Sejak awal abad XIX, di Timur Tengah telah berlangsung mobilisasi politis dan ideologis atas hak-hak perempuan. Fathali Akhundzadeg dan Mirza Aghakhan (Laki-laki sekular dari Iran), Namik Kemal dan Mithat Efendi (Modernis Islam asal Turki), dan Kasim Amin (Mesir) pada masa itu mulai menilai ulang jilbab dan Syariat Islam untuk memodernisasikan status perempuan muslim di negara mereka. Begitu juga dengan Cevdet Pasha (hakim Islam dari Turki) dan Muhammad Abduh (intelektual muslim dari Mesir), yang berusaha keras mencari jalan reinterpretasi hukum keluarga Islam. Menurut para laki-laki reformis di atas, pendidikan perempuan, pencerahan, dan emansipasi perempuanlah yang mampu menjadikan para perempuan tersebut sebagai seorang ibu dan istri yang lebih baik.
Pandangan yang sama tajam, juga datang dari kalangan reformis perempuan muslim di masa itu, bahkan mereka lebih fokus dan teguh berpegang pada gender dalam menjalankan misi gerakan mereka. Seperti halnya Ghorat Ul Ain dan Bibi Khanoum (awal dan akhir abad XVIII), Fatma Aliya Hamin (akhir abad ke-18 di Turki) dan Nazira al Din (Lebanon) mengkritik keras interpretasi misoginis atas Alquran dan Hadist yang menyokong pada kemapanan laki-laki. Lebih jauh para perempuan reformis ini menentang pengekangan, segregasi seks dan segala bentuk pelarangan berdasar gender pada perempuan muslim yang berlaku saat itu.
Jika feminisme, pada masa ini, adalah proyek politik untuk mengadvokasi kepentingan dan hak-hak perempuan dalam mengakses kehidupan publik, lalu apa yang mereka jalankan saat itu tentu saja sebuah gerakan sangat menonjol, menarik dan sekaligus merupakan letupan penting di dalam masyarakat muslim. Seperti juga tercatat dalam sejarah, kesadaran akan gerakan kebangsaan di Timur Tengah dan Afrika Utara mampu membangkitkan kesadaran gender bagi kaum perempuan di kedua kawasan itu. Seperti tercatat pada sejarah pada awal tahun 1900-an, kaum perempuan Iran (1905), Turki (1908), dan Mesir (1920) mulai mendirikan organisasi perempuan yang otonom. Kaum perempuan nasionalis dari kelompok kiri maupun liberal menjadi garda depan pada organisasi tersebut. Lebih dari itu, kaum perempuan ini juga memajukan tujuan ideologis dan organisasional gerakan nasionalis dan sosialis negeri mereka.
Proses pembangunan bangsa dan modernisasi pasca kolonialisme pada tahun 1970, kecuali di Arab Saudi dan negara-negara teluk, segregasi seks terhadap perempuan tidak begitu kencang lagi, bahkan kaum perempuan justru disokong untuk terlibat dalam dunia kerja, namun sayangnya gerakan feminis yang independen menjadi terkikis. Dengan mengikuti agenda negara Barat untuk memodernkan bangsa, kesadaran diri untuk menimbang nilai-nilai patriarki malah lesu. Feminisme telah kehilangan ruh progresif dan kemampuan menggalang kekuatan yang menjadi ciri awal gerakan feminis.
Gelombang baru revivalisme Islam yang berlangsung di Iran (dengan pengekangan hak hukum dan pribadi perempuan lewat konsep negara Islam Iran), Sudan, Afghanistan dan Aljazair telah melahirkan era baru gender di kawasan itu. Aktivitas perempuan di negara-negara tersebut mungkin secara global begitu mengesesankan, penuh energi dan nyaring. Betapa tidak, berbagai kelompok perempuan dari yang konservatif, liberal, dan sosialis bercampur menjadi satu. Feminisme di kawasan itu nampak mencakup bidang yang sangat luas. Mulai dari yang menjalankan syariat Islam seperti Zainab al Ghazali, Safinah Kasim (Mesir), Monireh Gorji (Iran), Nagwa Kamal Farid, dan Hikmat Sig-Ahmed (Sudan) –dekat dengan kekuasaan rejim dan melawan pengaruh feminisme dan nilai-nilai Barat– hingga mengadvokasi kaum perempuan untuk mendapat tempat yang luas di ruang publik. Sekarang ini feminisme termasuk gerakan aktivis perempuan muslim yang melihat nilai-nilai Islam sebagai koridor yang sahih untuk mengadvokasi kaum perempuan. Di sisi lain kelompok ini juga mengambil nilai-nilai feminis sekular semacam kesetaraan gender di keluarga, akses yang sama untuk mendapat pendidikan serta kerja dan politik, dan mendesak untuk mengakhiri kekerasan gender dan eksploitasi seks.
Mengikuti jejak kaum ferminis seabad sebelumnya, kelompok feminis Islam ini menyalahkan nilai-nilai di luar Islam semacam tradisi budaya, politik dan hukum sebagai faktor ketidaksetaraan gender. Menurut mereka Islam sejak semula telah memberikan hak pada perempuan, namun kaum laki-laki muslim telah dengan seenaknya memberikan hak mereka sendiri untuk mengintrepretasikan Alquran dan Hadis sekaligus mendefinisikan posisi perempuan. Idelogi kaum feminis Islam yang berkembang secara lokal dan berbasis budaya secara perlahan juga dirangkul oleh kaum feminis yang secara akademis menempuh pendidikan di Amerika Utara dan Eropa (Leila Ahmed, Yvone Hadad, Mai Yamani dkk) yang juga percaya bahwa feminisme Islam-lah yang paling efektif dan mengena untuk mengadvokasi hak-hak perempuan di wilayah tersebut. Kaum feminis Islam menyarankan kaum feminis Barat untuk mendengarkan suara-suara “Liyan” meski suara itu datang dari mulut di balik kerudung. Sarjana lain semcam Fatima Mernissi dan Rifat Hasan juga menyerang sifat tidak konsisten atas interpretasi hakim syariat dan kelompok tradisional atas teks-teks Islam yang sering tidak imbang dan mendomestikasi perempuan (meski dari teks yang sama), untuk lebih ramah perempuan dan setara dalam gender.
Saat ini terdapat kelompok maupun individu feminis sekular, meski dalam kondisi yang mengerikan, tetap berjuang untuk otonomi diri dan kesamaan hukum, melawan nilai kaum Islam yang mengklaim Islam sebagai solusi segala bentuk masalah sosial dan budaya. Kelompok ini tersebar di Tunisia, Maroko, Mesir, Aljazair, Pakistan, Bangladesh, Palestina, dan Iran. Koalisi regional dan internasional yang mereka bangun semacam “Solidaritas Perempuan Arab” dan “Perempuan Hidup dalam Syariat Islam/Women Living Under Muslim Law” secara terang berbicara tentang gelombang baru gerakan perempuan di kawasan itu. Dengan menggunakan kesetaraan gender mereka memacu terjadinya demokrasi dan otonomi nasional, ternyata kaum perempuan ini menginspirasi perjuangan untuk sebuah perubahan yang progesif dan panjang di masyarakat Islam. Secara teoretis pesan yang paling kuat dan mendasar dari semua ini adalah, baik modernisasi Barat dan proyek Islamisasi itu merugikan perempuan. Perempuan perlu membangun wacana baru dan memulai diskusi baru yang memberikan hasil untuk mengubah nasib perempuan dari kelas, kelompok, etnis, dan daerah yang berbeda. Dialihbahasakan oleh Sigit Budhi Setiawan dari Encyclopedia of Feminist Theories, Lorraine Code