Jidat Yang Hitam Bukan Menjadi Ukuran

Haji Tima’, tokoh To Mimala

Oleh Tamsil. Hanya karena berdoa di batu, pohon, dan kuburan, To Mimala dituduh sebagai ajaran musyrik yang harus dimusuhi dan diperangi. Padahal, cara seperti itu hanya untuk menghargai dan melestarikan alam. Esensinya tetap menyembah pada Yang Esa.
Meskipun demikian, berbagai cemohan dan anggapan miring yang menerpa penganut To Mimala, tak membuatnya bergeming. Tahun 1960an misalnya, komunitas To Mimala pernah dibumihanguskan oleh DI/TII karena dianggap musyrik. Namun mereka tetap melaksanakan keyakinan dan ritualnya meskipun jumlah mereka semakin berkurang. Bagi mereka, yang terpenting adalah niat.

Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana tanggapan dan sikap penganut To Mimala terhadap berbagai tuduhan itu, kontributor DEPORT wilayah Sulawesi Barat, Tamsil, menemui tokoh To Mimala, Haji Tima’ untuk berbincang-bincang seputar hal tersebut. Haji Tima’ (70 th) juga adalah saksi dari peristiwa pembumihangusan tahun 1960-an itu. Namun, saat membicarakan peristiwa memilukan tersebut, ia tak mau banyak bercerita –seolah tak mau mengingatnya kembali. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana dengan pandangan orang-orang yang menuduh To Mimala Musyrik?

Apanya yang musyrik? Berdoa di batu, pohon, adalah salah satu bentuk penghargaan terhadap alam. Dalam agama Islam sendiri, selesai shalat di dalam masjid diperintahkan untuk bertebaran keluar mengurusi urusan duniawi. Apa yang diniatkan dalam masjid itu yang dikerjakan saat keluar dari masjid. Jadi apa yang beda? Kami juga mengakui Tuhan Yang Maha Esa.

Saya pernah dengar kalau ada kelompok lain yang mengatasnamakan Islam datang di Kaleok untuk syiar Islam, dan memusyrikkan To Mimala?

Ya. Ia memakai jubah putih-putih dan memasak di dalam masjid, datang dengan susah payah memikul beras dan belanga. Tapi mereka hanya berdiam diri di masjid dan kelihatan jarang bekerja. Bagi kami, ajaran ini tidaklah sesuai ajaran To Mimala, karena seolah-olah tidak berhubungan dengan alam. Jidat yang hitam, bukan menjadi ukuran. Tapi bagaimana tanda yang hitam di jidat itu menjadi sikap dan bertingkah laku baik sesama manusia.

Jadi apa tindakan Kakek melihat mereka melakukan syiar itu?

Bagi To Mimala, bersikap biasa-biasa saja dan tidak ada yang memperdulikan ia melakukan syiarnya. Kami juga tetap melakukan ritual To Mimala. Pada akhirnya dengan sendirinya, lama-kelamaan, mereka akan keluar dari Kaleok.

Bagaimana Kakek mengatasi cemohan-cemohan orang dari luar?

Saya hanya diam dan berkata, mereka yang mencemooh To Mimala, apalagi kalau ia warga Batetangnga, maka ia tidak mengenal dirinya dan lupa asal kejadiannya. Yang berkata begitu, saya pastikan kelak akan mendapat bencana.

Bila ada yang menghalangi ritual, Kek?

Saya akan mempertahankan tradisi kakek leluhur saya, pantang mundur apabila ada yang berani menghalanginya.

Apa Kakek ingat kembali peristiwa tahun 60-an To Mimala “dipaksa” memilih salah satu agama?

Ya. Memang ada kejadian itu. Itu terjadi setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Semacam gerombolan tentara. Begini, peristiwa yang Anda maksud tadi adalah peristiwa yang memilukan.

Bisa diceritakan lebih rinci, Kek?

(terdiam, tidak menjawab)

Bagaimana Kakek melupakan peristiwa itu?

Cara saya melupakan itu adalah memaknai ajaran To Mimala, yaitu berbuat baiklah sesama manusia. Saya selalu berupaya mendatangkan ketenangan. Itulah sebabnya saya diterima di setiap orang di mana saja. Ke kampung sebelah, saya dihormati. Kenapa saya dihormati? Karena saya juga hormati mereka. Ini disebut ajaran sipakatau

Apakah ini Kakek lakukan agar To Mimala tetap eksis?

Salah satu cara mengamalkan ajaran To Mimala. Buktinya saya tidak diusir oleh orang. Malah saya dikasih kedudukan ketika saya dipanggil acara pesta perkawinan atau acara aqiqah dan ma’bongi (haul).

Saat pembangunan masjid di Kaleok, bagaimana tanggapan Kakek?

Kami tetap terima dan tidak merusaknya. Malah kami pelihara keberadaannya, meskipun sebagian To Mimala masih enggan datang berjamaah ke masjid.

Apa ada yang mempengaruhi?

Kami di sini masih kurang ilmu tentang mengaji. Orang shalat memakai bacaan al-Qur’an, sedangkan kami ketika sembahyang menggunakan bahasa kakek moyang kami. Jangan heran kalau masjid biasa terlihat sepi.

Saat ini Kakek telah datang dari tanah suci, apa Kakek tidak keluar dari keyakinan To Mimala?

Naik haji itu adalah niat. Niat harus dilakukan. Seperti ketika berniat untuk memilih tempat melakukan ritual To Mimala di kuburan leluhur. Itu kan sama saja tergantung dari niat orang.[]

BAGIKAN: