(Sebuah Cerita dari Keluarga Etnis Mandailing)
Oleh: Farid Aulia
“ Si Farid harus jadi seperti si Farid
Nggak bisa dipaksa menjadi orang lain”
Sepenggal kutipan ini merupakan pernyataan orangtua saya ketika kami makan malam bersama. Duduk bersama di sebuah meja makan “butut” dengan seluruh anggota keluarga. Kami selalu berbincang-bincang sambil bersantai sewaktu dan setelah makan malam. Sejenak saya berpikir tentang ucapan bapak di meja makan yang sekedar menghibur karena saya bukan anak pintar yang tekun belajar seperti bapak dalam ilmu hitung-menghitung.
Bapak adalah sosok orangtua yang lahir di Serbelawan (Kabupaten Simalungun) sebagai orang Mandailing-Jawa yang menetap di perkampungan komunitas Simalungun dan Jawa. Memiliki bapak yang berdarah Mandailing dan ibu berdarah Jawa tentunya sangat mempengaruhi pembentukan karakter bapak sebagai orang Mandailing yang tinggal di perantauan. Kendati demikian, karakter tegas yang tidak kenal kompromi pada setiap tindakan yang tidak konsisten menjadi ciri khas orang Mandailing juga melekat pada diri bapak.
Sikap tegas orang Mandailing sebagai salah satu pencitraan budaya di Sumatera Utara menempatkannya sebagai etnis yang tidak gampang menyerah. Dengan logat bahasa yang keras, etnis ini tercitra sebagai etnis yang terkesan agak kasar. Kondisi alam berbukit-bukit berpengaruh pada pembentukan karakter orang Mandailing yang gemar hidup berkelompok yang diikat oleh tradisi-tradisi adat.
Sangat kontras dengan kehidupan bapak sebagai orang Mandailing yang terlahir di luar daerah perkampungan Mandailing. Beberapa kerabat terdekat menyangka bapak tidak seperti orang Mandailing pada umumnya. Bapak sangat jarang menggunakan simbol-simbol identitas Mandailing dalam keseharian, seperti menggunakan bahasa Mandailing untuk berkomunikasi dengan sesama orang Mandailing. Bahkan hingga cerita ini saya tulis bapak belum pernah mengunjungi kampung asli leluhurnya di sebuah desa kecil di Kabupaten Mandailing Natal.
Sosok tegas dan disiplin ompung (sebutan orangtua dari bapak) sebagai seorang militer menjadikan nilai-nilai kepatuhan bapak terhadap orangtua menjadi hal utama dalam membina hubungan sosial yang terjadi. Mungkin ini juga yang mempengaruhi bapak menjadi sangat marah dengan kami, terutama kepada hal-hal yang dianggap tidak konsisten. Oleh saudara-saudara sekandungnya, bapak dianggap sebagai orangtua yang tidak pernah kompromi dengan anak yang membuang kesempatan untuk sekolah dengan percuma. Saya coba mengangkat pengalaman ini sebagai sebuah cerita diri untuk melihat hubungan sosial yang selalu berubah antara sesama individu di dalam satuan terkecil di masyarakat, yaitu: keluarga.
Berangkat dari Perbincangan di Meja Makan
Kelihatan sedikit kumal sewaktu melihat kondisi meja makan di rumah yang sudah agak “butut” akibat di makan usia. Namun, dari meja makan inilah beragam inspirasi selalu muncul di setiap perbincangan tentang hidup dan kehidupan. Meja makan menjadi wadah yang bisa menampung berbagai persoalan hidup di keluarga yang layak diperbincangkan. Bapak selalu menempatkan diri sebagai pendengar yang baik untuk menyelami kegemaran dan kegelisahan yang dialami anak-anaknya. Kendati dalam banyak hal sering dijumpai kejanggalan-kejanggalan di saat bapak memberi tafsir tentang kami yang tidak selalu itu benar, bahkan terkadang menimbulkan kejengkelan. Namun, menurut saya hal itu tidak terlalu penting, mengingat kondisi bapak sebagai orang tua tunggal yang menuntutnya harus serba bisa.
Tema perbincangan di meja makan menjadi sangat dinamis, bergantung pada isu yang diulas. Bisa tentang jenis-jenis makanan yang digemari sampai juga cerita seputar gosip-gosip, humor-humor kacangan yang dapat menghilangkan kejenuhan. Tetapi di waktu-waktu tertentu, nuansa pembicaraan dapat berubah menjadi perbincangan yang cukup serius. Isu-isu yang diulas pun menjadi sedikit ilmiah karena tema perbincangan memasuki ranah masa depan, sehingga suasana perbincangan pun seketika berubah menjadi semakin serius.
Membuat saya terheran-heran begitu mendengar bapak berucap kepada saya bahwa perlakuan dalam pola asuh kepada setiap anaknya tidak bisa sama. Di awal perbincangan saya menangkap, ada kesan bapak membeda-bedakan perlakuan yang ia berikan terhadap setiap anak-anaknya. Ketika ucapan bapak berusaha saya pahami lebih dalam baru saya menemukan jawaban menyenangkan sekaligus menghibur diri.
Jujur saya mengatakan, bahwa sepeninggal ibu, kami tumbuh menjadi anak yang tidak dibelenggu oleh aturan-aturan sosial, sehingga aturan-aturan sosial tersebut bagi kami adalah proses pembelengguan dan pemenjaraan hak sebagai manusia. Bapak selalu mengajarkan nilai-nilai sosial yang menurut kebanyakan orang tidak lazim, bahkan sering dicap asing. Contohnya: diperbolehkan mendebat bapak dengan nada yang tinggi, merokok satu meja sewaktu masih duduk di bangku SMP, boleh pulang larut malam bahkan tidak pulang ke rumah asalkan diberitahu dan masih ada lagi peristiwa-peristiwa aneh yang tidak tertuliskan di sini
Perilaku aneh yang dianggap asing oleh kebanyakan orang, justru menjadi sangat akrab dalam relung kehidupan yang kami jalani. Perbedaan itu disikapi orang-orang di sekeliling dengan tindakan-tindakan kurang bijaksana, seperti: pandangan yang melekat pada saya tentang potret anak nakal yang tidak terajar. Berbeda dengan orang lain, bapak melihat keanehan itu menjadi anugerah ketika hal tersebut bisa menjadi pelengkap menuju pencapaian masa depan.
Perlakuan bapak yang berbeda kepada setiap anaknya semakin kelihatan disaat anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa. Jalan dialog informal di meja makan selalu ia tempuh untuk mengetahui kemauan dan kemampuan anak. Sangat terkesan bagi saya ketika bapak tidak mempersoalkan saya memilih jurusan IPS. Baginya IPA atau IPS sama-sama baiknya asalkan saya mampu bertanggungjawab atas pilihan jurusan tersebut. Sesuatu yang luar biasa terjadi, mengingat teman-teman seangkatan merasa kesal terhadap ketentuan orangtua yang menyuruh berkutat dengan buku-buku pelajaran IPA (Fisika, Kimia, Matematika) yang tidak mereka senangi. Namun, apa daya, karena sudah menjadi ketentuan orang tua, hal ini tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Ketika usia beranjak dewasa, bapak kembali menuntut tanggungjawab kepada masing-masing anak. Kebebasan memilih jurusan kembali diperbincangkan. Tentu saja cara pandang bapak tidak menggurui untuk melihat keberagaman potensi anak-anaknya. Untuk konteks ini, bapak sangat memahami potensi dari lima orang anaknya yang memilih lima jurusan berbeda. Ada yang kuliah di Ekonomi Pembangunan, Teknik Sipil, Sastra Arab, Antropologi, dan Sastra Indonesia.
Sebagian orang terdekat malah mencibir perlakuan bapak terhadap kami yang terkesan asal-asalan menentukan pilihan jurusan untuk bisa kuliah di USU. Tampaknya bapak tidak memperdulikan hal itu, karena semua jurusan yang dibuka pasti ada manfaatnya. Bapak selalu mengingatkan kepada kami untuk tidak memusingkan diri akan jadi apa setelah tamat kuliah. Menurut bapak setiap jurusan dibuka pasti punya masa depan yang cerah
Tuntutan profesi selepas masa kuliah juga menjadi kebebasan penuh bagi setiap anak untuk memilih sesuai dengan bakat dan kemampuan. Tidak ada pengarahan spesifik terhadap satu profesi pekerjaan. Setiap anak bebas menentukan pekerjaan yang cocok dengan dirinya. Kendati demikian, saya dengan kakak justru berprofesi sama dengan bapak. Mungkin ini yang disebut pepatah “air limbah jatuhnya ke pelimbahan juga”.
Hubungan yang Serba Berubah
Sekilas sosok bapak sangat terbuka dalam hubungan sosial yang terjalin antara bapak-anak yang tampak setara. Namun, di beberapa segmen, sosok bapak dapat berubah menjadi sangat tegas ketika harapan tentang masa depan anak berbenturan dengan sikap anak-anak yang tidak konsisten terhadap apa yang telah ia pilih. Kasus abang saya yang tidak berhasil menyelesaikan kuliah di Jurusan Sastra Arab membuat hubungan ini menjadi berubah
Hubungan yang dulunya sangat terbuka ketika berbicara tentang masa depan, tiba-tiba menjadi kaku di saat pencapaian tujuan akhir tidak kesampaian. Bapak sangat tidak kompromi dengan penyimpangan itu. Jalan dialog pun mencapai kebuntuan. Lebih kurang tiga tahun abang saya menyepi dari perhatian keluarga. Sebagai anggota keluarga, peristiwa itu membuat saya seperti kehilangan sesuatu dari tubuh. Namun, seiring bergulir waktu, perlahan-lahan abang saya kembali dengan sosok yang lebih bijaksana dari yang lalu.
Kepergiannya meninggalkan rumah menimbulkan banyak tanda tanya yang baru kami ketahui jawabannya setelah ia kembali ke rumah dengan sosok lebih dewasa dari yang lalu. Ternyata pilihan untuk kuliah di Sastra Arab bukan pilihan bijak. Buktinya abang saya tidak mampu untuk mengikuti pelajaran di jurusan itu. Sangat disayangkan, mengapa hal itu baru ia ungkapkan setelah “nasi sudah menjadi bubur”. Dan tidak akan mungkin “bubur itu kembali menjadi nasi”. Berangkat dari kenyataan itu, kami coba mengajak bapak untuk berdialog. Pelan-pelan kami berusaha meyakinkan bapak untuk belajar menerima kenyataan meskipun bertolak belakang dengan harapan dan cita-cita bapak terhadap anak-anaknya.
Awalnya bapak sangat menentang gagasan-gagasan dialog untuk mencari jalan damai karena alasan tersebut hanya rekayasa yang dikarang-karang oleh abang saya. Harus kami akui bahwa pernyataan bapak sangat beralasan, mengingat hal tersebut pernah ia tanyakan sewaktu abang saya masih kuliah di sana. Namun, kami terus berusaha meyakinkan bapak bahwa belajar menerima perbedaan jauh lebih baik ketimbang tidak mengakui ini sebuah kenyataan. Meskipun melelahkan, namun perjuangan itu akhirnya mencapai titik temu. Bapak menerima kehadiran abang saya di tengah keluarga dengan tangan terbuka. Jauh lebih terbuka dari apa yang kami prediksi sebelumnya. Kata maaf yang terlontar dari mulut bapak sangat melegakan hati kami.
Tantangan-tantangan hidup di keluarga muncul silih berganti selepas permasalahan menentukan kuliah dan pekerjaan. Karena hidup terus berjuang, maka tanpa terasa perbincangan tentang kuliah dan pekerjaan di meja makan menjadi sebuah tradisi untuk memecahkan aneka persoalan hidup lainnya. Tentu saja keberagaman cara pandang bapak terhadap kami selalu ia lakoni untuk mencari penyelesaian dialogis. Kami selalu diminta mengutarakan pendapat terhadap suatu permasalahan. Termasuk juga urusan pernikahan, bapak memberi ruang yang cukup bebas kepada kami untuk memilih pasangan hidup. Tidak ada batasan etnik dan daerah dalam menentukan pasangan hidup. Jika itu cocok buat anak, maka bapak selalu mendukung.
Tanpa saya sadari usia bertambah dewasa seiring dengan bergulirnya waktu. Bapak pun tidak henti-henti untuk menyelami keinginan dan permasalahan anak-anaknya. Di saat saya mengatakan siap untuk menikah, bapak mendukung seratus persen dengan perlakuan yang positif. Berpesan mirip dengan yang sudah-sudah, bapak kembali menegaskan tentang belajar menerima sepahit apa pun kondisinya.
“ Meskipun kau anggap yang paling benar itu yang terbaik, tapi itu tidak bisa kau paksakan kebenaran itu pada istrimu dan mertuamu”
Setidaknya belajar menerima kondisi orang lain yang berbeda bukan hal yang mudah dilakukan. Proses belajar hanya bisa dilakukan jika hal itu selalu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada artikel, jurnal, maupun buku teks secara pasti bisa membuat orang jadi lebih bijaksana dan terbuka terhadap perbedaan terhadap sesuatu yang dianggap paling benar. Namun hal itu dapat tercapai, jika perbedaan dapat dirasakan sangat akrab dalam kehidupan kita.
Bagi saya proses belajar memahami perbedaan dalam konteks hubungan suami-istri dalam kehidupan rumah tangga selalu punya warna yang berbeda. Kalau dulu hubungan sosial yang terbangun sebatas pada hubungan bapak-anak, namun saat lingkup hubungan menjadi semakin luas yang melibatkan istri dan mertua, maka beragam tantangan yang dihadapi menjadi semakin kompleks pula. Farid Aulia Siswa Sekolah Multikultural Desantara Angkatan 2008