Pada awal 90-an, seperti pernah ditulis Amrih Widodo (1999), Blora sempat kebingungan untuk merumuskan identitas diri di tengah tuntutan membangun citra daerah yang spesifik. Penelitian, seminar, sarasehan, dan lokakarya diadakan untuk itu. Rekomendasi terpenting dari seluruh aktivitas “ilmiah” tersebut, dan kemudian menjadi keputusan resmi pemerintah setempat adalah ditetapkannya Blora sebagai daerah Samin. Identitas Blora, dengan demikian, adalah Samin.
Samin sendiri adalah sebuah komunitas yang cukup besar jumlahnya di Blora. Ia diakui sebagai warga yang jujur, kritis, dan berani melawan ketidakadilan. Tetapi, justru karena semua itu, ia dianggap selalu balelo, tidak patuh pada tatanan mainstrem, dan menyempal. Samin, dengan demikian, memperoleh penilaian ganda; jujur, kritis, dan berani tetapi sekaligus balelo dan menyimpang.
Nama yang diambil dari nama tokohnya Samin Surontiko, dianggap unik, spesifik, dan menonjol bagi Blora. Berbagai kegiatan yang mengerahkan kalangan kampus dan birokrasi tersebut menyepakati bahwa Samin sangat pas untuk dijadikan citra diri daerah itu. Tetapi Samin harus dirumuskan ulang agar pengertian balelo, menyimpang, dan perilaku aneh lain tidak menempel padanya. Melalui proses politik, birokrasi setempat lalu merumuskan bahwa Samin adalah kejujuran dan keberanian.
Oleh karena itu, Samin identitas Blora adalah Samin yang baru, bukan Samin yang selama ini ada. Lalu bagaimana dengan para penerus ajaran Samin Surontiko? Birokrasi dan kalangan kampus menegaskan bahwa mereka adalah nyamin, orang-orang yang berlagak Samin. Mereka menjadi the others bagi Samin identitas Blora.
Pengalaman Blora itu bukanlah satu-satunya. Ponorogo yang mendefinisikan diri sebagai kota reyog dan Banyuwangi yang menetapkan gandrung sebagai identitas dirinya menjadi contoh menarik. Identifikasi reyog maupun gandrung oleh kedua daerah itu, persis yang terjadi di Blora, juga melalui proses politik dengan dukungan legitimasi intelektual.
Kisah dari Blora, Ponorogo, dan Banyuwangi tersebut memperjelas dua hal. Pertama, bahwa identitas selalu dirumuskan oleh elite selaras kepentingan politik dan kebudayaannya. Dalam konteks ini, akan terjadi proses penyesuaian paksa realitas lapis bawah terhadap kebudayaan yang mereka produksi. Eriksen (1993) mengatakan identitas cenderung memperlakukan bagian-bagian yang dipresentasikan sepenuhnya pasif untuk menerima identitas yang dirumuskan mereka yang berkuasa. Sebagai proyek politik, perumusan identitas juga menyebabkan marjinalisasi justru terhadap pemilik kebudayaan yang bersangkutan.
Kedua, sebagai konstruksi politis, identitas selalu tidak pernah sempurna melukiskan setiap individu atau bagian dari sesuatu yang diwakilinya. Identitas, dengan begitu, selalu terbelah dan tak pernah utuh. Seolah ia merepresentasikan keseluruhan, tetapi tak pernah bisa menjadi bagian-bagian di dalamnya. Karena bagian-bagian itu tetap bergerak independen sesuai dengan “naluri”nya sendiri-sendiri.
Bagaimana pun, proyek identitas terlalu sulit dihindari terutama dalam kerangka otonomi daerah dewasa ini. Akan tetapi, kemampuan komunitas yang tersingkir menegosiasi juga penting kita apresiasi. Play and display seperti di Ponorogo dan Banyuwangi patut menjadi pilihan. BE / Desantara