<p>Timur bukanlah barat dan barat bukanlah timur, kalaupun keduanya ketemu dia hanya gambaran seteru dua laki-laki yang bermusuhan. Demikian pernah dibayangkan Rudyard Kipling dalam The Ballad of East and West. Gambaran ini mungkin terlalu berlebih-lebihan. Tokh pada kenyataannya pertemuan dua dunia ini semakin terbuka di era sekarang ini. Namun bila kita melihat bagaimana kolonialisme selalu mengidentifikasi dirinya berbeda dengan negara-negara yang dikoloninya, ibarat siang dan malam, rasional dan irasional, beradab dan primitif dan konstruksi ini justru juga di terima di dunia timur maka bayangan Kipling tadi mungkin ada benarnya. </p>
Gambaran ini tentunya juga berlaku untuk Sul-sel sebagai satu daerah yang ada di timur. Khususnya komunitas lokal yang ada di daerah ini,selalu dibayangkan sebagai daerah primitif, dan eksotis. Ketika sebagaian komunitas lokal bersuara agar ditempat mereka diberlakukan sitem pemerintahan dan kepemimpinan yang mangakar pada kearifan yang mereka miliki, suara-suara sumbang banyak yang terdengar. Mereka dianggap ketinggalan zaman dan masih (mau kembali) berbudaya primitif. Sistem kepemimpinan di Komunitas lokal memang mungkin berbeda dengan sistem kepemimpinan modern, tapi adalah kenaifan bila kita tergesa-gesa menuding komunitas yang ingin ditempatnya memberlakukan itu sebagai kemunduran.
Di sul-sel sendiri menurut Prof Abu Hamid mengutip Prof Rick Erk seorang peneliti Belanda, telah mengenal mekanisme kontrak sosial dalm pemerintahannya jauh sebelum Montesque menmukan teori tentang kontrak sosial. “Tentu saja berbeda dengan yang dipahami dibarat tapi pas untuk konteks sul-sel” jelasnya. Kira-kira di abad 12-13 ketika konsep To Manurung dipake dalam pemerintahan di sul-sel, mekanisme perjanjian anatara To Manurung (raja yang akan diangkat di suatu kampung) dan rakyat sudah sering berlangsung. Ini misalnya dapat dilihat pada perjanjian anatara To manurung ri Onto Bantaeng dengan rakyatnya: To Manurung mengatakan: “Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu (saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun , saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut ).
Dan rakyat membalasnya; “ Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung. (saya terima permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun).
Selain itu menurut Prof Abu Hamid di Bugis khususnya di Karampuang dikenal aturan pemerintahan yang berbunyi“ rusa taro arung, tenrusa taro ade, rusa taro ade, tenrusa taro anang, rusa taro anang tenrusa taro teu tebbe” artinya batal ketetepan raja tidak batal ketetapan adat, batal ketetapan adat tidak batal ketetapan anang batal ketepan anang tidak batal ketetapan rakyat.
Dalam tradisi Mandar sejak abad 16 Masehi yaitu sebelum Belanda berkuasa ada satu ungkapan yang terkenal “ wai ditisamba’na lebong mane soro naung marandang” yang kira-kira artinya adalah Kekuasaan itu berasal dari (bawah)rakyat dan pemerintah menyalurkan secara baik untuk kepentingan rakyat. Atau di Mandar dalam sistem pemerintahannya dikenal pula satu ajaran “tipongngi ullena seidaeng anna seipung diolona elokna tomaeddi, nasaba tomaeddimotu’untuk mapannasa mapute malotonna banua” artinya pupus segala kehendak kaum raja dan kaum adat manakala berhadapan dengan kehendak orang banyak, karena orang banyaklah yang menentukan hitam putihnya negeri.
Sampai saat ini di Padang Mandar sendiri, masih dipegang teguh kearifan-kearifan lokal dalam sitem kepemimpinan adat mereka. Misalnya dapat dilihat pada syarat-syarat untuk menjabat sebagai pemangku adat. Yang pertama, punya garis keturunan. Tapi tetap berdasarkan kesepakatan para pemuka adat lainnya. Itu juga yang terjadi pada jabatan-jabatan adat lainnya seperti So’bo, Sando, Tomabubeng, dsb. Syarat yang kedua, berwibawa. Ketiga, lemah-lembut, cinta kepada rakyat, sayang kepada sesama (to malumu’pa kedona to andian masulu pulu-pulunna). Yang terakhir, sitinaja atau layak.
“Tapi syarat saja tidak cukup. Yang akan menjadi pemimpin di komunitas adat Padang mesti memahami betul nilai-nilai kepemimpinan sebagaimana yang dipesankan oleh para leluhur Padang tentang apa yang harus dilakukan oleh sang pemimpin. Setidaknya ada beberapa kalinda’da (puisi tradisional) yang mengisyaratkan tentang hal itu. Misalnya bagaimana seorang pemimpin tak henti-hentinya memikirkan rakyatnya, bijaksana, adil, jujur, cakap,” ujar Suani Parolai, Tomabubeng Buttuaor. Suani lalu mengutip satu kalinda’da (syair di tanah mandar):
Naia ada’ tamatindo di bungi tarrare
Di allo namandandang mata di amamatanna daun ayu
Diamalimbonganna rura diate puanna agama
Diajarianna banne tau. Diamadinginganna lita
Mua marrattaso’o parakara tutuo bali-bali
Sa’bio bali-bali palalo’o bali-bali.
(Pemangku adat tidak tidur di malam hari, tidak tenang di siang hari memikirkan hijaunya tanaman, kedalamannya sungai, kesempurnaannya agama, banyaknya keturunan, kesuburan tanah.
Kalau memutuskan suatu perkara, supaya tertib, bijaksana, adil)
Karena itu, lanjutnya, ketidakadilan seorang pemimpin akan terlihat oleh tanda-tanda alam dengan tidak suburnya tanaman. Suani lalu mengambil contoh. Tanda-tanda ketidakadilan pemimpin bisa dilihat ketika Sobbo, pemangku adat yang menangani pertanian, memulai pertanian. Bila sudah tiga kali mencoba tanaman pada tiap lubang dan masih ada yang tidak subur dan tidak hidup maka dapat dipastikan bahwa ada pemimpin atau pemangku adat yang tidak baik, zalim dan berbuat aniaya. “Dengan demikian, harus dikeluarkan dari jabatannya dan diganti berdasarkan kesepakatan seluruh pemangku adat. Kalau tidak diganti maka nanti akan menghancurkan kehidupan masyarakat,” kata Suani. Menurutnya, ini sesuai pesan leluhur Padang, Marondong duang bongi anna matea mau anau, appo’u da mupajari Pappuangan mua mato’dori kedo-kedona masuang pulu-pulunna salua’ iya mo tu’u manini na ma accur atuo-tuanna pa’banua.(besok lusa jika saya meninggal, walaupun anakku maupun cucuku, jangan dijadikan Papuangan kalau keras kepala, tutur bicaranya keras, tingkah lakunya tidak baik sebab itu nanti yang akan menghancurkan kehidupan masyarakat. Tanah akan runtuh, tanaman akan rusak di tanah Padang.
Pemimpin juga harus mentaati aturan-aturan kepemimpinan. Lanjut Suani. Dia tidak bisa berbuat seenaknya apalagi mau bertindak sewenang-wenang. Setidaknya ini tergambar dalam salah satu pesan leluhur Padang:
Pellambao di petabung tarra’ba madoro tittingtan dibassi
Apa’ mua bemme’do’ palaka bemme tipasenderdo’o tu’u
(Berjalanlah di pematang yang kuat, lurus,
sekalipun engkau jatuh dan gagal,
maka sesungguhnya itu keberhasilan yang tertunda)
apabila pemimpin melakukan pelanggaran, maka diberi peringatan. Tapi jika tetap mengabaikan pelanggaran yang ia buat, tetap bertindak sewenang-wenang, tidak memperhatikan rakyat, mengabaikan tugas-tugasnya sebagai pemimpin dan pemuka adat, maka mereka akan kena kutukan tidak akan bisa menjadi pejabat adat lagi sampai tujuh turunan. Seperti dalam pesan para leluhur Padang berikut ini:
Andiammo nadilalanna nadi sambalinmo’o meita tama
Naipaccoriattomo tu’u bae
(Anda tidak akan masuk di dalamnya, anda akan di luar saja,
hanya dapat melihat ke dalam saja dan hanya akan menjadi orang terhina)
Nilai-nilai kepemimpinan itu yang tetap dipegang teguh oleh para pemuka adat Padang hingga saat ini. Meskipun perannya tidak seperti dulu lagi ketika masih jaya-jayanya dua kerajaan besar di Mandar, Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babbana Binanga, namun banyak hal yang bisa dipelajari oleh para pemimpin negara kita saat ini dari kearifan-kearifan Padang Mandar bagaimana sesungguhnya menjadi seorang pemimpin yang baik.
Tentu kita tidak harus beromantisasi ke masa silam karena bagaimanapun masa kini tentu berbeda dengan masa lalu. Tetapi kitapun tidak harus memaksakan keseragaman dalam kepemimpinan hanya atas kepentingan stabilitas dan pengawasan dan juga atas nama modernitas. Desantara