untuk mensubordinasi perempuan. Misalnya soal menjatuhkan nusyuz (tuduhan pembangkangan). Yakni hak suami menjatuhkan nusyuz kepada isteri bila kedapatan berselingkuh atau membangkang kepada suami. Suami boleh memukul isterinya. Tapi inipun harus didahului dengan teguran, nasehat, dan diajak bicara dengan baik. Yakni disebut ta’dib. Dan bila memukul tidak boleh sampai melukai. Karena kalau melukai suami akan dikenai diyat atau denda.
Lalu ayat lain al-rijalu qawwamuna ala al-nisa. Dalam ayat ini seolah-olah laki-laki memiliki kedudukan lebih tinggi dari perempuan. Kebanyakan orang lupa pada lanjutan ayat itu yakni bima fadhdhalallahu ba’dlohum ala ba’dlin. Yang bila diartikan secara keseluruhan berarti bahwa laki-laki bukan menjadi lebih tinggi dari perempuan, melainkan saling menopang satu sama lain. Qawwam itu berasal dari kata qayyim, qoim, qayyum, qawwum, Jadi sebagai penopang karena kelebihan masing-masing yang diberikan Allah.
Terkait dengan hak-hak perempuan, dalam sejarah Islam begitu mengapresiasi hak-hak perempuan. Misalnya, tatkala Umar bin Khattab sedang berdebat dan bercekcok dengan isterinya, ia bermaksud mengeluhkan hal itu ke hadapan Nabi. Tapi sebelum memasuki rumahnya, Umar sedang mendapati Nabi tengah bercekcok pula dengan isterinya, Aisyah. Nabi tidak mengutuk isterinya malahan membuka ruang protes itu kepada isterinya, di luar kelaziman budaya Arab Mekah saat itu. Begitu pula ketika mendengarkan keluhan Umar, Nabi pun tidak lantas membelanya.
Kejadian ini sebenarnya juga terkait dengan budaya. Bahwa budaya Mekah saat itu lebih patriarkis dibanding budaya Madinah. Dan suasana Madinah membuat perempuan lebih longgar, tidak tunduk secara total kepada suaminya. Jadi, saya melihat pada dasarnya ada prinsip kesetaraan dalam Islam. Isteripun bisa mengatur kehidupan keluarga bila memiliki kemampuan untuk itu. Dan Islam sangat menghargainya.
Nah, bagaimana kekerasan dalam rumah tangga itu bisa terjadi dan apa solusinya? Saya melihat kebanyakan adalah faktor ekonomi. Tapi tidak melulu ekonomi, ada faktor moral dan pemahaman keagamaan yang salah pada pihak laki-laki. Mengenai apakah kekerasan dalam keluarga disebabkan oleh pernikahan itu sendiri atau terletak pada prinsip nikah permanen yang tidak membuka celah jaminan terhadap hak-hak perempuan sebagaimana nikah mut’ah? Saya tidak bisa memastikan. Dikotomi itu sebenarnya tidak perlu. Yang penting bagaimana suami-isteri itu masing-masing memahami hak dan kewajibannya. Itu yang penting.
Memang dalam nikah mut’ah sangat dimungkinkan dibuat perjanjian-perjanjian atau kesepakatan-kesepakatan antara calon mempelai. Ini karena memang dalam nikah mut’ah perempuan memiliki kuasa penuh untuk mengambil keputusan. Ini yang membedakannya dengan nikah konvensional atau nikah permanen. Dalam nikah permanen perempuan tidak bisa mengambil keputusan secara independen. Misalnya terlihat pada sisi perempuan yang mesti diwakili oleh seorang wali nikah.
Nikah mut’ah adalah pernikahan yang telah ditentukan waktunya melalui perjanjian yang disepakati kedua mempelai. Nah dalam nikah mut’ah, perempuan menggenggam otoritas penuh atas dirinya. Misalnya, orang tua setuju perkawinan dilangsungkan sementara si anak perempuan menolak. Maka perkawinan tetap tidak boleh dilangsungkan, demikian juga orang tua tidak boleh memaksakan perkawinan itu. Bila semua persyaratan itu ada di tangan pihak perempuan, maka ia berhak menentukan perjanjian atau syarat-syarat itu. Misalnya, selain perjanjian tempo usia perkawinan yang direncanakan, juga bisa dibuat perjanjian lain yakni bila terjadi kekerasan suami terhadap isteri maka seketika itu juga perkawinan secara otomatis batal, isteri cerai dengan suami.
Dengan demikian sebenarnya harus diakui bahwa nikah mut’ah lebih memberikan nilai tawar atau bargaining kepada pihak perempuan di hadapan suami. Melalui nikah mut’ah, perempuan memproteksi dirinya sendiri terhadap kemungkinan kekerasan yang sewaktu-waktu bisa menimpanya.
Tapi sayangnya masyarakat banyak salah memahami ketimbang mendudukkan persoalan nikah mut’ah ini. Orang berasumsi bahwa nikah mut’ah itu adalah prostitusi yang dilegalisir. Padahal kalau demikian sama halnya menuduh Allah pernah menghalalkan tindakan berzina pada zaman Nabi.
Dalam pandangan Syi’ah, nikah mut’ah itu halal. Berdasarkan ayat faizastamta’tum bihi minhunna fa’tuhunna ujurahunna faridhah. Ayat ini turun pada perang Khaibar tatkala Nabi dan para sahabat tidak membawa isteri-isterinya. Jabir ibn Abdullah Al-Anshari mengeluh pada Nabi. Lalu nabi mengizinkan para sahabatnya ini untuk melakukan mut’ah. Di situlah ayat ini turun. Memang ada perbedaan pendapat, bahwasanya nikah mut’ah itu adalah hukum darurat yang lalu di-manshuh (dihapus). Tapi kalangan Syi’ah menyatakan tidak demikian. Ayat itu berlaku sepanjang zaman. Dan sejarah telah mencatat beberapa putra sahabat hasil dari pernikahan mut’ah. Seperti Abdullah bin Zubair dan Urwah bin Zubair. Jadi ada landasan teologis yang sangat kuat yang mendasari nikah mut’ah ini.
Dan saya pikir, nikah mut’ah adalah jalan keluar dari problem seksualitas sekarang ini. Adanya seks bebas yang rawan terjangkit virus HIV-AIDS atau pengguguran kandungan (aborsi) yang makin marak. Dengan nikah mut’ah, hak-hak perempuan terpelihara, hak-hak anak terlindungi, dan perempuan terhormat sebagai suami-isteri. Demikian juga laki-laki. Dengan ini maka negara pun seharusnya mengakui keabsahan nikah mut’ah ini. Desantara-Husein Syahab

BAGIKAN: