Islam dan Pluralisme Agama

“Ad-dinu Wahid Wa-Syari’atu Mukhtalifat”. Demikian ungkapan seorang kyai pada saat diminta pendapatnya mengenai Pluralisme agama dalam Islam. Ungkapan tersebut, menurutnya dinuqil dari kitab Tafsir Jami’ul Bayan karya At-Thobari. Disana at-Thabari menjelaskan bahwa pada dasarnya agama itu satu, sementara yang berbeda-beda itu jalan atau caranya.
Kalau kita coba tengok kebelakang, Islam adalah agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw., sejak abad ke VI di Makkah, di tengah-tengah bangsa yang berfaham politeisme yang dikenal dengan sebutan kaum jahiliyyah. Mereka terbiasa hidup bebas tanpa aturan sehingga kedatangan agama Islam sangat ‘menggelisahkan’ kehidupan mereka. Berbagai gangguan dan ancaman mereka lakukan, antara lain dengan pemboikotan sosial dan ekonomi serta teror fisik dan mental. Semua itu dihadapi Nabi dengan penuh ketabahan hati, sampai kemudian pada puncaknya Nabi beserta para pengikutnya menerima tawaran hijrah ke Yatsrib (Madinah). Pada waktu itu penduduk Madinah sangat beragam dalam kesukuan, budaya dan agama sehingga kehadiran umat Islam menambah khazanah komunitas keagamaan yang telah ada yaitu yahudi, nasrani dam agama-agama suku.

Dalam sejarah Islam dijelaskan bahwa kehidupan umat beragama di Madinah sangat harmonis, antar pemeluk agama saling menghargai dan saling menghormati. Kebebasan dan jaminan menjalankan agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya betul-betul terwujud. Semua pemeluk agama sama-sama menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang tertuang dalam Mitsaq al-madinah (Piagam Madinah). Dimana salah satu butir dari piagam madinah tersebut adalah hubungan intern anggota komunitas Islam dan antara mereka dengan komunitas yang lain di dasarkan atas prinsip-prinsip 1) bertetangga yang baik; 2) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; 3) membela mereka yang teraniaya; 4) saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama.

Jaminan Kebebasan Beragama

Pluralisme agama (keragaman agama) merupakan fitrah Allah yang diberikan kepada manusia. Di dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah; 256, disebutkan bahwa tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Dalam Surat Yunus Allah juga menjelaskan bahwa dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka, apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya.

Dari dua ayat di atas semakin jelas bahwa Islam menjamin kebebasan beragama bagi setiap manusia. Karena beragama bagi manusia pada dasarnya adalah pencarian akan hakekat ke-Tuhan-an yang dalam puncaknya adalah pencapaian kebahagiaan dengan mengikuti semua petunjuk-Nya. Hazrat Inayat Khan dalam bukunya menyebutkan bahwa ajaran agama apapun, pada saat kapanpun, datang ke dunia ini, tidak untuk mengangkat drajat hanya beberapa orang yang mungkin menerima kesetiaannya. Sebagimana hujan tidak jatuh di negeri tertentu saja. Semua yang berasal dari Tuhan, adalah untuk semua jiwa. Sesungguhnya rahmat adalah untuk semua jiwa; karena setiap jiwa, apapun kepercayaan dan keimanannya, adalah milik Tuhan.

Dalam Islam Tokoh-tokoh seperti al-Hallaj, ar-Rummi, Ibn. Arabi, Abu Yazid al-Bustomi dll, adalah orang-orang yang getol mengusung wacana kesatuan agama (wahdatul adyan). Agama oleh al-Hallaj diibaratkan seperti air yang mengalir melalui berbagai sungai yang pada akhirnya bertemu pada satu muara. Jalal al-Din al-Rumi menggambarkan keyakinan keberagamaanya dalam sebuah syair; aku adalah seorang Muslim, tetapi aku juga seorang Nasrani, Brahmanisme dan Zaratustranisme. Aku pasrah kepada-Mu al-Haq yang Maha Mulia, aku hanya mempunyai satu tempat ibadah, masjid atau gereja atau rumah berhala. Tujuanku hanya kepada Dzat yang Maha Mulia. Dan Ibnu Arabi melukiskan tentang pluralisme agama ini dalam sebuah syairnya; sungguh hatiku telah menerima berbagai bentuk, tempat penggembalaan bagi kijang an biara gabi pendeta, rumah bagi berhala, dan ka’bah bagi yang thawaf, sabak bagi taurat dan mushaf bagi al-Qur’an. Saya beragama dengan agama cinta, cinta itulah agama dan imanku.

Kebebasan beragama dalam konteks kekinian

Berbagai konsep tentang pluralisme agama yang ditawarkan oleh para filosof muslim tersebut, secara eksplisit menyalahkan keyakinan yang menuntut kebenaran agama sendiri. Agama sebagaimana disebutkan di atas, pada dasarnya merupakan fitrah yang dimiliki manusia sebagai upaya pencarian terhadap yang haq. Berbagai cara yang ditempuh manusia, yang terinstitusikan dalam bentuk agama, merupakan gambaran dari keyakinan akan adanya yang haq tersebut. Oleh karena itu beragama dalam bentuknya yang seperti apapun merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap mahluk Tuhan (manusia), dan perlakuan diskriminatif dalam berbagai bentuknya merupakan pengingkaran terhadap fitrah Allah.

Bangsa Indonesia dengan penduduk yang mencapai 200-an juta jiwa, memiliki keragaman suku, bahasa dan agama. Keragaman ini merupakan fitrah yang patut disyukuri dan dilestarikan sebagai sebuah kekayaan bangsa. Desantara

BAGIKAN: