Sebuah bom meledak di sebuah vihara Budha di Jakarta Barat dan melukai tiga orang bulan lalu. Tak lama kemudian, seorang Lurah perempuan beragama Kristen di Jakarta Selatan, Susan Jasmine Zulkifli, diminta untuk mengundurkan diri lewat sebuah petisi yang ditandatangani 2.300 warga setempat.
Kita wajib bertanya kepada diri sendiri apa yang menyebabkan kekerasan dan diskriminasi ini dan apa yang bisa dilakukan untuk menghentikannya demi menyelamatkan sejarah panjang keragaman dan toleransi beragama di Indonesia.
Sebuah laporan The Wahid Institute pada 2012 mencatat 278 kasus pelanggaran terhadap hak beragama kelompok minoritas, terutama Kristen dan kelompok-kelompok yang dianggap sesat oleh mayoritas Muslim Sunni, seperti Syiah dan Ahmadiyah, oleh aktor-aktor negara dan non-negara.
Salah satu penyebab utamanya adalah kegagalan pemerintah untuk secara konsisten menegakkan undang-undang yang menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga, seperti Pasal 28E UUD yang menyebutkan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…”
Para pelaku kekerasan brutal terhadap kelompok minoritas seringkali tidak menerima hukuman yang adil atas tindakan mereka. Dalam kasus tragedi Cikeusik di Banten, di mana sekelompok warga setempat membunuh tiga orang Ahmadiyah pada Februari 2011, sebagian besar pelaku hanya dipenjarakan beberapa bulan, sementara sebagian besar korban dan keluarga mereka belum menerima ganti rugi.
Indonesia dianugerahi keragaman agama dan keyakinan, sesuatu yang para pendiri bangsa berusaha pertahankan dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila mengintegrasikan, mengakomodasi dan mengakui nilai-nilai universal dalam setiap agama dan keyakinan di Indonesia. Pancasila – serta slogan nasional kita, Bhinneka Tunggal Ika – merupakan fondasi toleransi beragama kita.
Seperti yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus untuk menyambut 68 tahun kemerdekaan Indonesia, “Semangat Bhinneka Tunggal Ika dibutuhkan untuk memperkuat toleransi dan mencegah terjadinya benturan dan kekerasan komunal”
Sejumlah potret cerah menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki harapan. Pemerintah Kota Jakarta menolak untuk menanggapi petisi penolakan terhadap Susan sebagai Lurah dan sebuah petisi lain menghimpun dukungan bagi Lurah beragama Kristen ini. Polisi berhasil menghentikan beberapa anggota Front Pembela Islam yang hendak menyerbu masjid Ahmadiyah di Cianjur, Jawa Barat pada 25 Juli 2012. Dan setelah kurangnya tindakan pemerintah selama beberapa waktu, warga Syiah yang terusir bersiap untuk pulang ke Sampang, Madura, ketika upaya rekonsiliasi yang dipimpin oleh Abdul A’la Bashir, Rektor Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, antara warga Syiah dan warga Sunni di Sampang, menghasilkan kemajuan.
Namun, selain menjelmakan semangat filosofi dan slogan bangsa kita, kita perlu menempuh beberapa langkah penting untuk menegakkan dan mendorong pluralisme.
Pertama, peraturan perundang-undangan dan kebijakan diskriminatif di beberapa provinsi mesti ditinjau kembali dan dicabut. Misalnya saja Peraturan Gubernur Jawa Timur yang melarang kegiatan-kegiatan keagamaan yang dianggap menyimpang dan menghukum orang-orang yang melanggar norma-norma dan praktik-praktik keagamaan seperti yang ditentukan oleh mayoritas Sunni.
Kedua, memastikan penegakan hukum secara adil dan terbuka. Masih banyak dijumpai aparat keamanan yang memperlakukan korban kekerasan seperti “biang kerok” sehingga membenarkan evakuasi dan relokasi mereka, alih-alih menegakkan keadilan dengan menindak tegas para pelaku.
Ketiga, menjamin tidak adanya diskriminasi berdasarkan agama dalam pelayanan publik. Pegawai negeri semestinya tidak membiarkan keyakinan pribadi mereka memengaruhi cara mereka memperlakukan dan melayani warga yang tidak memiliki keyakinan yang sama. Seperti yang tertulis dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, “Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata…”
Sejumlah organisasi telah mengambil langkah-langkah untuk menangani masalah ini dan pemerintah bisa lebih banyak meminta bantuan mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, Kontras, sebuah organisasi yang mengadvokasi orang hilang dan korban kekerasan, telah memberikan berbagai pelatihan bagi polisi dan menyelenggarakan berbagai diskusi tentang prinsip-prinsip perlindungan kebebasan beragama.
Beberapa organisasi yang menggeluti kebebasan beragama seperti The Wahid Institute, Setara Institute, Human Rights Working Group dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia juga telah menggelar berbagai dialog dan dengar pendapat dengan pemerintah dan aparat keamanan mengenai kasus-kasus diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas.
Masih banyak yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan martabat kita sebagai sebuah bangsa yang berhasil merangkul keragaman dan bisa hidup berdampingan secara damai.
###
* Alamsyah M. Dja’far adalah peneliti The Wahid Institute, Jakarta, sebuah organisasi yang memperjuangkan perdamaian dan pluralisme dalam Islam, dan pengajar di Institute Studi Islam Fahmina (ISIF), Cirebon, Jawa Barat. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).