Hakim, Pengadilan, dan KDRT

Peluncuran buku “Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama,” oleh Komnas perempuan di Hotel Nikko (Jakarta -02/07/2008), diharapkan menjadi terobosan baru pada sistem peradilan pidana di Indonesia seputar masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Pengadilan Agama sebagai pintu pertama terhadap kasus-kasus rumah tangga.” Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Zainuddin Fajari, Direktur Pranata Tata Laksana Perkara Perdata Agama, Badilag MARI, sebagai respon peluncuran buku referensi hakim itu.
Mengingat selama ini Pengadilan Agama banyak menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga, terutama kasus penelantaran ekonomi sebagai materi gugat cerai, nampaknya buku yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan bisa menjadi acuan pengambilan keputusan yang berpihak pada perempuan.
Meski fakta menunjukkan tingginya angka KDRT, namun selalu ada mekanisme perdamaian yang ditawarkan oleh Hakim Pengadilan agama pada setiap gugatan perceraian yang diajukan. Jika tawaran tersebut belum bisa menjadi solusi, maka gugat cerai berlatar belakang KDRT harus bisa dibuktikan.
Fajari mengingatkan bahwa Hakim Pengadilan Agama tidak bisa menjatuhkan vonis, ataupun merekomendasikan gugatan perceraian berlatar belakang KDRT kepada Pengadilan Negeri. Hal ini disebabkan perbedaan domain publik antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri (umum).
Masalah kewenangan hakim pengadilan agama, Nawawi Ali, Ketua Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta, menambahkan bahwa meski Peradilan Agama tidak bisa menjatuhkan vonis dan merekomendasikan ke Pengadilan Negeri, tapi ia bisa menjadi penguak tabir KDRT. Untuk itu harus ada perombakan-perombakan dan terobosan baru ilmu fikih dalam Hukum Islam. Pada umumnya, KDRT yang terjadi di negara-negara Islam bukan disebabkan oleh perilaku muslimnya, tetapi lebih pada faktor budayanya. “Hakim Pengadilan Agama boleh dan wajib membukan fakta-fakta KDRT, dengan tetap tidak menjatuhkan vonis,” tutur Nawawi.
Mengenai seberapa jauh terobosan-terobosan dalam Hukum Islam sudah dilakukan, Husain Muhammad, Komnas Perempuan, menegaskan bahwa sistem Hukum Islam di Indonesia saat ini lebih mengalami kemajuan jika dibandingkan dengan negara-negara Islam lainnya. Hal ini disebabkan negara-negara Islam umumnya menggunakan sistem Hukum Islam yang menutup kemungkinan gugat cerai dilakukan oleh perempuan. Karena satu-satunya pihak yang bisa menjatuhkan talak adalah pihak laki-laki (suami) saja. Di Indonesia, sistem Hukum Islam demikian diperbarui dengan penemuan hukum dan pembaruan fikih yang merujuk pada pendapat ulama yang memungkinkan perempuan bisa mengajukan gugatan perceraian.
“Selama ini proses gugat cerai ke Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri terkesan lama, hal tersebut disebabkan oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat masih mengandung bias patriarki,” ujar Kunthi Tridewiyanti, Universitas Pancasila. Dalam masyarakat patriarki, perempuan tidak diajarkan untuk menyuarakan kepentingannya karena perempuan sudah terdefinisikan dalam ruang domestik, rumah tangga. Tabu sosial tersebut menghambat pengungkapan fakta-fakta kekerasan yang sering terjadi dalam rumah tangga.
Langkah pembaruan ilmu Hukum Islam akan memperjelas posisi perempuan yang setara dengan posisi laki-laki di mata Hukum. Pengadilan Agama yang memberikan indikasi tingginya KDRT di Indonesia, pun, Pengadilan Negeri dalam domain hukum pidana untuk kasus kekerasan dalam sistem peradilan Indonesia, sepatutnya memberikan amanat bagi para Hakimnya untuk menegakkan keadilan gender dalam kasus KDRT. Futomo

BAGIKAN: