Dengan memilih kehidupan komunitas Tahanan Politik (TAPOL) PKI di daerah pengasingan mereka di Moncongloe, Sulawesi Selatan, buku ini berhasil menyingkap bagaimana proses pelabelan Order Baru terhadap mereka yang dianggap PKI, bagaimana kehidupan mereka di Penjara, kontrol dari agen-agen negara di sana, lalu berpindah ke Kamp Pengasingan di Moncongloe, suatu Kamp Pengasingan yang dikontrol oleh Militer.
Kontrol negara Orde Baru belum selesai, setelah para Tapol keluar dari Kamp Pengasingan dan hidup di tengah masyarakat biasa. Kontrol militer beralih ke kontrol sosial, dimana memori kolektif masyarakat setempat yang telah dikuasai negara Orde Baru mengenai pandangan negatif terhadap Tapol PKI masih sangat kuat.
Dalam hal ini pengarang berhasil menjajaki tidak saja sejarah keseharian mereka di Pengasingan, tetapi juga berhasil menguak sejarah mentalitas mereka, menguak bagian-bagian terdalam pengalaman dan pandangan mereka terhadap pengalaman-pengalaman yang dilalui sebagai kelompok marginal.
Ada makna mendalam yang dapat diambil dari kisah mereka, Rasa Solidaritas tinggi, komitmen yang kokoh, terpatri dalam diri mengadapi berbagai kekuatan (Dr. Erwiza Erman, sejarawan LIPI)
Resensi Buku
Kamp Pengasingan Moncongloe sebuah tulisan sejarah tentang PKI yang ada di Sulawesi Selatan. Buku ini berusaha mengungkap pengasingan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap orang-orang PKI, yang menarik dalam buku ini karena ditulis menurut persfektif korban. Dalam sejarah dikenal dengan sejarah arus bawah, hal ini dapat dilihat dari sumber-sumber yang digunakan lebih banyak menggunakan wawancara yang dilakukan terhadap korban-korban yang pernah jadi penghuni Kamp Penagasingan Moncongloe.
Moncongloe sebuah daerah yang berada di perbatasan Maros dan Gowa, sekitar 25 Km dari ibukota kabupaten Gowa dan 15 km dari kabupaten Maros. Penumpasan dan Penangkapan terhadap anggota dan simpatisan PKI pasca tragedi G30S jumlah Tahanan polItik bertambah secara drastis sehingga sel-sel tidak mampu menampung Tapol dan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan Tapol. Kemudian muncul Moncongloe sebagai tempat pembinaan dalam bentuk pengasingan sehingga Tapol dapat mandiri. Moncongloe dipilih karena dianggap aman dan mampu dikontrol oleh militer sebab Moncongloe dikelilingi markas militer Kodam XIV Hasanuddin.
Tapol yang menghuni Inrehab Moncongloe sebanyak 911 orang yang terdiri atas 52 Perempuan dan 859 Laki-laki yang berasal dari berbagai daerah yang berlangsung secara bergelombang mulai 1969 sampai 1971. 250 tapol didatangkan dari penjara Makassar pada tahun 1961 dan menjelang pemilihan umum 1971 Tapol didatangkan dari Majene, Mamasa, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Palopo, Tana Toraja, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, dan Selayar. Akan tetapi tidak semua penghuni Inrehab Moncongloe murni anggota PKI. Sebagian dari mereka hanya karena korban salah tangkap atau mereka yang di PKI kan.
Selama di Moncongloe Tapol tidak hanya dituntut untuk memenuhi kehidupannya tapi juga harus mampu berproduksi untuk memenuhi kebutuhan militer baik kepentingan institusi maupun kepentingan pribadi petugas Inrehab. Ada beberapa pola Eksploitasi tenaga Tapol pertama korve dan konsentrasi Tapol di Kamp Inrehab, Tapol dibagi dalam beberapa regu korve yang terdiri dari korve penebang pohon, korve gergaji, korve pencari batu, korve penebang bambu. Kedua Tapol dikerahkan untuk bekerja pada proyek pembangunan unit kantor Kodim dan perumahan militer serta rumah pribadi anggota militer. Ketiga Tapol bekerja di rumah-rumah anggota Kiwal Kodam XIV Hasanuddin. Tapol terkadang mengalami eksploitasi berlapis adanya kepentingan pribadi petugas Inrehab dan kepentingan institusi militer sehingga untuk memenuhi kebutuhan pribadi Tapol sangat susah.
Eksploitasi sangat dirasakan oleh tapol karena hasil dari pekerjaan hanya dinikmati oleh petugas Inrehab sehingga resistensi bukanlah hal baru yang dilakukan oleh Tapol. Bentuk resistensi yang paling sederhana dilakukan adalah bermalas-malasan bekerja di kebun petugas terutama kebun yang jaraknya jauh dari lokasi Inrehab sehingga pengawasanpun longgar. Bentuk resistensi lainnya adalah merusak kebun petugas secara sembunyi-sembunyi dan melakukan hal-hal yang merugikan petugas Inrehab. Diwaktu lain politik akomodasi menjadi jalan untuk bertahan dengan jalan berusaha mendekati petugas secara personal dengan cara memberikan hasil hutan kepada petugas sehingga terhindar dari perlakuan keras petugas Inrehab.
Pengasingan terhadap Tapol berkahir pada tahun 1979 namun tidakk berarti persoalan hidup mereka selesai, mereka tetap memilkul berbagai hukuman kolektif, justru kehidupan mereka lebih berat, karena dikucilkan dalam pengasingan itu wajar namun dikucilkan ditengah kehidupan sosial akan mengarah pada depresi dan kehilangan kepercayaan diri. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, hal itu bukan perkara mudah apalagi dengan status sebagai eks Tapol yang harus menerima stigmatisasi “tidak bersih lingkungan” yang dilakukan secara intensif oleh pemerintah Orde Baru.
Pembebasan Tapol hanya merupakan perubahan pengontrolan Negara terhadap Tapol dari kontrol fisik dalam Kamp Inrehab menjadi kontrol sosial di lingkungan masyarakat, pemerintah mengeluarkan berbagai ketentuan yang membatasi dan mengontrol secara efektif ruang gerak eks Tapol. Lebih parah lagi stigma tidak bersih lingkungan tidak berhenti pada tapol itu saja tapi menjalar sampai anak dan cucuc mereka hingga melahirkan suatu bentuk pengasingan baru di tengah lingkungan masyarakat.
Sejarah komunitas Tapol Mongcongloe setidaknya telah mengantarkan kita pada kedewasaan dalam memahami perkembangan politik setelah gerakan 30 September 1965 di Sulawesi Selatan. Tapol menjadi tema Sejarah Indonesia yang penting sebab komunitas tahanan politik bukanlah suatu komunitas tanpa sejarah, tetapi mereka adalah orang-orang yang membuat sejarah sehingga perlu ditulis untuk memahami secara utuh perjalanan sejarah sosial negeri ini.(****).
ISBN : 978-979-19646-1-6
Jumlah Halaman : 278
Penulis : Taufik
Penerbit : Desantara
Tahun Terbit : 2009