Kerawang Sebagai Komoditas Industri
Namun pencarian identitas bukan persoalan penting bagi para pengrajin yang melihatnya sebagai peluang usaha. Peminat kerawang yang terus meningkat merupakan berkah tersendiri bagi mereka. Bahkan membuahkan industri kecil yang dapat membantu perekonomian masyarakat.
Begitu pula dengan Zakaria, lelaki kelahiran 1960 seorang pengrajin kerawang di jalan Mude Sedang, kecamatan Bebesan, sekitar satu kilo meter (km) dari pusat kota Takengon.
Sebuah toko papan lantai satu beratap seng menjadi pilihan. Disewa dengan harga Rp.3.000.000 pertahun. Di dalamnya terdapat kaca tempat memamerkan kerajinan kerawang dengan panjang satu meter, lebar setengah meter dan tinggi dua meter. Rak yang sama juga terdapat di samping kiri toko. Di dalamnya penuh dengan kerajinan kerawang mulai dari baju, tas, gelang, tempat pensil, serta selendang yang dilipat dan sebagian digantung rapi.
Empat mesin jahit merk Butterfly terdapat di sisi kanan ruangan. Di lantai, sebuah kepala mesin jahit warna hitam dengan merk yang sama tampak mengkilap karena setiap hari dibersihkan.
Kepala mesin jahit itu adalah modal awal kami membuka toko ini, dan nggak akan saya jual karena mesin itu saksi sejarah usaha ini, ujar Zakaria sambil terus sibuk menjahit kerawang.
Usaha kerawang milik Zakaria dan Rasyidah dikenal luas dengan nama Gandhi Souvenir, diambil dari nama putra ketiganya. Karena merupakan singkatan dari nama keluarga. Ia mempunyai empat orang anak, sisulung laki-laki duduk di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), anak keduanya perempuan, kelas lima Sekolah Dasar (SD), Gandhi berumur empat tahun, dan sibungsu juga laki-laki baru berumur tiga bulan.
Disela-sela wawancara, sang istri yang juga sedang sibuk menjahit kerawang pesanan wali kota terlihat sangat kerepotan dan sesekali menghentikan pekerjaannya karena sibungsu menangis, namun perempuan berkulit putih itu sesekali juga ikut memberikan tanggapan.
Kerajinan kerawang milik Zakaria mulai berkembang pasca tsunami. Sebelumnya ia hanya pengrajin rumahan, menjahit kerawang kalau ada pesanan.
Saat ini penghasilan yang didapat Zakaria dan keluarga perminggunya Rp.500.000., sampai Rp.700.000, biasanya waktu moment tertentu, seperti lebaran dan perayaan pesta adat keuntungannya bisa mencapai Rp. 7.000.000 dalam dua minggu.
Hasil kerajinan kerawang dijual dengan harga bervariasi, untuk baju pria Rp.150.000-Rp.185.000., sesuai ukuran S, M, L, dan XL. Sedangkan pakaian perempuan Rp.250.000., sedikit lebih mahal karena motifnya lebih beragam. Kain sarung Rp.225.000., selendang Rp.175.000., tas berkisar antara Rp.25.000 sampai Rp.70.000., taplak meja Rp.1.300.000. untuk hiasan dinding ukuran 85 cm x 1 meter dihargai Rp.300.000.,
Waktu pengerjaannya pun berbeda. Satu baju biasanya bisa dikerjakan dalam waktu satu hari, begitu juga dengan sarung dan selendang. Berbeda dengan tas, Satu hari biasanya menghasilkan sepuluh tas kerajinan karawang ukuran kecil dan lima tas untuk ukuran besar. Sedangkan taplak meja dan hiasan dinding biasanya dikerjakan dalam waktu dua sampai tiga hari.
Pada musim kebanjiran order, biasanya pasangan suami istri ini menggunakan karyawannya yang berjumlah tujuh orang untuk membantu. Dua laki-laki dan selebihnya perempuan. Para karyawan tersebut berasal dari berbagai etnis, Jawa, Batak, Padang dan Aceh. Mereka bekerja di rumah masing-masing dan bahan baku dari Zakaria.
Untuk para pekerja rumahan, zakaria memberi upah sesuai barang dan kerumitannya. Seperti ikat pinggang perpotong Rp.15.000, baju Rp.35.000 perpotong Rp.20.000., untuk tas ukuran kecil sedangkan yang besar Rp. 45.000.,
Tapi Zakaria hanya menyerahkan kepada pekerja jika ia dan sang istri sudah kewalahan memenuhi pesanan. Untuk pakaian pengantin dan hiasan dinding mereka belum berani menyerahkan kepada karyawannya. Hanya barang seperti tas, tempat telephon genggam, dan sejenisnya saja yang dikerjakan bersama para pekerja.
Kami ngak mau pelanggan kecewa kalau jahitannya tidak rapi. Takutnya mereka ngak mau kembali lagi kesini, ujar Zakaria.
Usaha kerajinan kerawang milik Zakaria banyak mengalami kendala dalam proses pengerjaannya, mereka belum mempunyai karyawan yang handal untuk membantu usahanya. Hingga sering kali menolak order demi menjaga kualitas.
Kalau pekerja memang lumayan ramai tapi yang betul-betul ahli ngak ada, karena mereka belajarnya hanya dengan melihat beberapa kali langsung praktik, nggak ada les. Kalaupun mau les nggak ada yang buka. kadang-kadang terpaksa menolak pesanan, ujarnya sambil melayani pembeli.
Menurut pasangan suami istri ini kerajinan kerawang ini bisa dipelajari oleh siapa saja, tidak terbatas pada masyarakat suku Gayo saja begitu juga untuk modifikasi, karena saat ini sudah dikreasikan dengan bordir dan motif khas Aceh pesisir.
Saat ini Zakaria dan Rasyidah sudah mulai memodifikasi karawang Gayo. Dan ternyata mendapat sambutan baik dari konsumen. Motif yang dimodifikasi salah satunya adalah tapak sleman. Namun sampai saat ini ia belum memberi nama untuk corak kreasinya.
Kami ngak berani kasih nama, mungkin memang jangan dikasih nama aja, yang penting laris, ujar Zakaria.
Seiring dengan perkembangan zaman, motif dan jenis benda karawang mulai bervariasi. Kalau dulu hanya ada baju pengantin, bergok (kalung), lapik ampang (tempat duduk raja atau prngantin), upu jeram (selimut raja) sekarang muncul tas, sandal, tempat pensil, hiasan dinding, sandaran kursi, serta taplak meja makan yang diberi motif kerawang.
Modifikasi tidak masalah, kita harus ikut perkembangan zaman agar pembeli tidak bosan, ucap laki-laki ramah ini.
Untuk menjaga kualitas, Zakaria memesan bahan baku langsung dari Medan. Bahkan ia menyesuaikan pemakaian jenis benang. Biasanya ia memakai benang Sinar Mas karena lebih mengkilap, namun jika konsumen memesan benang Istra tanpa kilap juga dilayani, selain itu harganya masih bisa negosiasi.
Yang penting masih ada untung, bolehlah dikasih murah, ujarnya.
Selain bisa mencukupi kebutuhan keluarga serta biaya pendidikan anak-anaknya, Dari usaha Gandhi Souvenir, Zakaria membangun rumah yang sudah menghabiskan dana 135 juta, dan baru siap 60% yang dididikan sekitar 300 meter dari toko souvenirnya.
Kalau saya bilang ini berkah konflik, mungkin kalau ngak ada konflik saya masih menjadi petani, banting tulang di kebun, katanya.
Semakin ramainya peminat usaha kerawang tidak membuatnya takut kalah bersaing, karena menurut zakaria itu wajar dalam dunia usaha, karena itu adalah saingan sehat.
Nggak usah takut banyak saingan, semakin banyak makin berkembang dan industri ini makin baik, ungkap Zakaria.
Laki-laki yang pernah menjadi tukang cukur pada tahun 1986, telah merasakan berbagai jenis pekerjaan, mulai dari penjual buah, tukang bangunan, petani hingga pengrajin kerawang. Ketika disinggung apakah ia masih berminat kembali ke pekerjaanya dulu, Zakaria menjawab sambil tersenyum
Udah pekerjaan ini sajalah, nggak capek keuntungan juga lumayan sekalian melestarikan sejarah, ujarnya bangga.
Masa Konflik dan Modal Awal
Peristiwa pembakaran rumah, kasus penembakan dan pembunuhan yang semakin marak pada tahun 1998 sampai awal 2000, membuat Zakaria dan keluarga trauma hingga terpaksa pindah dari kebunnya tahun 2001 dan membuka usaha kerajinan kerawang di kota kelahiran sang istri, Bebesan, dengan alasan lebih aman karena dekat pusat kota.
Karena itu pula ia harus alih profesi serta meninggalkan kebun kopi seluas dua hektar yang terletak di Blangrakal, sekitar dua jam perjalanan ke pusat kota Takengon.
Sebagai korban konflik, Zakaria mendapatkan bantuan dari Dinas Sosial berupa beras, gula, minyak goreng, sabun dan deterjen. Kemudian bantuan itu dijual dan menghasilkan Rp.400.000., setelah berembuk dengan sang istri, sebagian ia jadikan modal usaha dengan membeli kepala mesin jahit seharga Rp.200.000., sisanya untuk beli benang dan kain. Badan mesin jahit disewa dengan harga Rp.10.000., per bulan.
Hingga saat ini kebun dan rumahnya terbengkalai, padahal Zakaria masih berharap bantuan pemerintah karena rumahnya juga rusak akibat konflik. Hanya saja bukan dibakar, tetapi di jarah papan dan atapnya.
Sekarang cuma untuk para korban yang rumahnya dibakar saja di beri bantuan sedangkan kami tidak diberi, ungkapnya.
Tapi tsunami dan konflik itu ada hikmahnya, sekarang banyak pelangga
n. Karena ramai yang datang ke Aceh, padahal dulu kami para pengrajin ngak pernah menghayal kalau karawang ini bisa sampai keluar negeri, ungkapnya.
Saat ini hasil kerajinan Zakaria sudah sampai ke luar negeri seperti Jerman, Jepang dan Amerika. Biasanya mereka menjadikan karawang sebagai cinderamata. Sedangkan di dalam negeri produk asli Gayo ini biasa di pesan khusus dalam jumlah besar untuk dijual kembali di daerah Jakarta, Bandung dan Bali. Khusus Bali, mereka lebih banyak memesan kerajinan seperti sandal, tas, serta dompet yang sudah di beri motif karawang. Di Aceh sendiri, kerajinan khas gayo ini biasa dikirim ke Banda Aceh dan Aceh Besar.
Hak paten kerawang setelah sampai ketempat pemesan biasanya akan berubah menjadi milik daerah pemesan, hal tersebut tidak terlalu dipusingkan oleh Zakaria.
Yang penting mereka kasih uang , dan kita dapat untung ujarnnya.
Perempuan Generasi Perintis dan Penerus kerajinan Kerawang
Usaha yang dirintis suami istri ini merupakan generasi ketiga dari pengrajin karawang. Rasyidah lahir dalam keluarga pengrajin. Mulai dari nenek, ibu dan dirinya sendiri. Pada masa generasi pertama, mereka sudah menggunakan mesin jahit. Hasil kerajinan kerawang disalurkan ke Koperasi Unit Desa (KUD) untuk dijual. Namun sekarang Zakaria tidak memakai jasa KUD, tapi menjual sendiri hasil kerajinannya. Pada tahun1982 sang perintis mendapatkan juara pertama ukiran kerawang se-Aceh Tengah.
Sekarang dua orang adik Rasyidah dan lima sepupu dari pihak ibu juga berprofesi sebagai penjahit kerawang. Mereka menyebar di Paya Rengi, Klaping, Uning, Bies, dua orang di Bebesen dan satu orang di Simpang Empat, sekitar dua ratus meter dari pusat kota.
Memang untuk saat ini kebanyakan pengrajin adalah keluarga kami, ujar laki-laki tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Ronga-Ronga ini.
Karena itu pula ia dan Zakaria memberanikan diri membuka usaha kerajinan karawang ketika kebun kopi mereka sudah tidak mungkin diharapkan lagi.
Pada awalnya karena ngak ada pilihan lain, tapi akhirnya cukup menguntungkan juga, ujar Zakaria sambil tertawa.
Menurut pengakuan Zakaria dan Rasyidah, masyarakat Aceh Tengah sendiri hanya membeli kerawang jika ada pesta adat. Sedangkan anak-anak muda dataran tinggi Gayo jarang datang membeli kerawang.
Mungkin karena masih muda, mereka malas atau malu memakai karawang, lebih suka pakai jeans tutur Zakaria dan dibenarkan oleh sang istri.
Ia mengatakan kerajinan motif kerawang pada awalnya dilakukan oleh kaum pria. Karena dipakai untuk dekorasi rumah, seperti teras bagian atas, dan ukiran di dalam rumah. Ketika ukiran kerawang dipakai untuk motif baju, pengrajinnya mayoritas perempuan. Hingga akhirnya perempuan lebih dikenal sebagai pengrajin kerawang.
Semakin ramainya peminat usaha kerawang tidak membuatnya takut kalah bersaing, menurut Zakaria itu wajar dalam dunia usaha. Karena itu adalah saingan sehat.
Nggak usah takut banyak saingan. Makin banyak yang buka usaha seperti ini, makin berkembang dan industri ini makin baik, ungkap Zakaria.
Laki-laki yang pernah menjadi tukang cukur pada tahun 1986, telah merasakan berbagai jenis pekerjaan, mulai dari penjual buah, tukang bangunan, petani hingga pengrajin karawang. Ketika disinggung apakah ia masih berminat kembali kepekerjaanya dulu, Zakaria menjawab sambil tersenyum,
Udah pekerjaan ini sajalah, nggak capek keuntungan juga lumayan sekalian melestariakan sejarah, ujar laki-laki belah cibro ini
Belah merupakan sebutan lain untuk marga di daerah Aceh Tengah. Pada dasarnya belah menunjukkan area tempat tinggal seseorang atau sebagai penanda garis keturunan. Di Aceh Tengah, Belah terbesar terdapat di daerah Kebayakan, sekitar dua puluh menit bersepeda motor dari pusat kota. Didaerah ini terdapat Belah Ewih, Lot, Lah, Kala, Jongok Meluem, Jongok Batin dan Gunung. Sedangkan di Bebesan terdapat Belah Cibro, Melala, Toa, Uken, Sagi, Munte, dan Linge.
Masyarakat dataran tinggi Gayo mempunyai pantangan tidak boleh menikah sesama belah. Kalau pantangan tersebut dilanggar, maka berlaku hukum adat berupa membayar denda satu ekor sapi atau diusir dari kampung dan baru diizinkan kembali ketika sanggup membayar denda.
Masyarakat Gayo juga mengenal tiga jenis pernikahan, adat Juelen (jual) menurut adat perkawinan Gayo, pernikahan juelen bearti perempuan diserahkan sepenuhnya pada pihak laki-laki dan menjadi bagian lingkungan tersebut laki-laki. Selanjutnya keturunan mereka akan mengikuti garis keturunan pihak ayah. Selanjunya perkawinan Angkap, pernikahan jenis ini kebalikan dari juelen, karena laki-laki yang diserahkan sepenuhnya kepada pihak perempuan. Dan garis keturunannya mengikuti pihak ibu. Sedangkan jenis terakhir adalah perkawinan kuso kini, yaitu pengantin laki-laki dan perempuan bebas memilih tempat tinggal dan boleh mengikuti garis keturunan laki-laki dan perempuan.
Saya memilih jenis perkawinan kuso kini karena lebih mudah mencari rezeki, nggak terikat dengan adat, ungkap Zakaria.