Jejak Identitas Perempuan Tionghoa dalam Karya Sastra (2)

Dilema Status Kewarganeraan Perempuan Tionghoa Miskin. Dekonstruksi Posisi.Derajat perempuan, bagaimana pun berkuasanya ia –seperti juga dialami oleh seorang penguasa perempuan– tetaplah berada di bawah laki-laki. Hal tersebut kontras dengan cerita di atas, bahwa perempuan selalu diposisikan “di bawah” laki-laki.
Sebelum subuh dia menginginkanku lagi. Baru saat itulah aku bisa mencoba tarian kipasku… Untuk beberapa malam selanjutnya aku terus-menerus dipanggil. Kekasihku takjub saat menyadari bahwa dia berkali-kali berhasil menanamkan benihnya. Dibiarkannya dirinya terhanyut, memintaku untuk terus menjelajahi setiap kemungkinan. (Min, 2008: 220)
Karya sastra ini merepresentasikan perempuan yang berada “di atas” laki-laki. Posisi perempuan menjadi sebuah petanda bahwa perempuan “di atas” menjadi ”pengendali” seorang laki-laki: kaisar berada tepat di bawah kendalinya. Anchee Min lahir dan tinggal di Shanghai. Dia sadar bahwa budaya Cina tidak memihak perempuan. Perempuan ditampilkan secara negatif dan kontras dengan apa yang ia alami. Citra negatif perempuan dalam kesusasteraan  ini dapat disimak sejak abad ke-17 (Lombard, 2005: 202). Upaya untuk memindahkan bentuk abstrak (kehidupan masyarakat) melalui karya sastra kepada suatu poros waktu kerap dilakukan penulis secara sengaja dan kadang terkesan “rekayasa atau manipulasi”, bahkan dalam bentuk karya sastra fiksi sejarah sekalipun.
Arti penting tubuh ditentukan oleh struktur sosial yang ada di luar jangkauan individu, tidak dapat dilihat sebagai keseluruhan dalam sebuah karya sastra yang mengadaptasinya sebagai sebuah pendekatan atau analisis, melainkan hanya tertarik pada unsur sosio-budaya di dalamnya yang dilihat sebagai unsur-unsur yang lepas dari kesatuan karya. Dengan kata lain, tubuh dibentuk, dikendalikan dan bahkan ditemukan oleh masyarakat. Manajemen dan pengendalian tubuh karenanya sangat terikat pada ukuran-ukuran atau standar nilai yang ada di dalam suatu masyarakat. Dalam batas-batas apa kita dapat membicarakan tentang tubuh dan apa saja yang dilakukan seseorang yang menyangkut tubuhnya merupakan dua hal yang sangat penting di dalam kerangka tersebut.
Aspek-aspek yang mengitari tubuh perempuan Cina pada karya sastra di atas  setidaknya telah memenuhi tiga aspek tubuh: tubuh individual, tubuh sosial, dan tubuh sebagai aspek bio-politik. Pertama, Tubuh individual, yang dipahami sebagai pengalaman hidup tubuh yang meliputi bagaimana setiap kita memandang tubuh dan perbedaannya dengan tubuh orang lain. Kedua, Tubuh sosial yang menyangkut kegunaan simbolis dan representasional dari tubuh di dalam mengkonseptualisasikan alam, masyarakat dan kebudayaan. Pengaturan, pengendalian dan penertiban tubuh juga merupakan gejala sosial yang terlihat pada nilai dan norma masyarakat. Ketiga, Aspek bio-politik dari tubuh yang berkaitan dengan kebijaksanaan negara di dalam mengendalikan, mengatur dan mengamati tingkah laku tubuh pada level individu dan kelompok dalam rangka menunjang stabilitas sosial.
Novel Putri Cina (2007) sebagai sebuah karya sastra membeberkan begitu saja realitas yang terjadi pada saat ia mencipta. Lewat tindakan atau perilaku tokoh. Perilaku atau tindakan yang kemudian ditafsirkan sebagai sebuah simbol tertentu oleh pembaca.
Di sisi lain, sastra adalah roh kebudayaan. Ia lahir dari proses kegelisahan pengarang sebagai sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Dari sanalah sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya.
Dalam konteks itulah, membaca sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Begitu pula dalam karya sastra Putri Cina karya terbaru Sindhunata yang tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakat etnis Cina.
Penggunaan tubuh di dalam pernyataan: “Ya Jawa, ya Cina“  tidak hanya dipahami sebagai relasi ekonomi saja, melainkan juga relasi ideologi yaitu relasi tubuh secara fisik (hubungan fisikal antara laki-laki dan perempuan) dilihat sebagai sebuah relasi yang di dalamnya dibentuk posisi sosial yang berbeda yaitu antara subjek dan objek penderita.
Kata ”bukanlah manusia” merujuk penanda <sesuatu yang tidak bernyawa> atau makhluk lain seperti  binatang, makhluk halus, dewa dan sebagainya. Penanda menggambarkan kemungkinan terdapatnya oposisi bernyawa/tidak bernyawa, hidup/mati dan sebagainya. Jika penanda tersebut dihubungkan dengan tandanya, maka pembaca mendapat gambaran terdapat benda mati atau makhluk selain manusia. Proses ini merupakan refleksi (self-reflexivity) atas gambaran makna tanda, pengalaman dan pengetahuan pengarang.
Pada self-reflexivity idealnya terjadi apa yang oleh Derrida (Aminuddin, 2002:193) disebut allegory of dissociation, yakni penggambaran berbagai cerita atas sesuatu yang direfleksikan sehingga menggambarkan thing berbeda-beda. Kehadiran asosiasi yang berbeda-beda menjadikan makna tanda pada karya sastra menjadi kaya. Allegory of dissosiation bisa terjadi karena terdapatnya difference.

BAGIKAN: