Front pembela Islam (FPI) 28 Januari 2011 kembali berulah, mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap komunitas Jamaah Ahmadiyah di jalan Anuang Makassar. Saat itu jamaah Ahmadiyah sedang melaksanakan kegiatan Jalsah Salanah dengan tema “Mengamalkan Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw, Kita Akan Menjadi Islam Yang Hakiki”. Jalsah Salanah merupakan pertemuan rutin yang dilaksanakan setiap tahun dan dihadiri oleh perwakilan dari tiap-tiap Jama’ah Ahmadiyahh di Sulawesi Selatan.
Acara tersebut juga dihadiri aktivis dan tokoh lintas agama seperti bapak Prof. DR. Qasim Mathar dan Pak Yongris dari Walubi. Kegiatan yang di mulai pukul 16.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA) itu dihadiri sekitar 150 peserta yang di dalamnya terdapat ibu-ibu dan anak-anak dari komunitas Ahmadiyahh yang tersebar di wilayah Sulawesi selatan. Menurut pengakuan Ustad Djamal yang juga sebagai mubaligh Ahmadiyah Sul-Sel, kegiatan tersebut sejatinya akan dihadiri sekitar 300 peserta, namun karena didemo, banyak yang mengurungkan niat untuk hadir di pertemuan tersebut.
Sekitar pukul 17.30 WITA, setelah prosesi acara pembukaan usai, sekolompok orang yang menamakan diri dari Front Pembela Islam (FPI) mendatangi kantor Ahmadiyah di tempat jalsah salanah dilaksanakan. FPI datang dengan mengendarai mobil APV dan iring-iringan motor lengkap dengan atribut bendera dan seragam. Mereka juga melakukan orasi di depan masjid Ahmadiyah.
Dalam orasi, FPI mengecam dan sekaligus memberi warning terhadap Jama’ah Ahmadiyah untuk tidak melanjutkan kegiatan mereka karena dianggap meresahkan warga. FPI juga menghimbau pihak kepolisian untuk menghentikan aktivitas Jamaah Ahmadiyah dalam waktu 1 X 24 jam. Jika tidak, mereka akan melakukan penyerangan.
Keesokan harinya, 29 Januari 2011, tepat pukul 08.30 WITA acara jalsah salanah dimulai. Dua jam kemudian, polisi mendatangi panitia dan meminta acara pertemuan tahunan diselesaikan pada hari itu juga. Panitia sendiri sepakat mempercapat kegiatan hingga acara selesai pukul 15.30.
Pukul 16.45 Kapolda Sul-sel datang ke lokasi, berselang satu menit, kelompok FPI hadir, mereka kembali melakukan orasi di depan masjid Ahmadiyah. Terlihat di antara mereka ada yang memakai atribut yang bertuliskan mabes POLRI dan Provost.
Lalu, terjadi negosiasi yang cukup alot antara Kapolda dengan mubalig Ahmadiyah wilayah Sul-Sel. Sebagian polisi meminta kepada jemaat Ahmadiyah yang berada di depan masjid untuk masuk ke dalam dan bersembunyi agar tidak memancing kemarahan FPI.
Atas intruksi Kapolda, semua angota jamaat Ahmadiyah yang berada di masjid harus dievakuasi demi keamanan. Tetapi, pihak jamaah Ahmadiyah tetap memilih bertahan dalam masjid dengan alasan untuk mempertahankan asset-aset mereka. Meski begitu, atas intruksi Kapolda, aparat kepolisian mengevakuasi secara paksa seluruh jamaah Ahmadiyah. Dalam proses evakuasi pertama, polisi menyeret paksa 5 orang jamaah. Selanjutnya mengevakuasi paksa sekitar 40 orang jamaah Ahmadiyah yang di antaranya terdapat anak-anak dan balita.
Pukul 19.00, polisi meransek masuk secara paksa dengan merusak pintu, jendela sambil berteriak “kalian ini manusia apa? Saya akan potong leher kalian, jika kalian tidak keluar saya akan bakar masjid ini” ancaman kepolisian tersebut mengakibatkan ibu-ibu beserta anak-anak berteriak histeris.
Sekitar pukul 21.23, anak-anak dan ibu-ibu dievakuasi secara paksa oleh pihak kepolisian ke POLTABES Makassar, saat proses evakuasi, makian dari pihak FPI nyaring terdengar seperti Ahmadiyah kafir, harus kembali ke jalan yang benar. Barulah pada 23.30, semua jamaah Ahmadiyah dibebaskan oleh kepolisian untuk pulang kerumah masing-masing.
Menurut penuturan ketua panitia Jalsah Salanah, Ir. Arimansyah, saat evakuasi, di lantai dasar tempat ibu-ibu dan anak bertahan terjadi penjarahan dompet yang berisi kartu ATM, uang, kartu identitas, HP, dan camera digital serta arsip dan puluhan video kegiatan.
Sementara, diluar masjid, kelompok FPI semakin brutal dengan merusak kran air dan menghapus papan nama Ahmadiyah yang bertuliskan dua kalimat syahadat dan mencoretnya dengan pilox. Tak berhenti di situ, mereka juga merobohkan plang nama jamaat ahmadiyah. Ironisnya lagi, polisi hanya membiarkan tindakan anarkis tersebut tanpa ada upaya pencegahan sedikitpun. Bahkan menurut pengakuan Asraf Ahmad, pihak kepolisianpun membantu merusak spanduk-spanduk yang terpajang dalam masjid, dan tidak sopannya lagi, mereka (polisi), masuk ke dalam masjid dengan memakai sepatu ”Bayangkan kalau rumah ibadah yang kami anggap suci diinjak-injak dengan memakai sepatu, apa itu tidakan bermoral?” demikian kata Asraf Ahmad yang juga ketua pemuda Ahmadiyah ini.
Malam itu juga, koordinator aksi FPI, Muhammad Habib Reza bin Muhsin al-Hamid, yang saaat itu mengenakan jaket hitam dan di depannya bertuliskan Mabes Polri dalam orasinya mengucapkan terimah kasih kepada kepolisian yang bagi Habib, telah turut membantu prosesi amal ma’ruf dan nahi mungkar, Reza mengatakan, “Terima kasih terhadap pihak kepolisian yang telah membantu FPI menjalankan program amal ma’ruf dan nahi mungkar, serta segenap masyarakat anuang juga kami haturkan terima kasih, apapun bentuknya kesesatan, tetap akan kami lawan,” tegasnya. Ucapan Habib pun disambut dengan takbir oleh massa. Orasi Habib juga sekaligus mengakhir aksi di depan mesjid Ahmadiyah.
Meski tak ada korban jiwa, insiden tersebut menimbulkan kerugian yang diperkirakan mencapai 20 juta rupiah, belum lagi trauma yang melanda anak-anak dan orang tua, menurut Friyanto Beny, kerugian material mungkin tidak seberapa dibanding kerugian imateri. Friyanto juga mengatakan bahwa orang Ahmadiyah tidak pernah berbuat onar apalagi bertindak anarkis, “Kami tidak berdaya menghadapi tindakan kekerasan kecuali hanya bersika pasra pada keadaan.” Meski begitu, Friyanto berharap, mereka bisa hidup berdampingan, diperlakukan secara adil dan hak mereka dilindungi.