Bagi mayoritas budayawan di Indonesia, nama Hasnan Singodimayan agaknya sudah tidak asing lagi. Pak Hasnan, demikian ia biasa dipanggil, adalah seorang budayawan yang rajin memperkenalkan kebudayaan Banyuwangi (Using) dalam even-even regional dan nasional, termasuk ketika mempresentasikan geger kebudayaan Banyuwangi periode 1965 dalam Halaqah Kebudayaan “DARI DIALOG KE REKONSILIASI: Menuju Kebaruan Politik, Agama dan Kebudayaan” yang diselenggarakan DESANTARA dan PUSPeK Averroes di Kota Batu, 24 – 26 Mei 2003
Banyak sisi yang menarik dari sosok sepuh yang tak pernah kehilangan spirit kritisnya ini. Salah satunya adalah ketika ditanya arti “Singodimayan” di belakang nama Hasnan. “Sebenarnya itu suatu kekeliruan sejarah,” ucapnya mengejutkan. “Jadi pernah, sebuah media cetak mewawancarai saya berkaitan dengan kebudayaan Using. Karena rumah saya di Jalan Singodimayan (sekarang Jalan Kapten Ilyas-red), maka kemudian mereka menyebut saya dengan Hasnan Singodimayan. Ketika saya klarifikasikan ke media tersebut, ternyata nama itu sudah kadhung menyebar. Sehingga, semua undangan yang disampaikan ke saya akhirnya juga menggunakan nama “Singodimayan”. Tapi, nggak apa-apa, toh tambahan nama itu juga semakin memperkental ke-Using-an saya”, kelakarnya.
Pengalaman pria kelahiran 17 Oktober, 72 tahun silam ini dalam menggeluti kebudayaan boleh dibilang mengagumkan. Aktif di Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) sejak 1960 sampai dengan 1965 yang juga memungkinkannya bersentuhan dengan gerakan Manifesto Kebudayaan tahun 1963. Karya tulisnya sudah tak terhitung jumlahnya, tersebar di berbagai media cetak dan forum-forum kebudayaan. Yang patut diacungi jempol dari penasihat Dewan Kesenian Blambangan ini adalah mayoritas karya tulisnya selalu mengusung tema-tema yang berkaitan dengan kebudayaan Using, termasuk novelnya yang baru diterbitkan oleh DESANTARA, “Kerudung Santet Gandrung” yang mengupas habis dilematika yang dialami oleh sosok penari Gandrung di tengah masyarakat yang sudah semakin berubah. “Ya, saya ‘kan hanya ingin memperkenalkan kebudayaan Using kepada masyarakat,” kata Pak Hasnan mengiyakan. Sebuah konsistensi kerja budaya yang layak dijadikan tauladan!
Sebagai budayawan Using, Pak Hasnan pun tak luput dari merasakan kegetiran yang pernah dialami oleh pendahulunya (Baca juga Getir Kebudayaan Using). Dia harus menghadapi klaim bahwa kebudayaan Using adalah bagian dari kebudayaan Jawa. “Kebanyakan orang masih menganggap bahwa kebudayaan Using itu sama dengan Kebudayaan Jawa. Padahal Using dengan Jawa kan berbeda. Dari bahasa Using dengan bahasa Jawa saja kan sudah terlihat ada perbedaan mencolok,” ujarnya mencoba meyakinkan. “Atau kalau mau yang lebih ekstrem lagi, Using itu ya Jawa, ya Bali, ya Madura!”
Lantas Pak Hasnan menceritakan bagaimana dirinya menjadi aktor dari kebudayaan yang disubordinasi oleh kebudayaan Jawa. “Saya pernah diundang dalam sebuah lokakarya. Kalau nggak salah namanya Pertemuan Koordinasi Pengembangan Kebudayaan Jawa, di Yogyakarta 22 April lalu. Dari nama pertemuan itu kan sudah kelihatan bahwa Using dianggap sebagai bagian dari Kebudayaan Jawa. Akhirnya saya datangi juga pertemuan itu. Nah dalam pertemuan itu, saya mempresentasikan makalah saya yang menjelaskan bahwa sejarah kebudayaan Using berbeda sekali dengan Jawa. Kalau sama-sama dari kebudayaan kuno di Jawa dulu, itu memang iya, tapi setelah itu sudah berbeda arah perkembangan kebudayaannya.”
“Bahkan, ketika penutupan, semua peserta kan diajak sowan ke Sultan Hamengku Buwono. Sultan sempat bertanya, lho kok ada yang pakai udheng, dan bukan blangkon? Ya akhirnya waktu itu saya ngomong kepada Sultan kalau saya ini dari Using, Blambangan, dan tutup kepala adat Using ya udheng ini, bukannya blangkon”, lanjut Pak Hasnan.
Dimana pun Pak Hasnan berada sepertinya hendak menegaskan dirinya sebagai orang Using. Keinginan Pak Hasnan untuk mempertegas identitas ke-Using-an itu antara lain juga tampak dari keengganannya untuk mencopot udheng-udheng-nya ke manapun ia pergi. Bahkan seringkali dalam acara-acara formal, ia tampak “berbeda” dari yang lain dengan udheng dan baju hitam-hitam ala Using-nya. Sungguh sebuah oase spirit yang menyejukkan ketika masyarakat justru sedang berpaling ke kebudayaan lain untuk mencari identitas dirinya. Dan kiranya tak berlebihanlah kalau kemudian orang menyebut Hasnan Singodimayan sebagai Duta warga Using. Desantara