Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama Di Jawa Barat

desantara-default

Desantara.or.id

Oleh Desantara / Ingwuri Handayani
Harus diakui, bahwa diskriminasi dan intoleransi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat masih memprihatinkan. Banyaknya kasus pelanggaran ini, sebagaimana dilansir oleh jaringan kerja Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Jaker PAKB2) saat melakukan sosialisasi di hotel Mitra, 9 Juni 2008 kemarin.

Pemantauan yang dilakukan selama enam bulan ini, setidaknya menemukan hasil demikian: satu orang tertusuk saat ingin melakukan mempertahankan akidahnya, adanya diskriminasi pencatatan nikah sejumlah 111 kasus, adanya diskriminasi di tempat kerja yang mengakibatkan terhambat kenaikan pangkat, penolakan tugas karena berbeda akidah, adanya kasus pelarangan aliran kepercayaan (di Jawa Barat sendiri, sedikitnya ada 6 aliran kepercayaan).

Jaker juga menemukan adanya penutupan fasilitas umum seperti radio, penutupan ruang pertemuan, penolakan pembangunan televisi swasta, serta pelanggaran lain seperti pembakaran masjid hingga 12 kasus, penutupan tempat ibadah secara paksa yang mencapai 57 kasus, pelarangan aktifitas beribadah seperti naik haji 6 kasus, dan pengrusakan rumah yang mencapai 80 buah rumah.

Temuan lain adalah adanya diskriminasi terhadap hak layanan publik seperti pencatatan KTP atau akte kelahiran anak berdasar agama, melakukan pembatasan dalam hak kebebasan beragama seperti mengeluarkan produk hukum seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk beberapa daerah.

Dalam soal keamanan, kesan pembiaran juga masih muncul. Ini belum soal seperti pemaksaan kehendak, yang bisa ditemukan di beberapa ormas islam atau orang yang tidak satu agama atau satu akidah.

Meski diskusi terbatas, ruangan yang hanya di isi oleh 40 kursi itu berjalan cukup seru. Masing-masing pihak, berusaha memberikan tanggapan atas temuan yang didapat oleh 12 pemantau jaringan kerja untuk yang melakukan pemantauan.

Dari sekian bentuk diskriminasi ini, Jaker sendiri membagi dalam dua bentuk. pertama, pelanggaran secara langsung yang dilakukan oleh negara dan kedua, tindakan dari aktor non negara

Jaker sendiri, mulai melakukan pemantauan dari bulan Oktober 2007. Selama enam bulan, 12 orang pemantau yang diterjunkan ke masing-masing wilayah di Jawa Barat bergerak untuk mengumpulkan data dengan berbagai cara. Biasanya, pemantau mencari dari media masa yang kemudian mencari turun ke lapangan guna melakukan observasi atau wawancara.

Sebagaimana dikatakan oleh Suryadi Radjab, koordinator SC Jaker, prinsip dari lembaga ini adalah berdiri di atas prinsip non diskriminasi. Lembaga ini menjaga agar perbedaan itu tidak menjadi halangan untuk hidup damai dan tolong menolong. 12 pemantau sendiri, adalah wakil dari enam lembaga PBHI jawa barat, Fahmina cirebon, LBH Bandung, GKP, JIMM, dan Desantara. Keenam lembaga ini ada di wilayah Jabar.

Berbagai Tanggapan

Tanggapan datang misalnya dari Kabid Binkum Polda Jabar, Yanuar Prayoga, SH . Ia mengatakan bahwa ada kesan, laporan yang disampaikan oleh Jaker, polisi melakukan pembiaran. Padahal sebenarnya tidak bermaksud begitu. Tetapi, ada prosedur yang harus dipakai sehingga, terkesan, polisi terlihat lambat.

Tanggapan juga datang dari kejaksaan tinggi (Kajati) Jawa Barat. Melalui wakilnya, Teten Setiawan, kajati mengatakan bahwa acuan dari segala sesuatu adalah undang-undang tertulis seperti misalnya, UU 1/PNPS/1965. “Dan itu harus ditaati walau kita tidak setuju. Barangkali pemahaman ini perlu disamakan jangan sampai seolah negara melanggar,” kata Teten.

Ia juga mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran itu terpaksa dipidana. Sementara, kalau seseorang dimutasi di lembaga tertentu berdasar agama, seharusnya yang bersangkutan bisa menggugat lewat lembaga itu. Ia juga mengatakan bahwa, misalnya, kalau UU no. 1/PNPS/1965 kontroversial, ada perangkat yang bisa dipakai seperti Mahkamah Konstitusi yang menguji undang-undang. “Jadi perangkat untuk uji undang-undang sudah disediakan. Jadi mungkin kita harus mencerna undang-undang itu lebih baik lagi,” sambung dia.

Sementara dari Kanwil Hukum dan Ham, Ria Anggraini menegaskan bahwa Inti permasalahannya, kita terburu-buru emosi dan ribut soal perbedaan, tapi belum pernah Ahmadiyah yang dianggap sesat diajak duduk bersama. Benarkah mereka melanggar akidah? Apakah ada pembicaraan dari hati ke hati dengan pihak Ahmadiyah? Jadi tidak tiba-tiba terjadi pengrusakan dan sebagainya, tandasnya.

Dari Kesbangpol Saefudin juga memberikan pandangan. Mengenai kekerasan terhadap agama lain tentu Pemda sangat menentang, hanya saja perlu dipahami akar masalahnya, seperti pembangunan gereja itu ada aturannya seperti SKB. Ini untuk menjaga ketertiban, seperti di Bali ingin membangun masjid harus ada tandatangan 100 keluarga, tapi muslim di sana ternyata muslim yang patuh. Asal taat saja pada ketentuan tidak akan terjadi keributan. Kami melakukan tindak prefentif, FKUB kami bentuk untuk hal itu, tapi jangan dipahami itu muslim saja. Jadi intinya kita taat pada ketetntuan, semunya dengan kepala dingin, bentuk kekerasan apapun pemerintah menentangnya.

Selain dari lembaga, beberapa tokoh masyarakat juga menyampaikan sikapnya. Kang Dina dari Akur, misalnya, ia menyatakan bahwa UUD dan pancasila adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Maka, ia bersiap untuk membela pancasila dan UUD jika ada yang mengganggu dasar negara ini.

Senada dengan akur, Asep, dari lembaga pagar nusa yang merupakan badan otonom NU, menyatakan bahwa sikap pemerintah dengan lahirnya SKB dinilainya diskriminatif. Ia juga menegaskan, seharusnya bukan Ahmadiyah yang dibubarkan tetapi lembaga yang selama ini melakukan kekerasan atas nama agama.

Beberapa Catatan

Atas temuan-temuan itu, Jaker sendiri, melalui sekretaris SC, Gatot memberi beberapa catatan. Pertama, dilanggarnya praktek kebebasan beragama di Jawa Barat, juga menimbulkan persoalan lainnya.

“Kita menangkap kecenderungan dari forum ini bahwa kita punya kesadaran utuh bahwa kebebasan beragama jadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya sehingga bisa diselesaikan dengan baik,” sambungnya.

Direktur LBH bandung itu juga memberi catatan bahwa, Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional sehingga negara memiliki berkewajiban untuk memperbaiki produk undang-undangnya termasuk praktek jaminan bahwa kebebasan agama yang merupakan hak dasar, tidak boleh dicampuri.

Catatan berikutnya yang ia sampaikan adalah, seharusnya diusahakan adanya forum-forum lain yang dari situ diharapkan mampu membangun keyakinan yang utuh. Dan proses akan terlaksana jika pemerintah memfasilitasi. Ia juga menggarisbawahi bahwa, falsafah negara sudah jadi pegangan dasar oleh bangsa Indonesia hingga tidak boleh diganggu gugat.

Catatan terakhir, jaker berharap bahwa forum ini akan terus terbangun sehingga ke depan, persoalan di Jawa Barat bisa dikoordinasi dengan baik dan terjadi proses pemikiran yang baik pula hingga rekomendasi dari Jawa Barat ini, bisa disampaikan ke pusat. Desantara

Klik disini untuk download dokumen lengkapnya (berkas excel)

BAGIKAN: