Jejak-Jejak Perubahan Sosial dan Kesenian di Madura

Tahun 1976. Saat itu Huub De Jonge sedang bersiap-siap ke Madura. Sebelum berangkat, ia membeli obat di sebuah apotik di Surabaya. Saat berbincang dengan penjaga apotek tentang keinginannya pergi ke pulau garam itu, tiba-tiba Si penjaga kaget dan berpesan agar De Jonge mengurungkan niatnya. Orang Madura itu keras dan sangat bahaya bagi keselamatan jiwa, kata Si penjaga. Tetapi, De Jonge keukeuh ke Madura, bahkan tinggal hampir setahun melakukan penelitian di sana.
Stereotip orang Madura yang bertemperamen tinggi, agresif, cepat marah dan berani, seperti yang dituturkan Si penjaga kepada antropolog asal Belanda itu terus melekat hingga kini. “Stereotip ini, benar atau tidak, sering memberikan kesan menakutkan kepada orang luar, baik orang Indonesia maupun orang asing,” tulis De Jonge dalam kata pengantar buku Agama, Kebudayaan dan Ekonomi. Stereotip itu pula yang membuat peneliti, entah Indonesianis maupun peneliti Indonesia, lebih memilih melakukan penelitian di lingkungan lain yang lebih menarik. Tetapi, mungkin, karena kondisi geografis yang tidak sesubur Jawa yang peningkatan jumlah penduduknya tak sebanding dengan naiknya pertumbuhan ekonomi, membuat orang Madura harus bertahan dengan cara yang bagi orang luar terkesan menakutkan.
Tak hanya orang luar, “Putra Madura” sendiri pun terkadang mengamini stereotip ini. Simak saja saat Latief Wiyata mewawancarai salah seorang mantan pelaku carok. Di tengah-tengah wawancara, sang narasumber yang juga mantan blater itu tiba-tiba menempelkan bara api rokoknya ke telapak tangan Latief hingga melepuh. Sebaliknya pria itu justru memperlihatkan telapak tangannya yang sama sekali tak mempan oleh sentuhan bara api. Tak hanya itu, ia juga menggores tangannya dengan sebilah clurit tajam tanpa sedikitpun goresan luka. Barangkali dari lukisan itu Latief tak bermaksud menggeneralisasi karakter orang Madura, tapi lantaran pilihan narasumbernya yang mantan carok membuat kesan-kesan semacam itu semakin memperkuat jati diri orang Madura yang keras dan kasar.
Toh begitu, hasil penelitiannya tidak sia-sia, maka, dengan segala cerita yang sempat dialami Latief, lahirlah buku Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Ketakutan juga tidak menghantui semua orang. Beberapa peneliti “nekat” juga telah menelorkan berbagai buku seperti yang direview di media ini; selain Latief, ada Hélène Bouvier, lantaran karena dirinya seorang perempuan, dan beda kultur pula, sehingga ia berkali-kali dilarang menghadiri acara ritual yang khusus dilakukan oleh laki-laki serta beberapa kali dicuekin ketika hendak mewawancarai narasumbernya. Tetapi toh semangatnya yang luar biasa ini menghasilkan karya jempolan yang edisi Indonesia-nya, berjudul Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Sementara Huub De Jonge, meski di minggu-minggu awal saat tinggal di Parindu sempat dicurigai sebagai agen pemerintah atau Penginjil dari gereja Pantekosta, ia berhasil menelorkan disertasi Madura dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam; Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Bersama peneliti-peneliti lain, De Jonge juga menerbitkan buku kumpulan tulisan berjudul Agama, Kebudayaan, dan ekonomi; Studi-Studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura. Sementara, Kuntowijoyo menulis Perubahan Sosial dalam Madura 1850-1940.
Saya memulai dari Kuntowijoyo karena diantara peneliti lain, Kunto meng-cover Madura lebih umum. Ia juga mengurai Madura dalam kurun yang panjang, hampir satu abad, 1850-1940. Malah, dalam beberapa kasus, ia menarik lebih panjang dari kurun itu seperti ditunjukkan di bagian catatan akhir.
Kunto, dalam tulisan yang untuk disertasi di Columbia University ini, menyajikan proses perubahan sosial yang terjadi di Madura, mulai dari kolonial yang mengambil alih Madura menjadi sistem kekuasaan secara langsung, sampai menjelang kemerdekaan Indonesia. a memakai pendekatan sejarah masyarakat secara menyeluruh, lepas dari sejarah konstitusionalnya. Dalam buku ini, Kunto lebih menekankan analisis formasi sosial dengan melihat proses yang terjadi di dalam masyarakat luas.
Di bagian awal, Kunto memberikan analisis ekonomi pertanian Madura dengan lebih memberi tekanan pada hubungan antara tanah dan penduduk. Asumsinya, jenis pertanian berpengaruh terhadap struktur sosial masyarakat yang pada gilirannya mempengaruhi jalannya sejarah. Ia juga mendiskusikan masalah demografi, peta permukiman penduduk yang banyak dipengaruhi oleh ekologi tegal yang dominan. Berbeda dengan desa-desa di Jawa yang dibentuk oleh suatu kompleks pemukiman penduduk yang memusat yang dikelilingi oleh persawahan, penduduk desa di Madura terpencar dalam kelompok kecil-kecil yang karenanya menyulitkan kontak sosial antar warga. Tak aneh bila orang-orang di Madura relatif sulit membentuk solidaritas desa dan lebih tersosialisasi untuk memiliki rasa percaya diri yang bersifat individual.
Dalam perjalanan sejarah mulai abad sembilan belas, secara umum, masyarakat Madura terkotak dalam dua kelas; kelas petani dan kelas penguasa. Dua kelas ini, dihubungkan oleh sebuah sistem upeti berupa percaton atau sistem apanage dan jasa tenaga kerja. Dalam temuannya, Kunto juga mengurai ciri utama organisasi sosial kerajaan-kerajaan Madura yang kepemilikan tanahnya dikuasai oleh negara. Di masing-masing kerajaan, panembahan adalah pemilik tanah secara nominal, adapun pemilik yang sebenarnya adalah rakyat kebanyakan. Panembahan punya hak memungut pajak pertanian.
Tetapi, semenjak pertengahan abad sembilan belas, organisasi sosial ini bergeser. Ini bermula sejak Belanda menancapkan kekuasaan secara langsung. Padahal, di awal VOC berdiri, Madura diangkat kedudukannya secara khusus sebanding dengan Mataram. Posisi raja Madura diperkuat ketika Belanda meminta mereka mengadakan wajib militer membantu menjaga ketertiban nusantara (hlm. 160-161).
Kendati begitu, berada di bawah kekuasaan langsung tidak sepenuhnya kekuasaan itu bersifat mutlak dan hegemonik. Selalu saja ada gerakan perlawanan dalam berbagai bentuk dan cara. Misalnya gerakan para ario, kelas bangsawan, yang melakukan konspirasi atas pembunuhan keluarga Harthoorn di Pamekasan tahun 1868.
Contoh lain adalah gerakan rakyat. Ini bermula ketika Belanda mencurigai perilaku Kiai Semantri atau Kiai Lanceng. Kiai Semantri berdasarkan kabar yang masuk ke pejabat, mempunyai keahlian mengobati penyakit dan dapat menghilangkan nasib buruk. Kesohoran kiai ini membuat penguasa jengah. Dengan alasan kharisma, pemerintah lalu mengambil tindakan. Dua orang yang diutus; wedono dan asisten wedono mengunjungi langgar kiai Semantri. Saat wedono hendak mengajak kiai untuk menghadap residen, kiai marah sekali. Lalu, kiai memerintahkan santri keluar langgar untuk melakukan dzikir. Tak hanya itu, peristiwa itu juga membuat simpatisan kiai terus berdatangan. Bahkan, polisi yang ditugasi untuk mengatasi tamu tak kuasa menahan amukan massa. Polisi yang ditempatkan di Prajan, di serang oleh keluarga dan tamu kyai dengan senjata tajam, batu. Peristiwa Prajan ini, dalam pandangan kunto, seperti tiba-tiba menampakkan benturan ide antara otoritas kharismatik dengan birokrasi rasional dan berkaitan erat dengan gerakan revitalisasi Islam di berbagai tempat di Indonesia di abad sembilan belas. (hlm. 345)
Perlawanan dalam bentuk lain juga dilukiskan sangat baik oleh Kunto. Dalam sebuah peristiwa, lima puluh orang yang membangkang perintah Pak Arbisa seorang kliwon (kepala desa). Lima puluh orang itu tidak bersedia membangun jalan, karena Ratu mereka tidak mengizinkan. Ratu ini, bernama Pak Masan. Ia mengangkat dirinya menjadi ratu setelah mewarisi keris ayahnya. Saat dilaporkan ke pengadilan, Pak Masan tidak bisa dihukum karena tidak melakukan kriminal. Tetapi, moral cerita ini seperti menghadirkan satu ilustrasi mengenai pemogokan massa di Madura, dalam pengertian bahwa peristiwa tersebut menunjukkan struktur sosial desa, terutama ikatan pertalian keluarga dan batas-batas koalisi petani (hlm. 390-396)
Yang patut diperhatikan lagi, tentu saja soal pemimpin keagamaan; kyai dan guru tarekat yang merupakan inti dari hubungan sosial Madura. Maka, berdirinya SI seperti menjadi pengesahan atas kharisma mereka. SI mengubah parokialisme individual orang Madura menjadi lebih bisa bekerja sama. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, orang Madura telah membuktikan bahwa dirinya sanggup bekerja sama mengatasi individualisme mereka. Meski dalam beberapa kasus, SI bertindak sebagai agen perubahan untuk menyokong beberapa proyek pemerintah.
Sealur dengan Kuntowijoyo, aktivitas keagamaan juga menjadi bagian penting dalam perluasan dan pendalaman agama. Berkat agama para saudagar berhasil maju dan dapat mengukuhkan posisi mereka sebagai suatu kelompok. Ini simpulan yang juga sempat dimunculkan di endorsement dari tulisan Huub De Jonge. Tetapi dalam tulisan asli Juragans en Bandols: Tussen Handelaren op Het Eiland Madura ini, De Jonge menulis dengan lebih menukik ke wilayah ekonomi. Ia pun menggunakan pendekatan etnografi ekonomi.
Hasil disertasi Huub De Jonge adalah peran pedagang dan pengusaha dalam proses komersialisasi setelah Madura mulai dibuka untuk dunia luar dalam paruh ke dua abad 19. Buku yang juga merupakan disertasi ini merupakan hasil penelitian antropologi ekonomi di pulau Madura selama periode Oktober 1976 sampai bulan September 1977.
De Jonge melatari tulisan ini dengan menggambarkan historiografi Madura. Di dua bagian pertama, ia menceritakan kondisi geografis dengan merunut sejarah Madura mulai pertengahan abad sembilan belas, saat terjadi pergeseran pemerintahan dari kerajaan ke kolonial. Dalam penelitian ini, De Jonge menuliskan, sejak tahun 1799, setelah Kompeni dibubarkan Madura menjadi bagian dari negara kolonial Hindia Belanda dengan menggunakan sistem pemerintahan tak langsung. Polanya, setiap raja yang diangkat harus menandatangani kontrak dengan pemerintah pusat di Batavia. Tetapi konsekuensi pemerintahan tak langsung ini raja tidak ada yang mengawasi, mereka pun menjadi semakin lalim.
Memang, bagi pemerintah kolonial, mereka disokong oleh para raja dengan pasukan sukarela yang membuat para raja dihadiahi gelar panembahan atau sultan tetapi risikonya, raja menjadi lalim karena tiada yang mengawasi. Melihat ini, pemerintah kolonial perlahan mulai mengambil alih pemerintahan sehingga di tahun 1858, gubernemen mendapat peluang menerapkan pemerintahan langsung di Pamekasan. Berikutnya, berturut-turut, Sumenep di tahun 1883 dan Madura Barat di tahun 1885 (hlm. 57).
Dalam catatan De Jonge, memang benar, berangsur-angsur ada perbaikan. Tetapi karena kondisi geografisnya yang tidak mendukung, pulau ini tetap menjadi yang termiskin dan terbelakang (hlm. 58).
Toh begitu, perubahan pemerintah ini memberi dampak lain seperti tiadanya isolasi di satu sisi dan pelibatan Madura dalam integrasi dan pembangunan dalam rangka batas kolonial (hlm. 78).
Maka, setelah berakhir pemerintahan sendiri selama dua ratus tahun, pulau itu mulai terbuka. Lalu lintas perdagangan dengan Jawa berlangsung meningkat, introduksi tanaman baru penerapan hak milik pribadi atas tanah, penggantian pungutan tradisional dalam natura dengan pajak uang yang relatif ringan dan pelbagai tindakan pemerintah yang lain mengakibatkan kemajuan di bidang ekonomi pertanian. Salah satu produk pentingnya adalah tembakau.
Karya disertasi De Jonge ini dalam beberapa hal juga bersambung dengan studinya Castel tentang peranan para pabrikan rokok di Kudus. Bedanya, Castel lebih terfokus pada peran para perdagangan perkotaan, sementara De Jonge lebih ke wilayah pedesaan. Studi ini mau melihat perkembangan satu jaringan perdagangan dan relasi antara pedagang dalam proses komersialisasi yang berkaitan dengan proses integrasi, selama seratus tahun terakhir. Namun di atas segalanya membicarakan perubahan sosial di Madura terutama yang diperoleh lewat aktifitas perdagangan ini seolah tak lengkap tanpa melihat kelompok-kelompok penting yang terlibat di dalamnya.
De Jonge mencatat ada kelompok terpenting dalam jaringan perdagangan ini yang punya peran dominan didalamya. Ya, jaringan para saudagar tembakau. Kelompok ini menguasai perdagangan di bagian timur Madura dan memonopoli hubungan-hubungan dengan Jawa. Aktivitas mereka mengikat, terutama oleh perluasan dan pendalaman agama Islam. Berkat agama inilah para saudagar itu berhasil maju dan dapat mengukuhkan posisi mereka sebagai satu kelompok. De Jonge sendiri memusatkan penelitian di Desa Parindu. Desa ini merupakan pusat perdagangan jalur pantai barat daya Sumenep. Memang, selain di jantung teluk, Parindu juga terletak di jalan pantai selatan yang besar, karena berada di tengah-tengah antara kota Pamekasan dan kota Sumenep.
Peran carok
Meski agak berbeda dengan dua buku di atas, karya etnografis yang ditulis Latief Wiyata berjudul Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura ini dalam beberapa hal memiliki titik singgung. Balutan antara agama dan budaya, selain karena motif ekonomi, yang terbungkus dalam balutan harga diri, memunculkan pengadilan sendiri yang diinstitusionalisasi dengan sebutan carok.
Nampaknya carok dalam pandangan Latief tidak sekadar merefleksikan karakter orang Madura, tapi juga merefleksikan topografi sosial dan geografis. Latief menengarai kontur tanah yang membuat garis-garis tegas menjadi salah satu indikasi kondisi sosial di pedesaan Madura sejak dulu yang tak memberi rasa aman bagi penduduknya. Kondisi sosial yang tak aman ini juga terlihat dari semua bentuk arsitektur rumah tradisional yang hanya memiliki satu pintu di bagian depan sehingga tidak ada jalan bagi orang untuk keluar atau masuk rumah (hlm. 41).
Lebih luas dari gambaran di atas, Latief memperlihatkan bahwa di Madura terutama di Sumenep dimana penelitian dipusatkan, terdapat kampong Mejhi, yaitu kumpulan-kumpulan atau kelompok-kelompok pemukiman penduduk desa yang satu sama lain sering terisolasi. Jarak antara satu pemukiman dan pemukiman lain bisa sampai sekitar satu sampai dua kilometer (hlm. 43).
Selain itu juga kondisi alam yang tandus dan gersang, pertumbuhan penduduk yang cepat dan tingkat pendapat yang sangat rendah, yang diperburuk dengan sitem politik feodalisme akibat pemerintahan tidak langsung yang diterapkan oleh pemerintah kolonial, ikut menyiapkan kelahiran tradisi carok ini.
Kontur tanah dan perkampungan juga melahirkan proteksi khusus perempuan. Lelaki dan perempuan tidak bertamu di ruang tamu. Untuk menemui tuan rumah, lelaki biasanya menemui di langgar. Jika tamu datang bersama istrinya, maka hanya istrinya yang boleh masuk ruang tamu. Oleh karena itu, setiap tamu harus menuju bangunan surau, di tempat inilah,dia akan ditemui oleh tuan rumah laki-laki.
Murid De Jonge ini menemukan bahwa carok tidak merujuk pada semua bentuk kekerasan yang terjadi atau dilakukan masyarakat Madura, sebagaimana yang dianggapkan prang luar Madura selama ini. Melainkan, suatu institusionalisasi kekerasan yang berkaitan erat dengan struktur budaya, sosial, kondisi sosial ekonomi, agama dan pendidikan. Secara historis, carok sudah dikenal masyarakat Madura sejak berabad lalu.
Orang Madura melakukan carok tidak hanya karena tak mau dianggap pengecut, tetapi juga agar tetap diakui oleh masyarakat sekelilingnya sebagai orang Madura. Tipikal ini seperti memiliki pengertian sendiri yang tidak sama dengan pengertian orang luar. Karena adanya pengertian seperti itu, tindakan kekerasan yang disebut carok ini selalu memberikan kesan menakutkan pada orang luar (hlm. 6).
Carok dalam hal itu seakan satu-satunya perbuatan yang harus dilakukan. Para pelaku carok seakan tak mampu mencari dan memilih opsi lain dalam upaya menemukan solusi ketika mereka sedang mengalami konflik. Mengapa harus carok? Sebab, carok dianggap lebih memenuhi rasa keadilan. Selain itu carok juga merupakan cermin kekurangmampuan para pelaku mengekspresikan budi bahasa sehingga lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk membunuh orang-orang yang dianggap musuh. Akibatnya, konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi.
Latief, berdasarkan uraian dari De Jonge, juga menyimpulkan bahwa munculnya tindak kekerasan dalam kehidupan masyarakat Madura setidaknya disebabkan dua hal. Pertama, pemerintah pada waktu itu tidak memperhatikan masyarakat Madura; kedua, sebagai konsekuensi dari yang pertama, masyarakat menjadi tidak percaya kepada pemerintah sehingga segala persoalan atau konflik kekerasan digunakan, tanpa peduli peraturan. Cara penyelesaian dengan tindak kekerasan ini tiada lain adalah carok (hlm. 69)
Carok biasanya dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap istri sehingga menyebabkan malu. Dalam konteks itu, carok mengindikasikan monopoli kekuasaan suami terhadap istri. Monopoli ini ditafsirkan Latief antara lain dengan ditandai adanya perlindungan secara over.
Berdasarkan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian lapangan Latief, dari enam kasus yang diteliti, sebagaimana dideskripsikan di bab II dan Bab IV, ada beberapa hal yang patut dicatat. Dari enam kasus yang diteliti, tiga masalah perempuan, tiga kasus lainnya tuduhan mencuri , perebutan warisan dan balasan dendam. Semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu perasaan malo karena pelecahan harga diri (martabat). Untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka melakukan carok, yang ternyata selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial (hlm. 169).
Dalam konteks ini peristiwa carok pada dasarnya merupakan manifestasi dari relasi sosial yang tingkat keakrabannya sangat rendah karena didominasi secara signifikan oleh rasa permusuhan. Dengan kata lain, peristiwa carok hanya akan terjadi jika pelakunya berada dalam kondisi permusuhan (hlm. 61)
****
Berbeda dengan buku-buku yang diulas di atas, adalah tulisan Hélène Bouvier. Buku berjudul lebur! Seni musik dan pertunjukan dalam masyarakat Madura ini, lebih spesifik mengungkap seni kontemporer dan seni pertunjukan Madura.
Tulisan yang berjudul asli La matière des émotions ini mengungkap berbagai ragam kesenian temporal dengan mengaitkan hubungan antar musik, puisi, tari, teater dan seni bela diri. Seni temporal mencakup musik, tari dan puisi. Seni pertunjukan meliputi berbagai jenis teater, seni bela diri dan beberapa tari yang digubah sebagai pertunjukan. Ungkapan temporal mengandung makna kegiatan kesenian yang bersifat sekilas.
Istilah Lèbur digunakan Hélène karena sifatnya yang spontan, untuk sesuatu yang dianggap bagus, enak dinikmati mata dan telinga. Lèbur mengandung makna menghibur, baik, bagus, dan enak didengar. Istilah Lèbur sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Madura sehari-hari yang biasanya secara spontan diucapkan manakala mereka menyaksikan sebuah pertunjukan seni yang menarik, indah ditonton dan enak dinikmati.
Lantas apa relevansi buku ini terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat Madura? Buku ini membuat temuan menarik. Menurut penulisnya, berbagai kegiatan kesenian ini merupakan percobaan untuk mencari jalan keluar dari jawaban atas kebutuhan, masalah dan aspirasi suatu manusia yang berada dalam suatu konteks materiil dan historis, singkatnya bagaimana kegiatan itu dapat membantu mempertahankan hidup atau memberikan kehidupan yang lebih baik. Untuk menemukan kembali tubuh dan suara yang tidak terkait langsung dengan kerja, untuk menuntut pelatihan tubuh, untuk tujuan lain seperti pertarungan, tantangan dan kepercayaan diri. Seni ini juga berfungsi sebagai penyampai informasi bagi penduduk setempat dan pembentukan jaringan kenalan.
Helene melihat, bahwa para pelaku seni, permainan musik, penyanyi, penari atau aktor hampir tidak membedakan diri dengan masyarakat luasnya. Kegiatannya merupakan pekerjaan khas yang membedakan mereka pada satu tertentu dengan masyarakat sekitarnya dan ini dilakukan serentak dengan kegiatan ekonomi lain, kegiatan ritual, soal ekonomi, sehingga seni temporal dan pertunjukan menjadi pelayanan sosial sekaligus kegembiraan pribadi dengan pemain dan penonton yang berbaur.
Maka, rasa tidak puas dan ketegangan yang berkaitan dengan sistem politik sosial yang berlalu dihimpun, disalurkan dan dilarutkan di dalam kegiatan kesenian. Pada umumnya, kegiatan ini berpihak pada status quo dan tidak memberikan banyak ruang bagi kritik. Mungkin sekali, masyarakat cenderung untuk menyeleksi lembaga pentas seperti seni dan olah raga yang hanya lari dari fungsinya yaitu penenteraman dan perpaduan sosial ketika terjadi situasi kritis. Teater sebagai pemandu dan cara untuk melepaskan diri, sementara topeng mengungkap masa lalu yang sulit dilakukan, loddrok dan drama merujuk pada kedua dunia yang berbeda, di satu pihak kehidupan sehari-hari dan modernisasi Indonesia yang dipentaskan.
Mengembalikan Fantasi Melalui Seni
Dera peradaban plus kondisi geografis yang terjadi di Madura ternyata memunculkan sisi-sisi lain yang tak terbayangkan oleh banyak orang. Stereotipe yang muncul, kekuasaan yang terus menerus membelenggu, membuat rakyat Madura memiliki cara sendiri utnuk bersiasat. Kerajaan, kolonialisme, telah membuat mereka selalu bertahan entah dengan cara yang ditunjukkan dengan berserikat sebagaimana ditulis oleh Kuntowijoyo atau melalui cara tak kasat melalui seni.
Membaca Madura mungkin memberi pengertian bahwa ada hal-hal tak terpikirkan yang ternyata menjadi sumber cara orang madura melakukan katarsis. Beberapa hasil ini review ini juga menunjukkan tentang individualisme yang distereotipekan orang tak sepenuhnya genap.
Kunto, misalnya, ia menuliskan tentang gerakan Syarekat Islam yang sempat memberi warna di sana. Kunto, sebagaimana dituturkan di bab kedua dari buku Agama, Kebudayaan dan Ekonomi, menunjukkan bagaimana orang Madura yang cukup sulit menjalin kontak sosial ternyata bisa dimobilisasi saat dibentuk Syarekat Islam terutama di tahun 1912-1920.
Dalam pandangan Kunto, ada beberapa alasan Syarekat Islam berkembang di Madura. Pertama, Madura merupakan satu diantara banyak tempat di mana penetrasi kapitalis pada abad kesembilan belas telah mempengaruhi kehidupan rakyat sehari-hari. Misalnya, akibat penyewaan yang dilakukan oleh aparat (apanege) kepada orang China membuat kesengsaraan luar biasa.
Kedua, masyarakat Madura menerima akibat sisa-sisa dari suatu sistem stratifikasi yang ketat, yang telah masuk akibat kekuasaan hak-hak istimewa dari tangan golongan yang memerintah. Maka, penyebaran SI di Madura dapat dipandang sebagai manifestasi kebangkitan wong culik (kenek). Ketiga, Madura terkenal karena rakyat yang taat pada agama, dan terakhir, kerumitan struktur sosial Madura mencerminkan masyarakat Indonesia yang lain (hlm. 31-33).
Apa yang dituturkan Kunto, De Jonge, dan Latief tentu menarik karena menyajikan data-data dan analisis sejarah yang cukup kaya. Dan apa yang dituturkan Helene mungkin juga banyak ditemukan ragamnya di Indonesia. Harga sebuah peradaban, setidaknya kalau memakai alat analisisnya Marcuse, sungguh mahal harga yang harus dibayar. Tetapi dengan kesenian, mereka mencoba mengambil kembali fantasi mereka sekaligus melupakan beban yang menindih mereka. Desantara / Ingwuri Handayani.

BAGIKAN: