Seniman sekaliber WS Rendra, atau dalam konteks Sulawesi Selatan seniman semacam Rahman Arge atau Udin Palisuri, boleh saja merasa bangga dengan kebesarannya. Betapa tidak, karya mereka telah dinikmati dan diapresiasi oleh masyarakat luas. Dan yang penting juga, mereka telah mendapatkan kenikmatan materiil dari aktivitas kesenian mereka.
Tentu saja tidak semua seniman seberuntung mereka. Banyak seniman lainnya justru dalam kondisi sangat memprihatinkan. Situasi ini tampak terutama di kalangan seniman yang bergerak di tingkat lokal. Sebut saja para Bissu dengan seni Maggirik mereka, Passureq, Pakkacaping atau pun Paqalindadaq. Mereka semua adalah seniman lokal yang konsisten dalam berkesenian. Tetapi mereka tidak mendapatkan posisi yang istimewa. Alih-alih mendapat penghargaan, yang mereka terima justru hujatan dan pengucilan. Adakalanya memang, mereka dipanggil pemerintah setempat untuk mempertunjukkan bakat seni mereka. Namun imbalannya sama sekali tidak menunjukkan penghargaan yang memadai terhadap seniman lokal tersebut.
Seperti halnya nasib seorang Passureq di Barru, Indo Halimah (biasa dipanggil Indo Hali). Perempuan tua yang umurnya sudah mencapai sekitar 80 tahun ini kini tinggal di rumahnya yang sangat sederhana di desa Birue Kecamatan Barru Kabupaten Barru. Tak banyak orang yang peduli dengan keberadaannya. Ia hanya dianggap sebagai perempuan renta yang hanya mampu membaca lontara Bugis Kuno (massureq). Padahal menurut Ba’do Lo Tajang kepala kampung setempat, orang yang mampu massureq saat ini sangat sedikit. Sebab massureq sekalipun membaca lontara tetapi lontaranya adalah lontara bugis kuno dan itu pun disertai dengan tafsiran. Belum lagi dalam Massureq itu harus diiringi dengan nada dan irama tertentu yang harus dipahami betul tempat dan saat melantunkannya.
Contohnya, bila dilantunkan sureq tentang Meong Palo Karallae salah satu epos dalam cerita Lagaligo. Karena kisah ini mengetengahkan tentang nasib kucing yang disebut dengan Meong Palo Karallae (kucing tiga warna) yang sering disakiti oleh orang-orang, maka cara melantunkan sureq pun harus bisa menggambarkan suasana sedih dan kadang diselingi dengan nada yang mengancam. Hal ini berkaitan dengan cerita dalam epos itu, yang menunjukkan bagaimana Dewi Sri yang merupakan Dewi Padi akan meninggalkan orang-orang yang menyakiti Meong Palo Karallae yang merupakan kucing piaraannya.
Saat ini memang masih ada sebagian kalangan masyarakat yang memberikan tempat tersendiri bagi para Passureq. Biasanya para Passureq termasuk Indo Hali ini diundang kerumah-rumah masyarakat yang akan melakukan perayaan masa menanam padi. Passureq dalam perhelatan Ino adalah seseorang yang sangat dihormati. Mereka diundang dengan tata cara tersendiri dan ia mendapatkan tempat khusus dari tuan rumah. Dalam acara semacam itu Passureq biasanya diberi imbalan tertentu, sekalipun bisanya tidak berbentuk uang.Bagi komunitas yang masih sering merayakan proses ritual pada saat menanam padi, seni massureq bukan sekadar satu pertunjukan membaca sastra kuno Bugis, tetapi yang lebih penting lagi pembacaan sureq ini adalah bagian dari ritual itu dan juga sebagai sarana untuk mengingatkan masyarakat agar tetap menghargai tumbuh-tumbuhan seperti padi.
Mirip dengan Indo Hali, nasib yang sama juga dialami oleh para Paqalindadaq. Mereka ini adalah pelaku-pelaku seni yang juga terpinggirkan. Karena keterbatasannya, sekarang seni kalindadaq ini hanya ada di beberapa daerah di Mandar. Itu pun dipentaskan hanya dalam acara tertentu. Menurut Suradi Yasil seorang budayawan dari Mandar, tradisi ma’kalindaqdaq saat ini hanya bisa didapati pada acara khataman Al-Quran. Itu juga hanya terbatas pada daerah-daerah tertentu seperti di Tinambung, Balanipa, Pambusuang serta Banggae, yang dulunya merupakan bagian dari hidup masyarakat mandar secara keseluruhan.
Padahal dulunya kalindaqdaq digunakan pada berbagai acara kemasyarakatan seperti peminangan. Hasrat seorang pemuda untuk meminang seorang anak gadis diungkapkan dalam kalindaqdaq dan diterima atau tidak lamaran itu juga diungkapkan dalam bahasa kalindaqdaq. Begitu pun rakyat kecil, mereka menyatakan protesnya terhadap raja atau pemerintah lewat ungkapan kalindaqdaq, dan raja pun sangat paham bahwa kebijakannnya diprotes oleh rakyatnya. Nasib seperti ini rupanya dialami oleh hampir semua seni tradisi lokal di Sulsel, khususnya seni lokal yang dianggap menyimpang seperti manggirik seni tari khas Bissu.
*****
Terpuruknya kesenian lokal ini, tak lepas dari persoalan klasik: tekanan dan intervensi dari pemerintah, juga agamawan. Seni lokal ini oleh kalangan pesantren ataupun kalangan agamawan dianggap sebagai seni yang menyimpang, suatu perbuatan yang bisa mengantar orang pada perbuatan musyrik dan khurafat. Sebab beberapa dari seni lokal itu sebelum pementasan digelar, mempunyai tradisi membangun hubungan terlebih dahulu dengan makhluk halus. Stigma seperti ini dialami oleh komunitas Bissu dalam mementaskan tarian Maggiriknya.
Hal yang sama juga ditujukan bagi seni Massureq. Para passureqnya dianggap lebih mensakralkan sureq dibanding dengan kitab suci umat Islam, Al-Qur’an. Bahkan karena sureq ini adalah bagian dari rangkaian ritual menjelang tanam padi (mapaenni bine atau appatinro bine) yang dianggap sebagai perbuatan khurafat dan musyrik oleh sebagian kalangan agamawan, maka sureq ini pun mendapatkan stigma serupa.
Lain halnya dengan pemerintah. Pemerintah memang tidak memberlakukan larangan atau mengeluarkan pernyataan tertentu bernada stereotip terhadap seni-seni lokal seperti Sureq dan Kalindadaq ini. Tetapi pemerintah memperlakukan seni-seni ini untuk kepentingannya sendiri, misalnya untuk kepentingan komersiil. Misalnya Massureq pernah ditampilakan di ajang pameran di kota Barru baru-baru ini. Atau Kalindadaq bahkan pernah difestivalkan di tingkat Kabupaten Mamuju. Karena memang diorientasikan sekedar untuk pertunjukan maka subtansi spritual yang dikandung pun hilang. Dalam beberapa pertunjukan, intervensi pemerintah terhadap seni lokal ini sangat berlebihan. Bentuk intervensi itu antara lain tampak dalam modifikasi acara tersebut, yang disesuaikan sedemikian rupa sehingga memenuhi selera pemerintah.
Perhatian dari pemerintah, atau siapapun, terhadap seni lokal tentu sangat diharapkan. Namun yang dibutuhkan adalah perhatian yang tulus, bukan menjadikan kesenian lokal sebagai objek komersial. Di tengah kondisi kesenian lokal yang semakin memprihatinkan sekarang ini berbagai pihak dituntut kontribusinya. Pemerintah, kalangan budayawan, dan agamawan diharapkan bisa memberikan dukungannya, agar mereka tetap eksis. Persoalan riilnya adalah, bagaimana kreasi seni itu diserahkan kepada para seniman lokal itu sendiri. Bukankah masyarakat lokal itu sendiri yang lebih memahami makna di balik kesenian mereka?