Padang adalah salah satu komunitas lokal yang terdapat di daerah Polewali, Sulawesi Selatan, tepatnya di dua desa di kecamatan Campalagian: desa Ongko dan desa Suruan. Meskipun masyarakat adat Padang Mandar yang kebanyakan penduduknya bekerja ke kebun ini merupakan daerah kecil dan terpencil namun bukan berarti masyarakat adat Pandang Mandar ini tidak memiliki sejarah panjang dan cerita yang menarik dan unik untuk didengarkan.
Konon masyarakat adat Padang Mandar terkenal dalam sejarah Mandar karena kemampuan mereka dalam memediasi konflik yang terjadi antara kerajaan Pittu Ulluna Salu (tujuh kerajaan di hulu)dan Pittu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan di muara). Dari hal itulah yang membuat masyarakat adat ini terkenal, diakui dan dihormati keberadaannya bukan hanya oleh kedua kerajaan besar tersebut melainkan juga orang diluar kerajaan itu. Bukti sejarah yang dapat kita saksikan adalah adanya Allamunan Batudilijo yang berjumlah tiga buah, batu ini bisa dikatakan sebuah prasasti perdamaian yang menandakan bahwa kerajaan ulluna Salo dan Ba’bana Binanga telah damai. Selain itu nenek moyang masyarakat adat Padang Mandar mendapat sebutan Banapilla atau tali penghubung. Disinilah signifikansi dari keberadaan komunitas ini. Ia tidak hanya berada dalam posisi di tengah-tengah secara geografis, tapi juga komunitas yang bisa menegahi konflik dari kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya.
Penghormatan kalangan yang berasal dari kerajaan-kerajaan besar yang terdapat di daerah ini terhadap komunitas Padang tercermin, misalnya, dari pesan raja (maraddia) Balannipa kepada Papuangan (pemimpin Padang) pada saat itu, yang berbunyi: “Marondong Duambongi Namatea, Mautomo Ana,u Mautomo Appou, Daa to’i Mupajari Mara’dia atau Arajang di Balanipa, Moa tomato’dor kedona To Masua Puli Pulinna, Pa’ iya motuitingngo na Ruppu-ruppu lita’ di Balanipa” (besok lusa kalau saya meninggal, biar anak saya atau cucu saya, jangan diangkat jadi raja kalau perlakuannya (keras kepala) tidak baik karena itulah yang bisa menghancurkan tanah (bumi) Balanipa). Pesan raja Balanipa ini menunjukkan bahwa pengangkatan raja di kerajaannya tergantung pula pertimbangan baik-buruknya oleh Pappuangan (pemimpin) Padang.
Komunitas Padang sampai saat ini masih memiliki berbagai tradisi. Di antaranya adalah Lakke’ (tarian Perang) dan Pappasialamanu (Sabung ayam). Dalam perjalanan sejarahnya, tradisi yang mereka anut telah bergelut dengan zaman, berdialog dan bernegosiasi dengan tradisi yang datang kemudian. Kedatangan agama Islam misalnya yang merupakan agama yang dianut oleh beberapa kerajaan besar di Sulawesi Selatan telah ikut mempengaruhi keberadaan tradisi di Padang ini. Tentunya komunitas yang ada di situ mau-tidak mau harus menerima keberadaan agama baru ini. Sekalipun demikian kedatangan tradisi baru ini, tidak membuat komunitas Padang harus kehilangan tradisi mereka sendiri. Mereka berupaya mensiasati keberadaan dari tradisi Islam dengan jalan negosiasi. Islam mereka terima, namun segenap ajarannya tidaklah murni mereka tiru mentah-mentah. Mereka menerima kali (qadi) dalam struktur adat mereka, tetapi tetap saja bukan qadilah yang harus memimpin acara-acara spritual dalam upacara adat. Begitupun mereka menerima untuk tidak meminum minuman, semacam tuak, dan tidak lagi berjudi tetapi tradisi Passiala Manu (Sabung ayam) tetap mereka jalankan. Unsur judinya mereka hilangkan, tetapi sabung ayamnya tetap mereka lakukan. Sabung ayam yang selama ini dianggap bermakna judi dan identik dengan kekerasan ketika dibaca dari sudut pandang agama resmi, dalam pandangan masyarakat Padang justru dibalik sebagai bagian dari pengungkapan rasa keberanian, pameran kejantanan/keperkasaan, menaikkan prestise bagi pemilik jago pemenang, pelampiasan rasa kesal dan sebagai simbol kritisisme. Bahkan ia bisa menjadi bentuk ketaatan manusia kepada sang pencipta. Sebab dalam sejarah masyarakat adat/lokal di Sulawesi Selatan ketaatan kepada sang pencipta senantiasa diwarnai dengan pengorbanan berupa darah yang ditumpahkan. Selain itu Pappasialang Manu dalam pandangan komunitas ini adalah simbol sikap ksatria yang merupakan identitas mereka selama, seperti dapat kita lihat dalam ungkapan yang lazim di komunitas ini:
Moa Polemi polena, Diamme Tammala, Ditiluwang Tammala, Dili’ai tammala, Dissului Tammala, Lamu’i naung ingga utti, Mokai waona lino dienggei naunna wonro, Doatai mate, dadi tuwo masisri di waona lino, o….diada di beasa.
(Bila saatnya telah tiba, ditelan tidak bisa, dimuntahkan tidak mungkin,
dilangkahi tidak dapat, merunduk juga tidak bisa, menanam kaki sampai lutut, jika di atas tanah sudah tidak mau didiami mari berdiam di bawahnya, lebih baik hancur berkalang tanah daripada hidup menanggung malu di dunia ini, dengan ketentuan harus berada di pihak yang benar).
Pembalikan cara pandang komunitas lokal terhadap satu peristiwa dari cara pandang yang mainstream ini menunjukkan bahwa di tengah mereka tidak ada narasi besar yang harus berlaku dan tidak ada hukum universal yang harus mengatur tata kehidupan mereka. Sayangnya proses negosiasi dan dialog antara komunitas Padang ini dengan agama resmi dan perkembangan zaman, yang damai, bersahaja dan penuh dialog, harus terusik bahkan terancam hancur dengan masuknya intervensi dan campur negara mencampurinya.
Dimulai dengan campur tangan pihak parawisata dan beberapa kalangan dari DEPAG yang menyarankan bahkan menginstruksikan agar tidak lagi menjalankan tradisi mereka yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama resmi. Tradisi yang dimaksudkan adalah tradisi Pappasialang Manu. Dalam pandangan kalangan pemerintah tradisi itu bertentangan dengan ajaran agama. Dan bila dibiarkan berlarut-larut akan meresahkan masyarakat umum. Karenanya harus dihentikan. Padahal selama ini dalam perjalanan sejarahnya, tradisi Papasialang Manu tidak pernah mengganggu keberadaan masyarakat umum.
Tidak hanya berakhir di situ, campur tangan pihak pemerintah berlanjut dengan masuknya aparat keamanan ikut mengintervensi perayaan-perayaan adat di komunitas Padang ini, khususnya yang berkaitan dengan Pappasialang Manu. Puncak dari semua campur tangan itu ketika sekolompok aparat keamanan datang melakukan penyerbuan, tepatnya pada tanggal 1 September 2003. Seperti yang diuraikan oleh Papuangan Burhan, berikut ini:
“ Tidak berselang beberapa lama (± 2-3jam) setelah acara pembukaan upacara adat yang dihadiri oleh Kadis Perhubungan dan Parawisata, Camat, serta Kapolsek Campalagian dan beberapa pejabat setempat kira-kira pada pukul 16.15 petugas Kepolisian Resort Polmas dipimpin Muh. Amir Lies datang, dan mengepung tempat pelaksanaan Papasialang Manu. Sambil mengepung, oknum dari beberapa anggota kepolisian ini mengeluarkan tembakan. Orang-orang yang hadir kemudian lari menghindar. Beberapa orang sempat tertangkap dan mendapat siksaan, bahkan ada beberapa orang yang dirampas barang-barang mereka, baik barang dagangan maupun barang berharga lainnya. Ada pula yang disiksa dengan cara dibenamkan ke sungai. Kebetulan yang dibenamkan itu adalah seorang perempuan bernama Salamaiah beserta anaknya. Bukan hanya itu, oknum-oknum polisi ini juga menghancurkan beberapa alat-alat tradisional yang biasanya dipakai dalam acara-acara adat. Malah sebagian di antaranya mengeluarkan kata-kata hinaan dengan menganggap adat di Papuangan ini adalah adat palsu. Setelah itu polisi ini kemudian pulang sambil membawa beberapa orang masyarakat, yang kemudian ditahan”.
Setelah peristiwa itu, masyarakat komunitas adat Padang mulai mengalami trauma, mereka mulai ketakutan untuk menjalankan tradisi mereka. Dan bukan tidak mungkin, bila ini berlanjut beberapa tahun ke depan komunitas Padang dengan segenap tradisinya akan lenyap. Boleh jadi tradisi mereka hilang, juga tidak menutup kemungkinan berganti dengan tradisi baru hasil konstruksi pemerintah yang tidak mereka kenali lagi. Kearifan masyarakat adat Padang sudah tidak ada lagi, hancur karena keangkuhan negara.
Perubahan adalah sesuatu yang alami, karenanya bila tradisi komunitas Padang harus berubah karena perkembangan sosial tidaklah perlu ditangisi. Namun kalau perubahan itu terjadi akibat intervensi apalagi tekanan dari luar, maka perlu rasanya hal ini dilawan. Desantara-Ijhal Thamaona