BENARKAH kolonialisme telah berakhir di negeri ini sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan 1945? Pertanyaan yang masih patut untuk terus digugat oleh bangsa ini. Meskipun penjajahan fisik kolonial telah berakhir, namun tidak berarti tanpa menyimpan bias dan pengaruh terhadap perilaku, watak dan keagamaan bangsa Indonesia.
Bangsa ini boleh saja memekikkan kemerdekaan 17 Agustus, yang diperingati setiap tahun. Tapi bukan berarti ”penjajahan” telah usai. Praktik penindasan dan peminggiran sebenarnya masih ada di negeri ini.
Negara (penguasa) tampaknya dalam hal ini dapat pula dikatakan sebagai subyek dominan yang tanpa sadar ”menerjemahkan” praktik-praktik kolonialisme dalam kebijakannya. Dalam konteks politik keagamaan, dapat disebutkan misalnya, ”pendisiplinan” terhadap ajaran agama yang ”benar” dan yang dianggap ”salah”, termasuk melakukan kontrol terhadap keyakinan keagamaan yang dianggap ”sesat”.
Otoritas penghakiman oleh negara (kuasa) dalam konteks politik keagamaan merupakan bagian politik kolonial, yang tanpa disadari memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter dan mental bangsa ini.
Sejarah mencatat, kolonialisme pernah ratusan tahun mencengkram negeri ini. Kurang lebih tiga setengah abad. Dari kedatangan sebagai pedagang kemudian menjadi imperialis, dilakukan kolonial untuk menguasai teritorial nusantara. Letupan perlawanan oleh bangsa ini pun terjadi ketika kekerasan imperialisme mulai menindas dan berkeinginan menguras kekayaan tanah jajahannya.
Diantara tokoh kolonial (Belanda) yang memiliki peran besar terhadap sejarah imperialisme di negeri ini adalah Christiaan Snouck Hurgronje. Tokoh politik Belanda ini merupakan politisi kolonial yang dalam pemikiran politiknya untuk menguasai masyarakat nusantara lebih banyak mempresentasikan strategi perang dengan pendekatan keyakinan (agama).
Menurut Snouck, untuk menekan perlawanan penduduk jajahan tidak perlu secara terus-menerus dengan senjata. Dialah tokoh yang merekomendasikan pemetaan politik kepada Pemerintah Belanda untuk meredam perlawanan masyarakat. Baginya, Pemerintah Belanda harus memisahkan (pemecahan) masyarakat dari gerakan-gerakan perlawanan yang mengusung spirit Islam Politik.
Dalam pemikiran politiknya, Snouck tidak melihat bahaya apa pun dari perlawanan masyarakat yang terjajah, selain kefanatikan beragama (Islam). Karena itu, dalam penelitian awalnya terhadap perang di Aceh 1891, Snouck sangat berkeyakinan gerakan-gerakan perlawanan paling berbahaya dan mengancam kekuasaan kolonial adalah umat Islam (nusantara) yang fanatik.
Politik ”Penjinakan”
Politik Snouck yang memfokuskan pada pemisahan praktik keagaman umat Islam sangat berpengaruh terhadap ”mentalitas” keyakinan umat Islam kemudian. Materi pengkatagorian dari urusan ubudiayah (ibadah), muamalat (hubungan sosial), hingga gerakan Islam politik (perang sabil), menjadi stategi baru pemerintah kolonial menguasai negeri ini.
Snouck yang pernah mengenyam pendidikan di Mekkah, berkeyakinan bahwa persoalan ubudiyah dan muamalat umat Islam sangat sensitif untuk ditekan. Karena itu, dia pun menyarankan kepada Pemerintah Belanda untuk mengawasi dan mengontrol aktivitas umat Islam yang mengarah pada kegiatan politik. Namun sebaliknya, ”membebaskan” umat dalam melaksanakan kegiatan ubudiyah dan muamalat.
Untuk menyukseskan proyeknya, Snouck pun merumuskan strategi perang, yang dalam sejarah disebut-sebut dengan gaya politik ”belah bambu” (tipudaya, pen). Yakni, siasat pemisahan (pemecahan) aktivitas umat Islam dari urusan ibadah, muamalat, dan politik.
Dalam upaya meredam segala bentuk perlawanan umat, Snouck kemudian menyarankan pemerintah kolonial merekrut umat Islam (tokoh, ulama, masyarakat) dalam struktur kekuasaan Belanda. Disinilah awal ”penjinakan” dan ”pembungkaman” daya kritis umat Islam dibangun terhadap kolonialisme. Snouck tidak menginginkan umat Islam mengadopsi ajaran agama sebagai kritik sosial.
Selain melakukan pemisahan urusan agama dan politik. Snouck juga meminggirkan umat Islam dari keingintahuan misi politik kolonial, termasuk proyek penjajahan di nusantara. Puncaknya, Pemerintah Belanda melakukan pendisiplinan terhadap aktivitas dan pemahaman agama umat. Kebebasan agama diatur, diadministrasi, dan dikontrol. Demikian halnya, Produk hukum Islam dipilah, diseleksi dan disesuaikan dengan selera penguasa.
Islam masa kolonial adalah Islam yang diciptakan untuk ”sujud” dan loyal terhadap kekuasaan Pemerintah Belanda.
Watak Agama Kolonial
Pengawasan, pendisiplinan, pengontrolan, dan pencatatan terhadap aktivitas ibadah umat Islam adalah bagian watak politik agama kolonial. Pada prinsipnya, politik yang diterapkan seorang Snouck adalah politik sekulerisme dan liberalisme keagamaan. Misi peminggiran agama dari urusan politik memang sengaja didesign Snouck agar daya kritis umat Islam dapat diatur dan diredam.
Penelusuran gaya politik kolonial semacam ini sebenarnya dapat dilakukan melalui pendekatan orientalisme. Dan lebih tegasnya, politik keagamaan Pemerintah Belanda lebih banyak dihantui kecurigaan berlebihan terhadap aktivitas umat Islam. Dalam konteks ini, Belanda sebagai representasi Barat adalah subyek yang mencengkram dan menjejali budaya dan pemikiran umat jajahan (obyek) dari berbagai doktrin sekuler dan liberal. Akibatnya daya kritis umat tertekan.
Sekulerisme dan liberalisme yang lebih sederhananya bisa dikatakan sebagai gerakan (isme) yang memetakan ideologi agama dan ideologi negara serta membebaskan (memecahbelah, pen) posisi, institusi, simbolisasi agama dari partisipasi kritik sosial, merupakan grand design proyek politik agama imperialisme untuk meredam ”penyalahgunaan” penerapan ajaran agama.
Implikasi dari penerapan politik tersebut adalah pemandulan atau penjinakkan partisipasi politik atas nama agama yang berlebihan. Beberapa misal, dalam konteks perkembangan Islam di Indonesia adalah penciptaan term Islam Kota dan Islam Desa, Islam Modern dan Islam Tradisional, Islam Liberal dan Islam Radikal, Islam Fanatik dan Islam Moderat, serta sejumlah istilah pilahan, warna, dan wajah Islam di negeri ini.
Dimasa Orde Baru (Orba) pun gaya pemikiran politik keagamaan ala kolonialisme pernah pula diterapkan. Kendati tidak secara terang-terangan mengadopsi pemikiran politik agama kolonial, Orba dapat dikatakan telah berhasil meredam gairah politik umat Islam melalui kebijakan (politik) akomodasi.
Kebijakan akomodasi atau ”penyerapan” aspirasi politik Islam dilakukan sebagai strategi negara mengambil hati umat Islam. Akomodasi dilakukan negara baik secara struktural dengan merekrut ulama dalam birokrasi pemerintahan, maupun institusional dan konstitusional seperti pelembagaan simbol-simbol agama dan menyerap serta menyeleksi (kompilasi, pen) sejumlah teks hukum Islam dalam konstitusi.
Politik keagamaan pasca kolonial dapat pula digedor melalui pendekatan postcolonial studies. Ahmad Baso, dalam bukunya, Islam Pascakolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, pernah menggeledah adanya pengaruh besar watak keagamaan kolonial terhadap perkembangan budaya dan institusi Islam di Indonesia.
Baso dalam tesisnya tersebut, mengungkapkan (temuannya) adanya pengaruh kolonialisme terhadap pemahaman keberagamaan umat Islam Indonesia. Terutama dalam gaya berfikir liberal dan rasa ketakutan (dibuat-buat) terhadap keyakinan agama sendiri. Dan tidak itu saja, dalam tulisannya tersebut, Baso juga membongkar adanya budaya superior Barat yang telah mempengaruhi psikologi dan pola fikir umat dengan sejumlah kepentingannya
Postkolonial dalam konteks menelusuri pengaruh watak keagamaan kolonial, lebih ditekankan pada implikasi pemikiran politik agama ”tuan tanah” terhadap perkembangan pemahaman umat Islam pasca kolonialisme. Melalui pendekatan teori tersebut, adanya pengaruh dan kuasa kolonial kemudian ”diraba” untuk dipaparkan kepermukaan.
Jejak adanya pengaruh politik agama ala kolonialisme dalam aktivitas dan budaya umat Islam di negeri ini memang harus terus ditelusuri. Setidaknya, beberapa paparan contoh terkait implikasi pemikiran politik agama Snouck, seperti telah disebutkan, dapat menjadi
awal pembongkaran watak keagamaan Islam Liberal dan Sekuler di Indonesia. Guntur Pribadi adalah Pegiat di Komunitas Merah Putih Network dan Citizen Journalist