Kesaksian Endi, Tokoh Masyarakat Adat Salena. Oleh Desantara / Ewin Laudejeng
Kami orang Salena, sudah berulangkali mendapat ketidakadilan negara. Dulu sebelum kami tinggal di Salena, kami tinggal di Bolonggima. Suatu tempat yang terletak di ketinggian sekitar 1000 meter dari permukaan laut atau 5 jam perjalanan kaki dari Salena. Namun pada pertengahan tahun 70-an, oleh pemerintah kami dipaksa pindah ke Palolo, suatu tempat di dekat Taman Nasional Lore-Lindu, 60 km kearah Selatan Kota Palu.
Kami orang Salena, sudah berulangkali mendapat ketidakadilan negara. Dulu sebelum kami tinggal di Salena, kami tinggal di Bolonggima. Suatu tempat yang terletak di ketinggian sekitar 1000 meter dari permukaan laut atau 5 jam perjalanan kaki dari Salena. Namun pada pertengahan tahun 70-an, oleh pemerintah kami dipaksa pindah ke Palolo, suatu tempat di dekat Taman Nasional Lore-Lindu, 60 km kearah Selatan Kota Palu.
Kami dilarang tinggal di Bolonggima, karena tempat itu masuk dalam kawasan hutan lindung. Di Palolo kami tidak bisa bertahan lama, karena lahan yang diberikan Pemerintah kepada kami adalah lahan basah. Kami tidak terbiasa bercocok tanam di lahan seperti itu. Maka kami kembali, tetapi tidak lagi bermukim di Bolonggima melainkan di Salena, suatu tempat yang terletak diantara kaki bukit yang terjal dan berjarak sekitar 10 km dari pusat Kota Palu Sulawesi Tengah.
Dalam sistem pertanian, kami masih mempraktekkan cara-cara tradisional. Setiap akan membuka lahan baru, ada proses upacara adat. Ini adalah upaya penghormatan kami atas tanah dan tumbuhan. Bagi kami di Salena, tanah itu bukan obyek melainkan subyek, teman dan saudara kami. Artinya, dia tidak boleh diolah secara terus menerus (dieksploitasi). Jadinya, orang kota yang hidup di sekitar Salena menganggap kami aneh.
Sama anehnya ketika pada bulan Oktober tahun 2005 yang lalu, salah seorang warga kami yang bernama Madi diisukan menyerang desa-desa tetangga. Dia dituduh menyebarkan aliran sesat terhadap masyarakat pegunungan Kamalisi. Kemudian dia diserang. Karena peristiwa itu, 3 orang Polisi tewas ketika mau menangkap Madi. Sementara 2 orang warga Salena meninggal tertembak. Kami menyesalkan peristiwa itu.
Padahal yang kami tahu, Madi itu orang biasa. Dia masih sangat muda. Dulu pernah sekolah di Tsanawiah Alkhaerat (sekolah agama setingkat SMP) sampai kelas dua. Karena tidak ada biaya, dia putus sekolah. Sebagaimana lazimnya masyarakat di Dusun kami, jika sedang menunggu panen tiba, Madi menggunakan waktu luang untuk berjualan anggrek di Palu. Dia juga pernah bekerja di Pelabuhan Pantoloan sebagai buruh pikul. Di belakang hari, dia baru mengajar kontau (silat kampung) dan mengobati orang sakit di Salena. Pengetahuan itu didapatnya dari mimpi atau roh gaib yang masuk ke dalam tubuhnya. Biasanya ketika sedang terjadi kemarau panjang, Madi melakukan acara Adat Notamba. Suatu ritual untuk minta turun hujan.
Mungkin karena itu, orang menganggap Madi sebarkan ajaran sesat dan akan melakukan penyerangan terhadap desa-desa tetangga. Karena waktu pertemuan di Kantor Lurah Tipo pada 22 Oktober 2005, yang dibahas adalah persoalan aliran sesat dan isu penyerangan warga Salena atas desa-desa disekitarnya. Namun dalam pertemuan itu sendiri yang dihadiri oleh unsur Muspika, Madi dan orang Salena tidak terbukti menyebarkan aliran sesat dan menyerang desa-desa tetangga.
Jadi kami sangat terkejut, kenapa Polisi datang banyak sekali pada tanggal 25 Oktober 2005 di Salena? Madi pada saat itu merasa terancam, maka dia melawan. Karena peristiwa itu, terus terang, sampai sekarang warga Salena masih ketakutan dengan Polisi. Kalau melihat Polisi, mereka lari sembunyi. Apalagi, beberapa hari setelah Madi dikuburkan, kami mendengar suara tembakan lagi dekat kebun di Lampo. Banyak warga yang lari ketakutan dan tinggalkan hasil kebun yang sudah dipetik.
Kami berharap kepada Kapolda Sulteng dan juga Pemerintah agar tidak ada lagi penangkapan dan pemanggilan terhadap warga Salena. Kami juga meminta rehabilitasi nama baik warga Salena. Karena sampai sekarang ini, masyarakat umum menganggap kami di Salena telah menganut aliran sesat. Kami takut jika satu saat nanti kami diserang lagi.[Desantara / Ewin] (Disusun Kembali dari hasil wawancara langsung Desantara)