Jalanan, Perlawanan dan Pengakuan

Masih kecil kok Merokok!!!”
“Nguyuh rung lempeng kok wis ngrokok, mabuk, mendem!!!”
“Hus, cah cilik kok omongane saru!”
“Rung iso golek duit dewe kok wis ditindik!”
“Kitik denga pe nggo ka ngisap!”
“Masih ingusan kok udah mabuk-mabukan!?”
“Belum bisa cari uang sendiri kok udah mabuk-mabukan!?”
Umpatan-umpatan dan larangan pada anak-anak seperti kalimat di atas, selalu mewarnai dalam kehidupan masyarakat noratif kita, tanpa kemudian disusu dengan memberikan sebuah informasi yang argumentatif yang mampe memberikan sebuah rasionalisasi kena larangan itu diberikan dan dikenakan pada mereka. Yang paling fatal adalah, petuah-petuah dan aturan tersebut melanggengkan batasan-batasan antara menjadi anak-anak dan menjadi orang dewasa.

Definisi tentang anak dan manusia dewasa diterjemahkan secara beragam, tergantung bagaimana masyarakat memaknainya. Secara yuridis, anak di Indonesia adalah seseorang yang berusia 0 – 18 tahun, dimana dia akan mendapatkan kuasa penuh untuk menentukan hidup mereka adalah ketika mereka berusia > 18 tahun. Namun, batasan yuridis tersebut terbantahkan oleh UU Perkawinan, dimana seseorang yang telah menikah akan dianggap telah dewasa (meskipun usia mereka < 18 tahun). Kaum muslim, mendefinisikan bahwa anak-anak menjadi dewasa ketika mereka telah aqil baligh, dimana jika laki-laki ditandai dengan sunat (Khitan) dan dan telah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam dunia medis, anak dianggap telah dewasa adalah ketika mereka telah mengalami pubertas, yaitu ketika organ reproduksinya telah berfungsi dan mampu menghasilkan keturunan. Laki-laki ditandai dengan mimpi basah dan perempuan ditandai dengan menstruasi. Kemudian perkembagan fisik tersebut juga akan diikuti dengan perkembangan secara pikis, dimana anak-anak dianggap telah dapat menentukan hisupnya. Defisi tentang anak-anak juga dipahami dengan prespektif yang berbeda-beda, dimana definisi itu dilekatkan pada anak-anak tidak hanya dibatasi oleh usia.

Masyarakat seringkali bias dalam mendefinisikan anak-anak yang kemudian berakibat pada pengabaian peran-peran sosial mereka. Di suatu sisi, anak dianggap telah dewasa dan di suatu sisi anak dianggap sebagai seorang anak yang tidak tahu apa-apa dan tidak dapat berbuat apa-apa. Apa yang dilakukan masyarakat “dewasa” tersebut, secara sadar atau tidak, mereka telah mengkonstruksi anak-anak tanpa mempertimbangkan bahwa anak-nak memiliki kultur dan memiliki dunia mereka sendiri yang terkadang tidak mampu dipahami oleh orang dewasa sekalipun. Sebagai sebuah refleksi, ketika pagi hari, anak-anak akan dihadapkan pada perintah-perintah yang menggunakan argumentasi bahwa mereka telah dewasa. Namun, di saat yang sama, dia dianggap sebagai anak-anak yang belum mampu bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan, sehingga harus dibatasi dengan aturan-aturan.

“Bangun-bangun! Udah besar kok bangunnya siang. Cepet mandi dan berangkat sekolah! Jangan lupa rapikan tempat tidur!”

Kalimat tersebut sering dilontarkan oleh orang tua untuk menunjukkan dan memberikan sebuah definisi bahwa mereka telah dewasa. Kalimat tersebut selalu menghiasi kehidupan masyarakat kita di pagi hari. Di saat yang sama, anak-anak dipaksa untuk tunduk pada kuasa orang tua ketika mereka sedang berusaha melakukan komuikasi dengan dunianya.

“Mau ke mana? Masih kecil kok mau malem Mingguan! Tidak boleh itu! Ayo belajar! Anak itu kewajibannya cuman satu, belajar – sekolah!”

“Hiih, anak nakal! Kerjaannya main melulu, mau jadi apa kamu? Cepet pulang! Cuci piring sana! Habis itu jangan lupa menyapu halaman!”

Konteks di atas menunjukkan bahwa selama ini anak-anak dikonstruksi sebagai makhluk yang dianggap tidak bisa apa-apa dan sama sekali tidak memiliki hak apapun untuk menentukan hidupnya. Aturan-aturan yang dipaksakan tanpa memberikan sebuah penjelasan yang dapat diterima dengan akal sehat memicu anak-anak menjadi dewasa. Dalam bayangan mereka, hanya dengan menjadi dewasa mereka dapat dianggap menjadi manusia. Anggapan tersebut menyebabkan anak-anak mencari cara untuk dianggap dewasa dengan menunjukkan pada dunia bahwa dia sudah “dewasa”. Hal tersebut ditunjukkan dengan cara yang berbeda-beda, tergantung bagaimana konstruksi yang mereka terima.

Mereka meniru apa yang dilakukan oleh pendahulunya, tentang bagaimana menjadi “dewasa”, seperti : merokok, mabuk, tatoo, pierching dan melawan (sub culture) konstruksi budaya yang telah ada (domain). Dalam perkembangan selanjutnya, perlawanan mereka berkembang menjadi sebuah “perang” terbuka terhadap kultur, agama, norma dan aturan-aturan yang selama ini mengekang kebebasan mereka.

Menjadi dewasa, dimaknai dengan mampu mengatur hidupnya sendiri, memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan mampu mencari uang sendiri. Keyakinan ini membuat mereka membuat sebuah keputusan yang terkadang tanpa mereka sadari telah membentuk sebuah kultur dan cara hidup sendiri dalam mengahdapi tekanan-tekanan yang ada di rumah dan di lingkungannya. Mulailah mereka menghindar dari tekanan-tekanan tersebut dengan melakukan kegiatan-kegiatan di tempat-tempat yang tidak ada lagi sebuah aturan dan batasan yang ketat. Sesuai dengan dunianya, mereka akan mencari tempat bermain yang menurut mereka sangat menyenangkan. Jika arena permainan dan membangun dunianya tidak tersedia di rumah, maka mereka akan melarikan diri dari rumah dan akhirnya memilih ke jalanan. Menghasilkan uang sendiri, mencari makan, mengatur hidup, menentukan pakaian dan menentukan siapa kawan-kawan yang akan dijadikan sekutu membuat mereka merasa itulah artinya menjadi dewasa. Anak jalanan merasa dewasa pada saat usianya kurang dari 5 tahun. Mereka telah menghasilkan uang di usia itu.

Ada banyak pilihan tempat-tempat yang menarik, seperti GOR, Alun-alun, perempatan, stasiun, emperan toko, kampus, pendopo, terminal, pinggir kali, dll. Publik space ini kemudian dikenal dengan istilah jalanan. Mulai dari sekedar melihat-lihat, mampir, singgah dan menjadikannya tempat untuk membentuk relasi sosial yang erat dengan anak-anak lain. Mereka menempati publik space bukan tanpa alasan, agar perlawanan mereka dilihat langsung oleh masyarakat, mereka dapat survive (dengan mencari ruang-ruang ekonomi), mereka dapat menemukan kawan-kawan yang ‘seideologi” dan agar mereka dapat tetap menikmati kebebasannya adalah beberapa alasan yang membuatnya berada di publik space.

Jalanan bagi anak jalanan

Bermula dari sekian persoalan di dalam relasi normatif keluarga dan masyarakat (konflik, ketidakpercayaan, frustasi, dan dalam kasus tertentu, kekerasan) mereka memilih untuk pergi ke jalanan. Mereka kemudian ketemu dengan orang-orang (komunitas) yang ”senasib” dan kemudian beradaptasi dengan sekian permasalahan kompleks di jalan, baik negatif (kekerasan, alkohol dll) maupun positif (kebertemanan yang tidak memandang status, kenyamanan dalam komunitas, kebebasan berekspresi dll). Melalui proses-proses kompleks di jalanan, mereka akhirnya menemukan ruang ”yang pas” dengan ruang batin mereka dan dari situ muncul sebuah ruang pilihan untuk hidup di jalanan. Dalam perkembangannya, anak-anak jalanan turun ke jalanan dengan beberapa alasan : Pilihan Hidup, Berekspresi dan Traficking. Bagi mereka yang di jalan, memilih hidup di jalanan adalah sebuah bentuk perlawanan dalam kerangka memperjuangkan identitas sebagai warga negara yang sah, yang memiliki hak-hak yang sama dan harus dipenuhi oleh negara. Sehingga, siapapun yang berada di jalanan (anak jalanan), mereka harus mendapatkan perlindungan dari negara.

Jalanan Adalah tempat untuk hidup dan menjalankan kehidupan, (tinggal, mencari makan, membentuk komunitas-komunitas, membentuk relasi sosial baru dengan membentuk dan mengembangkan norma dan budaya sendiri, yang khas di jalanan. Secara sederhana, indicator ketika dia memilih hidup di jalanan adalah ketika dia memiliki pilihan lain untuk keluar dari jalanan namun dia tetap memilih berada di jalanan. Kehidupannya akan mati jika tidak boleh lagi hidup di jalanan. Masyarakat sekitar mereka tinggal (di jalanan) menerima mereka apa adanya bahkan mamu membentuk hubungan sosial dan ekonomi yang saling menguatkan, seperti yang selama ini tecermin dalam budaya urban.

Anak jalanan memiliki penafsiran sendiri tentang hidup di jalanan, dimana bagi me
reka jalanan bukan hanya sekedar permasalahan perut dan kemiskinan. Hidup di jalanan adalah sebuah perjuangan. Seorang anak Jalanan di Jogja, dia mulai hidup di jalanan sejak berusia 8 tahun, tidak tahu orang tuanya berada di mana dan dia memenuhi sendiri kebutuhannya mulai dari pakaian, mainan, makanan dan perlindungan. Mengamen dan mengemis, yang terkadang hanya dilakukan dengan sekedar mengacungkan tangan dan mengiba di perempatan dan depan Mall, ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah. Bahkan, mengemis pun harus dilakukan dengan bermacam cara agar mendapatkan simpati dari masyarakat yang lewat. Tidak jarang anak jalanan memoles tubuh mereka agar dapat mengggugah iba masyarakat dan mendapatkan sedekah. Ada beberapa trik yang digunakan, yaitu : mengaku belum makan dari pagi, mengaku untuk membayar uang sekolah, mengaku jika orang tuanya sakit dan berpura-pura sakit. Waktu dan tempat untuk memanfatkan ruang ekonomi pun berubah-ubah, tergantung situasi dan kondisinya. Jika razia dilakukan pada malam hari, maka mereka akan mengamen pada pagi hingga siang hari. Atau jika razia dilakukan pad pagi sampai siang hari maka mereka akan mengamen pada sore sampai malam hari.

Hal di atas menunjukkan bahwa jalanan dianggap sebagai sebuah ruang ekonomi. Jalanan yang dulu diciptakan sebagai penghubung suatu tempat ke tempat yang lain, dalam perkembangannya kemudian menjadi sarana untuk memperlancar akses ekonomi. Jalanan dibuat halus, rata, lebar dan diatur sedemikian rupa agar akses-akses kebutuhan ekonomi (distribusi barang) lancar. Nah, dalam konteks ini anak jalanan memandang bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan pelaku bisnis untuk dapat memanfaatkan jalanan sebagai ruang ekonomi bagi mereka.

Beberapa anak jalanan memiliki pandangan lain terhadap jalanan, tempat tinggal mereka. Tahun 2006 lalu ketika aku menemui anak jalanan berusia 13 tahun yang menjdi korban kekerasan olep satpol PP hanya karena dia lari saat ada razia. Dia telah menentukan jalan hidupnya, membentuk dunianya sndiri (menjadi anak jalanan – anak kereta) dan dia siap melakukan apapun untuk memperjuangkan pilihan hidupnya tersebut.

“… wani urip neng dalan kudu wani matine, ora popo mas…. Jarene pakdeku nek wani neng dalan kudu wani nanggung resiko, kudu wani diantemi, kudu wani matine mas……” (berani hidup dijalanan harus berani mati, gak papa mas, … kata pakde saya kalau di jalanan harus berani menanggung resiko,harus berani dipukuli, harus berani mati)

Tidak banyak orang yang mau memperjuangkan pilihan hidupnya bahkan siap menyerahkan nyawanya demi pilihan tersebut. Dia telah membentuk keyakinan yang mendorongnya untuk terus berjuang hidup di saat anak-anak seusianya sibuk memilih sepatu warna apa yang akan dia gunakan untuk berangkat sekolah. Konstruksi yang selama ini dia terima menjadikannya memiliki karakter yang kuat, tegas dan konsisten.

Jalanan sebagai Identitas

Ketika berkumpul dengan anak-anak jalanan, kita akan menemukan beragam orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Dalam suatu kesempatan, dapat kita temukan preman, gelandangan, rendan (kere dandan), punk, seniman, Keple, tekyan, ojek, tukang becak, calo, maling, copet hidup damai di jalanan. Mereka berhubungan satu sama lain, membentuk sebuah pranata sosial, menciptakan bahasa sendiri, membangun sebuah relasi yang saling menerima dan saling menghargai, tanpa pernah mempertanyakan dari mana mereka berasal, suku dan agama mereka. Bahkan, dengan kuasa penuh mereka dapat mengganti nama mereka sendiri tanpa sebuah upacara/slametan khusus. Romlah dipanggil Lala. Sugiyono yang berambut gondrong selalu memperkenalkan dirinya dengan nama Gundhul. Nungki Kurniawan yang gigi serinya copot satu karena kecelakaan dipanggil Ompong. Bahkan, mereka tidak pernah tahu nama asli kawannya meskipun sudah hidup bersama membentuk sebuah komunitas selama lebih dari 2 tahun.

Dalam sebuah diskusi dengan beberapa anak-anak jalanan di jogja, mereka dengan lugas menjelaskan tentang profesi mereka dan kawan-kawannya. Salah seorang mengaku jika dia memiliki pekerjaan sebagai seorang ”Kucing” yang melayani Gay, kemudian ada yang menjelaskan kepadaku tentang pekerjaan kawannya yang menajdi seorang pencopet di kereta. Salah seorang remaja perempuan mengaku jika dia menjadi seorarng pekerja seks. Mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama untuk bercengkerama dengan anak-anak yang lain untuk memdiskusikan apa yang terjadi di sekitarnya dan sesekali mereka memperbincangkan tentang situasi politik di tanah air.

Seperti di belahan bumi manapun, anak jalanan memiliki persamaan karakteristik, yaitu menyukai hal-al yang baru termasuk berpetualang ke kota-kota yang belum pernah mereka singgahi. Cara mereka berpindah-pindah ada beberapa macam, di Jawa yang angkutannya relatif lebih mudah, mereka menggunakan bermacam-macam angkutan, seperti truk, pick up, bus dan kereta. Anak-anak jalanan komunitas Jombor Jogja, secara periodik mereka melakukan kegiatan BLEK-BLEKAN, yaitu berpetualang ke kota lain dengan menumpang truk/pick up yang berhenti di perempatan. Mereka menggunakan perempatan sebagai terminal untuk naik maupun turun. Masih di Kota Jogja, Anak-anak jalanan di Lempuyangan dan Abu Bakar Ali, mereka sangat sering melakukan NGGRENJENG, yaitu kegiatan melakukan perjalanan ke kota lain dengan menumpang kereta barang ataupun dengan menumpang kereta ekonomi dengan tidak membayar. Mereka menggunakan stasiun Lempuyangan sebagai tempat untuk naik kereta tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh anak jalanan di kota-kota yang memiliki stasiun kereta api.

Indahnya berbagi :

Hidup di jalanan, memang dituntut untuk dapat memahami situasi yang ada. Harus memahami jika di jalanan, sesuatu tidak bisa menjadi meilik pribadi. Dimana batas-batas private tidak terkotak-kotakkan. Pakaianku juga pakaianmu, rokokku juga rokokmu, makananku makananmu namun, cewekku tetaplah cewekku. Ada batasan tertentu jika kita memperbincangkan pasangan hidup. Dalam pergaulan shari-hari, mereka memiliki rasa kepeulian yang tidak dapat mereka temukan sebelumnya, dalam keluarga mereka skalipun. Di jalanan, mereka harus memiliki kepedulian pada orang lain.

Razia pol PP yang semakin gencar membuat mereka kehilangan ruang-runag ekonomidan menyebabkan enghasilan mereka menjadi berkurang. Hal ini menjadi [ermasalahan tersendiri. Naiknya harga BBM yang disusul dengan membumbungnya harga kebuuhan pokok, menjaikan kawan-kawan harus membuta strategi baru untuk bertahan di jalanan. Berbagi adlaah salah satu kunci jawabannya.

Untuk menjaga hubungan dengan anak jalanan yang lain di saat terdesak oleh kebutuhan yang semakin tinggi, mereka memiliki aturan-aturan main yang sangat demokratis dan menghargai hak-hak orang lain. Mereka memiliki pranata baru yang mengatur cara mereka mencari unag. Ada beberapa aturan di titik-titik komunitas di Jogja. Secara umum, atran yang diterapkan oleh komunitas di suatu kota adalah dengan mrngstur waktu untuk gantian mengamen di tiap titik. Pembagian titik lapangan berdasarkan komunitasnya. Ada beberapa komunitas yang bermunculan dan memiliki nama sendiri-sendiri berdasarkan titik diimana mereka menetap sehari-harinya. Di Jogja, ada komunitas Abu Bakar Ali, Korem, Benteng, PraGon (Prapatan Gondomanan), Jombor, WiroBrajan, Janti, Alkid, dll. Jika sebuah kendaraan / orang sudah diameni oleh salah seorang anak, maka anak jalnan yang lain tidak lagi menggameninya. Ada beberapa sistim yang digunakan anak jalanan untuk mengamen. Diantaranya adalah 5000-AN, yaitu mereka mengamen sampai dapat uang Rp. 5000,00 dan jika sudah dapat maka dia harus mundur dan digantikan oleh kawan-kawannya yang lain. Namun, jika untuk mendapatkan uang Rp. 5000,00 lama sekali, maka dia bisa diganti oleh kawannya sebelum dapat Rp. 5000,00. Aturan yang kedua adalah 4 – LAMPUAN, yaitu setiap anak memiliki waktu mengamen sampai lampu trafficlight menyala merah sebanyak 4 kali. Setelah lampu merah menyala 4 kali, berapapun yang didapat maka dia harus mundur digantkan oleh orang lain. Ada lagi si
stim 20 MENITAN, yaitu mengamen selama 20 menit, berapapun yang didapat dia akan diganti oleh orang lain.

Dalam satu hari mereka memiliki waktu untuk berkumpul, melakukan diskusi, bercengkerama dan berbagi cerita apa yang mereka dapat hari ini. Sambil makan, mereka memperbincangkan apa yang terjadi, mulai dari penghasilan, pacar, pasangan sampai acara musik apa yang akan mereka tonton. Mereka makan di warung-warung yang buka di sekitar titik komunitasnya. Yang menarik adalah ketika salah seseorang tidak memiliki uang untuk membeli makanan, maka anak jalanan yang memiliki uang lebih (hasil mengamennya lebih) akan membelikan makanan bagi temannya. Bukan hanya makanan, rokok dan minuman pun dibelikan. Pakaian, baik baju, jaket dan celana bukanlah merupakan barang-barang yang memiliki nilai privasi. Terkadang, pakaian seorang anak jalanan dapat dipakai oleh banyak orang.

”SEWU-SEWU DADI BANYU”, ”bantingan” ”urunan” merupakan istilah-istilah yang sering digunakan untuk membuka sebuah diskusi dan sharing yang dilakukan dengan menenggak minuman beralkohol. Minuman beralkohol ini dapat berupa Lapen, Tuak, Arak, Ciu, Anggur Merah, Sunrise, newport, kidungan (Wonogiri). Minum minuman beralkohol, dipahami bukan sebagai sebuah tindakan untuk melanggar hukum (mengganggu ketertiban), namun ”minum” dilakukan sebagai sebuah sarana untuk melakukan komunikasi denagn intensif. Minuman sebanyak 1-2 liter tersebut, diminum secara bergantian menggunakan gelas Aqua. Sekali tegak, hanya ¼ gelas saja dan semua orang mendapatkan jatah yang sama. Rokok dihisap bergantian (cupitan), dimana 1 batang rokok dapat dinikmati oleh 5 orang anak secara bergantian.

Konstruksi Anak Jalanan Medan dan Jogja

“Bang, kasih seribu bang! Buat makan bang!” kalimat itu mengalir lembut tanpa ekspresi dari seorang anak jalanan di depan medan plaza. Saya tidak sdang menggugat kenapa dia menjadi peminta-minta, tetapi kenapa dia meminta-minta di depan Medan Plaza, dengan vulgar menyebutkan angka (Rp. 1000,00).

Aku bertanya, “Emang buat apaan?” yang tentu dapat dengan mudah ditebak jawaban yang akan diberikannya.

“Buat makan bang, dari pagi belum makan”.

Kemudian aku merogoh sakuku dan kutemukan uang receh Rp. 500,00 logam. Yang cukup aneh, tidak segera diterimanya uang itu. Setelah tahu, dia kembali meminta uang karena yang diminta adalah Rp. 1000,00. Sampai aku memberinya uang Rp. 1000,00 dia kemudian tidak menarik-narikku lagi.

Anak itu bernama Rahmat, salah seorang anak jalanan yang berada di sudut Kota Medan, yang tergusur dari jalanan (dalam arti kata jalan dan perempatan), karena sebuah konsep “Kebersihan Kota”, yang melahirkan sebuah gagasan bahwa kebersihan tersebut bukan hanya masalah sampah, namun juga bagaimana kota dianggap bersih jika tidak ada kegiatan masyarakat dan komunitas tinggal di jalanan. Masyarakat di Medan memiliki sikap dan watak yang tegas, apa adanya dan terus terang. Meskipun mayoritas penduduk Medan adalah suku Jawa, namun kultur yang ada di sana bukanlah mencerminkan masyarakat Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa Medan menjadi sebuah kota multi etnik, agama, ras dan budaya, dibangun dengan akulturasi budaya dari Jawa, Batak, Melayu, India, Tionghoa, dll sehingga memiliki karakteristik yang unik, bukan Jawa, bukan Melayu, bukan Batak, Bukan India dan bukan Tionghoa. Namun, yang ada adalah “kultur Medan”.

Berbeda dengan Rahmat, Shanty seorang remaja jalanan perempuan yang mengamen di salah satu perempatan di Jogja, mengamen dengan cara-cara yang diadopsinya dari lingkungan tempatnya bermain, yaiu Jogja. Shanty mengamen mulai selepas Magrib sampai tengah malam. Dia mengamen dengan menyanyikan beberapa bait lagu dan kemudian meminta imbalan jasa pada pengendara sepeda motor dan mobil yang lewat. Berapapun imbalannya, Shanty akan menerima Cara yang ditunjukkan Rahmat berbeda dengan anak jalanan yang ada di Jogja, dimana dia dengan tegas menyebutkan sejumlah uang yang dikehendakinya. Shanty, salah seorang anak jalanan di Jogja, meminta uang tanpa menyebutkan jumlahnya dan menerima berapapun yang diberikan. Kenapa bisa begitu? Masyarakat Medan, memiliki kultur yang berbeda dengan masyarakat Jogja.

Seperti dalam pepatah, “Lain ladang Lain belalang, lain tempat lain pula adatnya”. Anak-anak jalanan mengadopsi kultur yang mereka terima selama ini, kemudian meramunya dnegn aapa yang mereka terima dan mencari celah-celah dimana mereka bisabertahan hidup. Contoh di atas menunjukkan bahwa Rahmat mencoba bertahan dengan mengadopsi kebiasaan di Medan yang membentuknya untuk bersikap tegas dalam mengutarakan maksudnya. Sedangkan Shanty mengamen dengan mengadopsi kultur jawa di Jogja dengan menggunakan simbol-simbolis (dengan menengadahkan tangan) dalam mengutarakan maksudnya dan menerima apa adanya apa yang diberikan oleh orang lain (nrimo). Anak-anak jalanan turun ke jalanan bukan tanpa strategi. Sosialisasi yang mereka lakukan dengan masyarakat mainstream sekitar dan masyarakat jalanan telah menghasilkan strategi baru dalam bertahan hidup di jalanan dengan meramu apa yang mereka dapat, baik di rumah, di masyarakat mainstream dan masyarakat (anak) jalanan.

Bertahan dan Melawan

Kehadiran Rahmat, Shanty dan anak-anak jalanan lain di Indonesia terancam oleh sebuah Konsep “City without Slum” (Kota tanpa Kekumuhan) yang melahirkan program “Kebersihan Kota” yang dimaknai dengan menyingkirkan segala macam sampah yang ada di perkotaan. Kebersihan Kota, dalam operasionalnya selalu dimaknai dengan “membersihkan” anak-anak dari jalanan, entah bagaimanapun caranya, termasuk dengan kekerasan. Apa yang terajdi? Apakah mereka menyingkir dari jalanan?

Sama sekali tidak. Hal ini memicu mereka untuk mencari staretgi baru agar tetap bertahan hidup di jalanan. Ada banyak macam jenis kegiatan anak jalanan di Medan untuk dapat tetap survive, diantaranya : tukang semir sepatu, pengamen, jual koran, tukang sapu angkot, mengemis dll. Sedangkan di Jogja, anak jalanan memiliki profesi yang beragam, seperti mengamen, mayeng (memulung), ngawal kereta (memulung di kereta), membuat handycraft, menyemir sepatu, serabutan (kuli), tukang becak dan menjadi pekerja seks. Beragam profesi di atas adalah sebagai sebuah bentuk cara adaptasi dengan keadaan yang membuat mereka tertekan.

Strategi untuk bertahan yang tidak ka;ah mengagumkan adalah bagaimana anak-anak jalanan tersebut menanajemen waktu. Mereka memiliki pemetaan yang sangat bagus terhadap kondisilingkungan di sekitar tempat tinggal mereka. Siapa yang berkuasa, siapa yang harus dijadikan sekutu dan siapa yang harus dihindari. Pol PP, merupakan salah satu yang harus dihindari, ancaman pertama sebelum polisi dan preman. Pol PP dan oknum-oknumnya selalu dianggap dengan preman-preman yang bekerja atas nama undang-undang karena pendekatan yang dilakukannya senderung represif. Dalam beberapa kesempatan, anak-anak jalanan yang tertangkap medapatkan perlakuan kasar (kekerasan), yang tidak hanya fisik, namun psikis dan ekonomi. Jumlah anak jalanan yang mengaku pernah dirazia : 227 orang, 62 orang mengaku mengalami kekerasan, 33 orang mengaku digabur (dibuang di suatu tempat yang jauh dari tempat nongkrong), dan terjadi 68 kali perusakan dan perampasan peralatan untuk mengamen.Hal ini yang memicu anak-anak jalanan menciptakan strategi untuk bertahan di jalanan, mengadopsi taktik perjuangan Panglima Besar jenderal Soedirman, yaitu “bergerilya”. Mereka mengamen dengan mengatur waktu sekiranya Pol PP tidak melakukan razia di waktu-waktu tersebut dan menghindari wilayah-wilayah yang menjadi lokasi razia.

Kebutuhan akan rasa aman dan tercukupinya ruang-ruang ekonomi untuk bertahan di jalanan, memicu mereka untuk melakukan interaksi dengan masyarakat lain yang berada di sekitarnya. Mereka kemudian membangun sebuah relasi dengan masyarakat sekitar, menjalin hubungan yang lebih intens (pasangan) sampai kemudian menjadi sebuah komitment untuk hidup bersama. Komunit
as yang terbangun tersebut memiliki sebuah tujuan, yaitu bagaimana agar mereka dapat tetap bertahan di jalanan dan tetap mampu menjalankan kehidupannya.

Anak-anak jalanan bukanlah sampah masyarakat, bukanlah masyarakat yang meny8impang dan bukanlah segerombolan pengacau keamanan. Mereka adalah komunitas yang memiliki semangat untuk berjuang demi hari esok yang lebih baik. [] Gama Triono, Siswa Sekolah Multikultural Desantara Angkatan 2008, Relawan Pengorganisasian Remaja Jalanan PKBI DIY. Ditulis untuk Sekolah multikultural Desantara Angkatan 2008

BAGIKAN: