Akhir tahun lalu dalam sebuah diskusi di sebuah sessi pelatihan menulis etnografi di Makassar yang diadakan Yayasan Desantara dan LAPAR Makassar, Pak Bambang dari jurusan Sejarah UNHAS menyinggung tentang pemahaman yang keliru sebagian orang terhadap Siri’. Akibat dari pemahaman yang keliru atau hanya sebatas permukaan tersebut adalah munculnya kekerasan di masyarakat. Saya tidak tahu apakah seringnya mahasiswa di Makassar yang melakukan tawuran juga karena hal tersebut. Kalau menurut dugaan Widyastuti, psikolog dari Universitas Negeri Makassar, memang hal tersebut dipicu oleh penempatan makna yang keliru dari Siri’1. Bisa jadi begitu, misalnya dengan melihat sebab-sebab dari beberapa tawuran yang dimuat di media massa; ada kaitan dengan balas dendam karena kampus atau fakultasnya dirusak, saling ejek, terganggu dengan teriakan/orasi demonstrasi, arogansi dalam pelaksaan Opspek, terganggu suara motor, dan lain sebagainya. 2
Prof. Matullada juga pernah menyampaikan kalau Siri’ dalam makna harga diri dan keteguhan hati yang positif telah mengalami “degradasi” baik struktural maupun fungsional. Siri’ sebenarnya konsep atau bisa dikatakan pandangan hidup masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja) yang mendorong masyarakat untuk kerja keras, berprestasi, berjiwa pelopor dan berorientasi keberhasilan seperti yang pernah disampaikan Prof. Abu Hamid. Yang jelas dari beberapa pendapat orang yang pernah meneliti soal ini ada beberapa kata kunci untuk memahami apa itu Siri’3. Setidaknya malu, kehormatan, harga diri menjadi bagian dari kata kunci tersebut.
Bisa saja pandangan terhadap Siri’ yang terdegradasi ini mirip dengan “budaya kehormatan diri” yang hidup di wilayah Selatan Amerika Serikat dimana kekerasan kerap terjadi. Tetapi, sekali lagi, kita membutuhkan penelitian yang mendalam untuk bisa mengambil kesimpulan yang jernih. Walaupun begitu kita bisa belajar apa yang terjadi di Southern United States tersebut, terutama tentang kaitan antara pewarisan kekerasan, budaya kehormatan diri dan lemahnya otoritas negara.
*
Wilayah Selatan Amerika Serikat terkenal mempunyai tingkat kejahatan dengan kekerasan, khususnya pembunuhan, yang tinggi. Pada tahun 2003 misalnya, tingkat kejahatan dengan kekerasan mencapai 549,3 per 100.000 penduduk dan menyumbang sekitar 46,1 % dari kejahatan dengan kekerasan yang terjadi di seluruh Amerika Serikat. Bahkan fakta dari tahun 1976 sampai 2003 yang diungkapkan oleh Uniform Crime Reporting Program’s Supplementary Homicide Reports menyebutkan Wilayah Selatan secara rutin mempunyai rata-rata tingkat pembunuhan 1,2 sampai 1,5 kali lebih tinggi dari rata-rata jumlah penduduk.
Beragam analisis muncul atas kekerasan yang tinggi di wilayah Selatan Amerika Serikat tersebut. Ada yang menyebut bahwa faktor-faktor struktural yang menjadi biang dari masalah kekerasan tersebut, seperti tingginya tingkat kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan pendidikan, dan sebagainya. Ada juga yang menyebut ketegangan sosial sebagai pemicunya. Ketegangan sosial terjadi karena Kulit Putih yang miskin merasa disisihkan oleh Kulit Putih kaya atau kesuksesannya tidak dianggap. Selain itu juga karena Kulit Hitam yang tidak diakui hak-haknya, sehingga mereka menjadi frustrasi yang keluarannya adalah tindak kekerasan. Di sisi lain, ada yang menyebut faktor kultural berperan dalam tingginya kekerasan di wilayah Selatan tersebut.
Sejarah membuktikan bahwa sejak awal ditempatinya daerah Selatan Amerika Serikat ini, kekerasan dengan pembunuhan sudah menjadi hal yang lumrah. Di luar Indian, pemukim pertama di daerah tersebut adalah para narapidana dari kepulauan Inggris, kemudian sebagian besar imigran Skotlandia-Irlandia, serta Inggris bagian tenggara. Imigran ini menemui lahan-lahan kosong tanpa pemilik, tidak ada infrastruktur, lepas dari jangkauan mekanisme negara yang bisa melindungi rumah dan harta miliknya.
Dalam Outliers, tepatnya di bab 6, Malcolm Gladwell memaparkan persoalan budaya kekerasan selain terkait dengan kondisi lahan, juga dipengaruhi oleh latar belakang para penghuninya. Menurutnya ini bukan persoalan Utara atau di Selatan Amerika, tetapi budaya ini cenderung muncul di daerah pegunungan atau yang tanahnya tandus. Pegunungan Appalachia di Amerika, Sicilia di Itali dan Basque di Spanyol adalah beberapa contoh daerah dimana budaya tersebut muncul dan berkembang. Di pegunungan atau wilayah yang tandus, bertani jelas menjadi perkara yang sulit sehingga kehidupan menjadi penggembala ternak menjadi pilihan utama.
Berbeda dengan petani yang tidak terlalu kuatir dengan pencurian tanaman di ladangnya, penggembala ternak sebaliknya. Mereka rentang kehilangan terhadap seluruh basis sumberdaya yang dimilikinya karena pencurian. Apalagi negara atau otoritas formal lemah atau bisa dikatakan selalu absen sehingga tidak bisa mencegah atau menghukum pencurian. Hal ini membuat mereka dipaksa menjadi pelindung diri mereka sendiri. Mereka harus agresif, bersikap tegas melalui kata-kata dan tindakannya. Untuk melindungi dari ancaman pencuri mereka juga “dipaksa” mengadaptasi budaya “pencitraan” dengan mengampanyekan diri sebagai orang yang tangguh yang tidak bisa disepelekan.
Mereka juga harus siap berkelahi untuk menanggapi tantangan terhadap reputasinya. Inilah yang kemudian berkembang menjadi “budaya kehormatan diri” ( culture of honor), di mana setiap penghinaan atau ancaman terhadap keluarga, kekayaan, atau orang akan direspon dengan cepat dan keras. Akhirnya sistem yang berkembang dalam lingkungan seperti itu adalah sistem yang didefinisikan sebagai “the rule of retaliation”. Hukum balas dendam!
Dalam budaya kehormatan diri ini pembunuhan menjadi jamak. Alasannya bukan persoalan ekonomi tapi masalah pribadi. Gladwell memberikan sebuah contoh dari pengalaman wartawan Hodding Carter yang waktu mudanya pernah menjadi salah seorang juri pengadilan di sebuah kasus pembunuhan. Terdakwanya seorang pria yang terkenal gampang naik darah yang sering menjadi ejekan orang. Suatu hari dia menembak salah seorang yang mengejeknya dan melukai yang lainnya. Yang luar biasa, hanya Carter yang menyatakan orang itu bersalah, juri lainnya memaklumi perbuatan tersebut dengan alasan demi kehormatan diri! Tak heran jika sejak tahun 1860-an sampai awal abad 20, di kota Dataran Cumberland yang penduduknya tak pernah lebih dari lima belas ribu orang, telah ditemukan adanya seribu pembunuhan.
Yang menarik soal budaya kehormatan diri bukan hanya kekerasan yang ditimbulkannya, tapi pewarisannya. Kekerasan yang terjadi di sekitar pegunungan Appalachia, menurut Gladwell, bisa dirunut mulai dari abad 18, bahkan sebelumnya ketika imigran masih berada di tempat asalnya. Budaya kehormatan diri tersebut diwariskan dari generasi ke generasi, dari keluarga ke keluarga dan dari tempat satu ke tempat lainnya. Saya tidak tahu apakah ini soal yang aneh, hebat, atau mengerikan. Mungkin, bisa saja, ketiga-tiganya sekaligus.
1. http://makassarterkini.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1312:tawuran-dipicu-bergesernya-makna-siri-makassar-sindo–bergesernya-makna-budaya-siri-atau-harga-diri-bagi-sebagian-kalangan-mahasiswa-diduga-kuat-sebagai-penyebab-maraknya-aksi-tawuran-yang-akhir-akhir-ini-kembali-kerap-meledak-di-kota-makassar-psiko&catid=44:info-terkini&Itemid=139
2. http://www.antaranews.com/berita/1276633265/tawuran-mahasiswa-satu-kampus-dua-korban-kritis, http://berita.liputan6.com/daerah/200911/250623/class=%27vidico%27, http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/11/19/1/165542/mahasiswa-makassar-terlibat-tawuran-lagi, http://www.detiknews.com/read/2010/04/20/190939/1342156/10/mahasiswa-stmik-dipanegara-makassar-tawuran
3. Pendapat Prof. Abu Hamid dan beberapa tokoh Sulawesi Selatan soal Siri’ bisa dibaca di; Moh. Yahya Mustafa. dkk, Siri’ dan Pesse’, Harga Diri Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Pustaka Refleksi, Makassar, 2003.