Jilbab, HAM Kultural, dan Perancis

Ahmad Baso | 9 – Mar – 2008

Minggu ini undang-undang tentang pelarangan jilbab kabarnya akan mencapai tahap pengesahan oleh pemerintah Perancis. Kini, berkembang suara, di Perancis maupun di luar, bahwa melarang jilbab merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Wahid Institute akan mendiskusikan soal tersebut Rabu (3/3) minggu ini di Jakarta, untuk menelaah apakah dalam kasus pelarangan jilbab di Perancis itu ada unsur pelanggaran HAM. Di sini saya akan merespon soal jilbab itu sendiri, kebijakan sekulerisme Perancis, dan juga soal kaitannya dengan HAM.

Soal jilbab, seperti yang berkembang di Perancis, sudah bukan lagi perkara kewajiban agama, tapi sudah beralih menjadi persoalan hak. Dengan mencuatnya keinginan pemerintah Perancis untuk mengatur dan membatasi penggunaan simbol-simbol agama, termasuk jilbab, dalam ruang publik seperti sekolah dan perguruan tinggi, jilbab pun beralih menjadi wacana politik. Karena jilbab mau diatur dan bahkan dilarang oleh hukum dan kekuasaan, maka orang yang mengenakannya tidak lagi didasarkan atas argumen agama, tapi argumen politik. Bahwa kami protes atas aturan-aturan pembatasan dan pelarangan semacam itu. Dengan kata lain, dalam konteks protes itu, jilbab, apapun bentuk dan modelnya, hijab, purdah, burqa, atau semacamnya, tidak lagi menggunakan bahasa agama sebagai medium komunikasi. Tapi bahasa “hak warga negara” yang harus diakui dan dijamin oleh negara. Bahasa agama yang berkaitan dengan soal apakah jilbab itu wajib atau tidak, apakah model yang ada itu sesuai dengan keharusan menutup aurat atau tidak, tidak lagi relevan lagi. Sama tidak relevannya dengan suara yang mengatakan bahwa jilbab merupakan simbol kemunduran atau stagnasi umat Islam.

Yang justru relevan dalam kasus Perancis adalah menguatnya fenomena jilbab sebagai artikulasi politik baru bagi komunitas yang selama ini mengalami ketidakadilan dan diskriminasi di negara modern seperti Perancis. Komunitas ini kebanyakan adalah pendatang dari negeri-negeri Arab dan Afrika, yang statusnya lebih menonjol sebagai “imigran”, bukan “citizen” (warga negara). Medium yang dipakai untuk kepentingan artikulasi politik itu jelas bukan lagi bahasa sosial-ekonomi. Seperti bahasa penindasan majikan atas buruhnya. Ini tentu menyulitkan kalangan kiri di Eropa, dan bahkan tidak laku di kalangan komunitas ini, karena “jilbab” tidak pernah menjadi agenda politik kaum kiri. Bahasa politik liberal, seperti bahasa partai, pemilu atau bahasa hak-hak individu, juga tidak laku. Alih-alih, artikulasi itu kurang lebih mirip dengan politik ekstra-parlementer, politik jalanan. Bahasa yang dipakai untuk itu, tepatnya, adalah bahasa “hak”, tepatnya hak budaya (cultural rights) dan hak komunitas (community rights).

Mereka pun turun ke jalan meneriakkan tuntutan dan hak-hak mereka untuk diakui sederajat dengan warga negara Perancis lainnya. Termasuk hak mereka untuk mengenakan jilbab di ruang publik. Akhirnya, identitas kebanggaan Perancis “liberte, egalite, fraternite” juga dipakai sebagai bahasa “politik jilbab” untuk mengakui keberadaan komunitas imigran ini menjadi “Perancis [yang] multikultural” tanpa diskriminasi.

Namun, di lain pihak, pemerintah Perancis ingin mempertahankan “liberte, egalite, fraternite” dalam kerangka sekulerisme Perancis. Artinya, simbol-simbol agama apapun harus digeser hanya ke ruang privat. Sementara ruang publik dideklarasikan sebagai wilayah politik yang modern, rasional, individual. Tapi, kadang, seperti halnya pada sejumlah negara di Eropa, “ruang publik” menunjukkan sesuatu yang lebih dari soal ruang fisik, seperti pemilahan antara rumah dan sekolah. Ruang publik adalah juga sebuah identitas nasional. Dan, berbicara tentang identitas nasional adalah berbicara tentang konstruk budaya, yang dibuat(-buat) dan diolah sedemikian rupa.

Kita masih ingat bagaimana identitas itu dipermainkan ketika dalam kampanye untuk kursi presiden pada 2002, Lionel Jospin melancarkan serangan terhadap kaum migran dengan isu nasionalis “ke-Perancis-an” yang dikatakan berkulit putih, modern, individual dan juga Kristen. Sementara Jacques Chirac, pesaingnya, menarik dukungan kalangan imigran dengan memanfaatkan popularitas pemain sepakbola keturunan Aljazair, Zinedine Zidane, untuk menyerang Jospin yang “rasis”. Bagi Chirac dan para pendukungnya, Zidane adalah simbol “orang Perancis” yang tidak identik dengan kulit putih atau Kristen. Artinya, kaum imigran pun berhak mewarnai pemaknaan identitas nasional “ke-Perancis-an” yang lebih terbuka dan multikultural. Hasilnya, Chirac melaju ke istana kepresidenan.

Terlepas apakah Chirac lupa dengan janjinya selama kampanye, yang jelas ada sesuatu yang dipermainkan dalam isu dikotomis “ruang privat versus ruang publik” atas nama sekulerisme ini. Menarik mengamati pernyataan Homi Bhabha, salah seorang teoritis pascakolonial, dalam satu tulisannya tentang geliat sekularisme di Eropa. Menurutnya, ideologi sekulerisme sering menyembunyikan ketimpangan sosial dan ekonomi dalam bahasa dikotomis antara yang privat dan yang publik, antara kebudayaan yang progresif dan modern dan kebudayaan yang dekaden dan tradisional. Zidane misalnya. Ia dianggap berbeda karena keturunannya yang berasal dari luar Perancis. Kebudayaannya disebut tradisional dan primitif. Seperti jilbab yang dianggap mengekang perempuan. Maka, kalau ingin masuk ke ruang publik, harus berasimilasi, yakni berintegrasi menjadi warga negara Perancis. Yakni ikut menjadi satu kultur dengan orang-orang Perancis pada umumnya, yang modern, individual, dan progresif.

Tapi, popularitas Zidane ternyata jauh mengalahkan Chirac sendiri. Praktis, keberadaan Zidane yang berbeda inipun menjadi bagian dari milik Perancis, menjadi milik bersama. Boleh masuk ke ruang publik, meski misalnya tidak perlu ganti nama. Seandainya Zidane perempuan, ia pun dibolehkan mengenakan jilbab kemanapun ia mau!

Kini, muncul legislasi tentang jilbab. Pemerintahan Chirac — katanya — ingin membatasi ruang gerak kelompok fundamentalis. Tapi, pemerintah juga dituntut untuk lebih memperlakukan warganya lebih adil dan tanpa pandang bulu. Hak-hak sosial dan sipil warga imigran dan keturunan Arab, juga harus lebih diperhatikan. Gerakan jilbab hanya satu cara mereka untuk memperoleh perlakuan yang adil dan setara dengan warga Perancis lainnya. Tapi, kalau Chirac menggunakan logika bahwa hak-hak budaya dan komunitas sama dengan terorisme, tentu saja ia keliru. Hak-hak sipil, sosial dan kultural komunitas sudah diakui dalam Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dan dalam Kovenan Hak-hak Sosial, Ekonomi dan Budaya yang dideklarasikan PBB pada tahun 1966. Chirac harus menaati itu. Tidak malah membungkam hak-hak dan partisipasi warganya dengan melarang jilbab atas nama memerangi terorisme. Bukankah terorisme tidak sama dengan praktik jilbab, kerudung dan sebagainya? Desantara-Ahmad Baso

BAGIKAN: