Namanya, Halima. Ia dikenal oleh komunitas Pakalu dan sekitarnya sebagai padendang atau penari mappadendang. Seperti kebanyakan perempuan, wanita paruh baya ini sehari-hari melakoni pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci, dan sesekali waktu mengobrol bersama tetangga.
Namun, tidak seperti yang dibayangkan orang, kalangan akademisi dan terpelajar lainnya tentang cerita seorang perempuan yang tersisihkan dari arena publik dalam area domestik. Cerita tentang domestifikasi itu tidak berlaku bagi perempuan seni tradisi seperti Halima. Perempuan yang sehari-hari juga membantu suaminya bertani ini justru menempati posisi lain, kalaulah tidak dibilang “istimewa”, di tengah kehidupan komunitas Pakalu.
Halima justru menjadi aktor utama dalam tradisi mappadendang yang digelar tiap musim panen di komunitas Pakalu, kampung Kalabbirang, yang letaknya di pinggir jalan poros Makassar-Bone. Seperti halnya dalam ritual tradisi lain, Seblang di Banyuwangi, Lengger di Banyumas, atau Tayub di Cirebon, perempuan memainkan peran penting dalam panggung publik kesenian.
Selain tetap berperan dalam area domestiknya, Halima muncul dalam ruang berkesenian masyarakat Kalabbirang. Ia menjadi pemimpin atau mediator pengungkapan rasa syukur warga kampung kepada Tuhan atas anugerah kesuburan dan kesejahteraan hidup warga. Tidak salah lantas bila warga Pakalu begitu menghormatinya, bahkan menganggapnya sebagai mata air kehidupan.
Bagi komunitas Pakalu, mappadendang bukan sekadar kesenian biasa. Mappadendang menjadi bagian dari cara mereka menghayati dunianya yang dihidupi dari mengolah tanah dan bertani. Bibit padi, misalnya, dipahami bukan sekadar makanan yang mengenyangkan, tapi sumber kehidupan itu sendiri.Kosmologi hidup inilah yang diyakini Halima dan juga warga kampung Kallabirang.
Pada awal 1970-an, ketika pemerintah sedang mengkampanyekan program intensifikasi pertanian yang menyingkirkan basis kosmologis ritual mereka. Halima tak tinggal diam. Bersama beberapa orang seniman mappadendang yang secara kebetulan kesemuanya laki-laki, ia menghadap tetua kampung Kallabirang, H. Nompo. Tujuannya adalah meminta agar mappadendang tetap digelar. “Caranya, warga mengikuti saja anjuran pemerintah memakai bibit unggul, namun tetap menanam padi jenis pare riolo,” ujar Halima. Dengan demikian tradisi mappadendang pun bisa dijalankan.
Halimah dikenal satu-satunya perempuan di Pakalu yang bisa ber-mappadendang. Karena itu Halima kerap kali diundang mappadendang di luar kota. Ia pun menjadi sosok perempuan yang disegani baik di kampungnya maupun di wilayah tetangganya. Posisinya yang penting dalam ritual ini membuat Halima tak merasa lebih rendah ketimbang laki-laki yang bekerja di luar rumah.
Baginya peran yang dijalankan selama ini, baik di dalam maupun di luar rumah, lebih bersifat fungsional ketimbang dimaknai secara hierarkis. [] Desantara