D. Setiono Musashi. Oleh Desantara / Abu Bakar / Nur Aflahatun
“Ini kan kekayaan yang seharusnya dijaga oleh Pemda Indramayu. Komunitas ini sama dengan komunitas di Cigugur (Kuningan, red.), Tangenan Karang Asem, (Bali, red.),” kata sarjana antropologi jebolan Udayana ini. Pria kelahiran Indramayu, 31 juli 1973 itu melanjutkan, “Sudah seharusnya mereka dijaga, meski kemunculunnya baru.”
Dedi Setiono Musashi, bertemu kali pertama dengan Tahmad Diningrat, pemimpin Dayak Segandu Losarang, sembilan tahun lalu. “Saat itu, komunitas Dayak Losarang masih sedikit. Berbeda dengan sekarang, untuk mendapatkan bantuan dari komunitas lain jauh lebih mudah. Aliran Dayak Segandu Losarang kini bahkan sudah punya Padepokan sendiri,” tegasnya.
Bapak dari putra bernama Abiseka Putra Ahimsa ini menambahkan, “Saat ini, pengikut ajaran Dayak Segandu yang sudah lepas baju sekitar 150-200 orang. Komunitas ini memiliki beberapa tingkatan. Ada yang biasa, dan ada yang sudah buka baju. Masing-masing ada ritualnya. Pengikut Dayak Segandu sekarang tidak hanya ada di Indramayu, namun juga ada di Jakarta, bahkan memiliki base camp di daerah Prumpung”.
Mengenai fatwa sesat MUI dan ancaman untuk menindak tegas dengan memberi limit waktu enam bulan terhitung sejak bulan Oktober 2007, Setiono sungguh terkejut. Sebab, Dayak Segandu selain tidak pernah berbuat kejahatan terhadap orang lain, mereka memberi penghormatan pada sosok wanita.
“Ngaji roso, menghormati kepada sosok wanita, tidak berbuat dosa, masak difatwa sesat,” herannnya dengan nada protes. Desantara Report