Akhir-akhir ini, perhatian berbagai kalangan terhadap hal-hal yang berbau lokal mengalami peningkatan. Mereka ramai-ramai kembali “menggali” khazanah ataupun kearifan-kearifan lokal yang ada di tempat mereka masing-masing. Tidak hanya itu kalangan pemerintah bahkan ikut terlibat aktif dalam berbagai acara-acara kebudayaan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas tertentu, baik acara itu sekedar seremonial maupun sampai kepada hal-hal yang bersifat ritual.
Tentu saja bukan hanya pemerintaha saja yang mulai memperhatikan yang namanya lokalitas. Kalangan pemilik modal pun khususnya yang berasal dari luar negeri telah mulai melakukan proyek back to nature. Mereka sangat menyenangi sesuatu yang dianggap alami, natural dan eksotis. Di mana lagi tempat itu kalau bukan di komunitas-komunitas lokal.
Di Sulawesi Selatan sebagai salah satu daerah yang kaya dengan budaya lokal, kecenderungan seperti ini juga meningkat. Pemerintah, misalnya mulai sering melakukan kunjungan ke komunitas lokal, salah satu contoh misalnya adalah komunitas Tolotan. Dulunya mereka diburu-buru dalam satu operasi yang dinamakan operasi mapakainge, karena dianggap ateis dan komunis, tapi sekarang malah menjadi daerah utama yang sering dikunjungi. Begitu juga Bissu, salah satu komunitas Transvetis Bugis, yang dulu dicerca karena dianggap menyalahi kodrat dan melakukan ritual-ritual sesat, kini menjadi komunitas yang diperebutkan oleh pemerintah, pemilik modal, orang-orang asing dan berbagai kalangan termasuk bahkan LSM. Baru-baru ini tepatnya pada hari Selasa 18 Mei, salah satu tradisi masyarakat Cikoang yaitu Maudhu Lompoa didukung penuh oleh pemerintah daerah Takalar, tidak sekedar mendukung bahkan menjadi penentu karena Bupati setempatlah yang meng-SK-kan panitia perayaan ini. Bahkan konon, di komunitas adat yang lain saking perhatiannya dan juga demi kepentingan pemerintah terhadap kebudayaan ini sampai merasa perlu untuk ikut campur dalam pemilihan-pemilihan ketua adat.
Lalu, apakah perhatian, campur tangan, dan keterlibatan pemerintah, pemilik modal, orang-orang Barat yang modern terhadap kebudayaan adalah bentuk keinginan mereka untuk membangun kebudayaan-kebudayaan lokal tersebut?
Kaum modernis dan para pemilik modal memang telah mulai memperhatikan lokalitas atau khususnya lokalitas yang ada di Timur, salah satunya dengan proyek back to naturenya tadi. Namun tentunya ini bukanlah bagian dari upaya memberi ruang bagi komunitas lokal tersebut. Bukan pula upaya untuk merubah imej bahwa komunitas lokal adalah komunitas yang ketinggalan peradaban dan tidak memiliki nilai-nilai yang maju. Tapi sesungguhnya proyek ini adalah proyek kelanjutan dari proses kolonialisasi Barat terhadap Timur yang juga menjadi bagian dari penguasaan kelompok modernis terhadap komunitas lokal. Back to nature adalah bentuk kolonialisme gaya baru, dimana kebudayaan lokal diharapkan tetap asli dan eksotis dalam kerangka mau dijadikan sebagai pajangan (souvenir), sesuatu yang akan dipandang oleh kaum yang menganggap diri modernis, maju dan paling berperadaban ini sebagai bagian dari hiburan mereka. Proyek ini bukanlah bagian dari menggali narasi-narasi kecil untuk ikut berbicara dalam ruang global. Apalagi mengangkat persoalan-persoalan negosiasi dan resistensi yang menjadi permainan lokalitas menggugat yang universal, yang pusat dan yang dominan. Singkatnya seperti yang diungkapkan Lyotard seorang tokoh Post-Modernis; “Modernisme (Barat) selamanya tetap akan mengangkat narasi-narasi besar dan tidak pernah sedikitpun menghiraukan keberadaan narasi-narasi kecil yang ada di tiap lokalitas”.
Asumsinya pemerintah sendiri terhadap kebudayaan lokal tidak ada bedanya dengan kalangan modernis. Kebudayaan lokal harus dihadirkan kembali, tetapi tentunya bukan menghadirkan nilai-nilai mereka apalagi mengangkat bentuk-bentuk perlawanan mereka terhadap kelompok pusat (dominan). Bukankah sebagaimana asumsi modernis kalangan pemerintah pun menganggap komunitas lokal sebagai komunitas yang berbudaya rendah. Mereka dianggap banyak melakukan tindakan yang tidak rasional, berbau takhayul dan khurafat. Kebudayaan lokal seperti di Kajang, Cerekang, Tolotang, Cikoang ataupun Karampuang di Sulawesi Selatan bukanlah puncak dari kebudayaan Nusantara, nilai-nilai yang ada pada mereka adalah budaya rendah dan karenanya tidak bisa mewarnai kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayan lokal dihadirkan pemerintah bukan sebagai sesuatu yang hidup. Kebudayaan khususnya budaya lokal seperti yang dimaksudkan tadi adalah benda yang mati yang hanya layak dipajang, dipertontonkan dan difestivalkan. Alih-alih mengangkat persoalan resistensi dan negosiasi yang terdapat dalam nilai-nilai kebudayaan lokal, pemerintah justru memanfaatkan nila-nilai lokal yang bisa menjaga kestabilan pemerintahannya dan mendatangkan aset rupiah tentunya.
Dalam pemberitaan harian Fajar edisi tanggal 19 Mei yang mengangkat ritual Maudhu Lompoari Cikoang nampak jelas “wujud” dan maksud dari perhatian pemerintah tersebut. Dari pemberitaan yang berjudul “Dari Pekan Maudhu Lompoari Cikoang: Menyulap Ritual Menjadi Tujuan Wisata” sebenarnya menunjukkan apa arah keterlibatan pemerintah terhadap tradisi ritual tersebut. Untaian kalimat angngaru (Janji kesetian) salah satu penyambut tamu : “Iya minne butta pa’bulo sibatanga, manna batu, manna kayu, anrinnimi a’julu kana, se’re siri’ se’re cera se’re pacce takkuliliangi Pancasila”, juga menunjukkan tujuan pemerintah setempat untuk menundukkan kebudayaan lokal di bawah naungan kebudayaan nasional. Di sini terlihat jelas tradisi masyarakat lokal yang ada di Cikoang sedang menuju kearah perubahan, ia muncul dalam bentuk yang lain, yang boleh jadi tidak dikenali lagi oleh masyarakatnya sendiri. Singkatnya telah terjadi invensi besar-besaran terhadap kebudayaan. Meskipun perubahan satu kebudayaan dalam masyarakat adalah alamiah dan karenanya tidak harus ditangisi, namun jika perubahan itu karena hegemoni dan untuk kepentingan kalangan di luar komunitas itu sendiri, selayaknya perubahan itu ditolak.
Sekalipun demikian tidak berarti akibat intervensi negara, hegemoni kapital dan tekanan agama “resmi” maka tamat sudah riwayat yang namanya komunitas lokal. Toh ditengah gempuran itu mereka tetap memiliki daya resistensi. Mungkin saja suaranya lirih dan tidak radikal karena bentuk perlawanannya tidak frontal, tetapi sedikit demi sedikit bisa menggerogoti kuasa dari luar. Di sini mungkin tidak ada salahnya kita mengingat kembali semangat perlawanan kultural Partha Chatterje yakni membangkitkan “kebajikan-kebajikan” yang menyempal, yang kecil-kecil, yang lokal, atau yang ditundukkan. Tentunya cara ini bukanlah sebuah proyek romantisasi untuk mencari-cari masa lalu sebagai sesuatu yang ideal. Ini adalah bagian dari cara-cara kita memfasilitasi suara-suara resisten dan negosiasi dari yang kecil, yang lokal ataupun yang menyempal tadi. Suara-suara ini kemudian kita arahkan untuk menggugat kekuasaan yang berasal dari agama, negara dan para pemilik modal