Mengiringi proyek “periuk pelebur”nya Anglo-Saxon Amerika pada tahun 1960-an, munculah pecahan-pecahan kecil atas dasar etnisitas. Keturunan para migran awal dari Eropa, seperti Italia, Swedia, Irlandia, Skotlandia, dan Jerman bergerak mengidentifikasi diri ke arah leluhur dan negeri asal mereka. Meski kebudayaan dan negeri asal telah dihapus oleh pendahulu mereka, keturunan ketiga berbagai etnis tersebut menganggap penting identifikasi itu digerakkan. Penegasan-penegasan seperti “saya adalah orang Swedia, saya adalah orang Skotlandia, saya adalah orang Italia”, sangat umum saat itu di seluruh wilayah negeri Paman Sam itu.
Ungkapan-ungkapan itu memang aneh dalam proyek penyatuan Amerika dan penguatan nasionalisme, tetapi amat penting bagi migran untuk memperoleh posisi tawar dalam percaturan politik nasional. Dalam konteks nasional Amerika yang didominasi para migran berbagai etnis dari banyak negara, ketokohan dan representasi menjadi amat penting untuk merebut posisi strategis dalam menentukan masa depan. Para elite etnis bergerak dengan mengerek bendera etniknya untuk merebut posisi politik di negeri itu.
Sisi lain dari pengalaman Amerika itu memperlihatkan bagaimana sebuah etnisitas atau kebudayaan setempat diperlakukan untuk kepentingan politik sesaat. Di negeri kita sendiri juga sering terdengar bagaimana sebuah kebudayaan, etnisitas, kesenian, bahkan agama dimainkan untuk keperluan politik seperti pemilu, pilpres, atau pilkada bahkan pilkades. Dalam pilkada, misalnya, sebuah keaslian etnis dan agama bisa dipersyaratkan, sebuah kesenian dan ritual bisa ditimang-timang, dan sebuah kesetempatan bisa dijanjikan. Tetapi siapa yang dapat menjamin konsistensi pasca peristiwa politik itu terselenggara? Bukankah semua itu tak lebih dari sebuah permainan? Dan bukankah pula bahwa, di luar peristiwa politik seperti itu, kita selalu simplistik terhadap kebudayaan?
Dari pengalaman itu, wajar kalau kita acapkali ditarik untu mengajukan pertanyaan spekulatif: apakah hal itu sebagai penanda bahwa sebuah orsinalitas etnis, kebudayaan setempat, dan ekslusivitas agama sebenarnya hanya ada ketika dibayangkan dan di-ada-kan? Entah ini kemajuan atau kemunduran bahwa roh dan semangat sebuah etnis, budaya setempat, atau agama ada dan eksis ketika semua itu di-ada-kan dalam sebuah ruang dimana semua itu diperlukan.
Di sini tampaknya kita harus mengakui rumusan pendukung postkolonial yang menegaskan bahwa kebudayaan tak lebih dari sebuah konstruksi karena itu tidak permanen dan selalu dinamis. Sebagai konstruksi, sebuah kebudayaan selalu beredar dan berada dalam arena permainan atau wilayah politik kehidupan dengan keterbatasan waktu dan ruang yang melingkupinya. Dalam konteks seperti itu, kita sering menyaksikan bagaimana kehidupan adalah gerak memutar, melingkar, atau percampuran masa lalu, masa kini, dan (imajinasi) masa depan.
Dalam konteks seperti itu, kita sering menyaksikan bagaimana kehidupan adalah gerak memutar, melingkar, atau percampuran masa lalu, masa kini, dan (imajinasi) masa depan.
Atau kebudayaan adalah gerak itu sendiri.Williams (1977) merumuskan bahwa kebudayaan adalah sebuah gerak dinamis yang selalu ditandai oleh pergumulan antara budaya dominan, residual, dan emergent yang bergerak bersilang tindih. Problemnya terletak pada pergumulan itu sendiri yang selalu tampil tidak seimbang tetapi posisi-posisi yang ada bukanlah sesuatu yang permanen.
Hanya dengan memandang bahwa kebudayaan adalah sebuah permainan dan politik kehidupan, kita dapat meraih dan dapat memutar roda dominasi. Bisri Effendy / Desantara