Lima bulan menjalin kehidupan rumah tangga dengan suaminya, Ketut Widana (36), Ni Wayan Sumartini (27) mengaku sedikit kerepotan melaksanakan tugas-tugas adat di desanya, Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. “Ternyata lumayan susah. Agak kaget juga, karena saya dulunya jarang tinggal di rumah. Harus belajar dari awal, kayak training,” ujarnya.
Menjalani aktivitas adat menjadi hal baru bagi Sumartini. Apalagi perempuan yang bercita-cita bekerja di bidang pariwisata ini sudah cukup lama merantau. Ketika duduk di bangku SMA, ia memilih bersekolah di Kota Amlapura –sekitar 12 km dari Tenganan. Selepas SMA, Sumartini memilih kuliah di jurusan Diploma 3 Pariwisata Politeknik Bali di Kabupaten Badung Bali –sekitar 75 km dari Tenganan. Semasa kuliah, Sumartini tinggal bersama keluarga pamannya di ibu kota Kabupaten Karangsem dan hanya pulang rata-rata satu bulan sekali. Usai kuliah, Sumartini memilih tetap merantau dan bekerja di Denpasar.
Namun keinginan Sumartini untuk merintis karir di perantauan, nyaris pupus. Aturan adat yang sangat mengikat, memaksanya untuk tetap tinggal di desa. “Setiap bulan selalu ada acara adat. Jadi nggak bisa ditinggal,” terang perempuan yang berhenti berkarir sejak menikah. Ia pun kini harus berubah penampilan. “Saya nggak boleh memotong rambut, karena bisa dapat teguran dari desa adat. Jadi benar-benar kayak wanita bali kuno,” ceritanya.
Tak hanya Sumartini, suaminya pun mengalami hal serupa. Ketut Widana yang sehari-hari bekerja pada sebuah perusahaan bidang arsitektur terpaksa meninggalkan sementara pekerjaannya karena kegiatan adat yang harus dijalani setelah menikah. “Karena laki-laki yang sudah menikah harus makemit tiga hari sekali. Jadi dia juga belum bisa kembali ke Denpasar,” terang Sumartini.
Kerapnya penyelenggaraan kegiatan adat merupakan bagian dari cara mereka untuk menjaga serta melestarikan tradisi di tengah godaan modernitas. Itu sebabnya, kegiatan adat di desa ini tak pernah putus sepanjang tahun. “Setiap bulan selalu ada kegiatan adat,” tutur Sumartini.
Menurut salah seorang tokoh adat Tenganan, I Mangku Widia, pasangan suami istri bagi adat Tenganan adalah sesuatu yang dipandang utuh. Pernikahan merupakan sesuatu yang dianggap sebagai tingkat kesempurnaan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan adat.
Tenganan juga memiliki awig-awig (aturan adat) yang secara tegas mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan Tenganan. Laki-laki dan perempuan Tenganan diwajibkan menikah dengan sesama Tenganan sendiri. Bila laki-laki Tenganan menikah dengan orang luar, konsekuensinya mereka harus pindah ke Banjar Pande. Sementara bagi perempuan yang menikah dengan orang luar desa, diwajibkan ke luar desa untuk mengikuti suaminya dan orang tuanya harus membayar denda kepada desa adat sebesar 75.000 uang kepeng atau setara dengan Rp.18.500.
Tenganan Pegringsingan terdiri atas tiga banjar adat, yakni Banjar Kauh, Banjar Tengah, dan Banjar Pande. Banjar Pande diperuntukkan bagi mereka yang terlahir cacat dan warga yang dianggap melanggar aturan adat, misalnya laki-laki yang menikah dengan perempuan luar desa.
Meski mereka tinggal terpisah, warga memiliki hak yang sama dalam kehidupan dan juga dalam upacara adat. Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan jadi bagian yang tak terpisahkan dari aturan adat Tenganan. Berbeda dengan budaya masyarakat Hindu Bali pada umumnya yang memberikan porsi hak lebih kepada kaum laki-laki, masyarakat Tenganan menerapkan hak waris yang sama, baik kepada anak laki-laki maupun perempuan.
Menurut Mangku Widia, persamaan hak terhadap laki-laki dan perempuan menunjukkan sistem adat yang lebih baik di Tenganan Pegringsingan. “Makanya kebanyakan masyarakat Tenganan yang bekerja ke luar, akhirnya kembali juga ke Tenganan,” terangnya.
Aturan adat Tenganan juga melarang adanya praktik poligami. Bila seorang krama desa adat melakukan poligami, maka dia akan diturunkan secara tidak hormat dari jabatannya, dan kemudian menjadi warga adat biasa. Krama desa merupakan sebutan untuk warga adat di tingkatan tertinggi yang sekaligus bertugas sebagai perangkat adat. Selain krama desa, masyarakat Tenganan Pegringsingan juga terdiri atas dua struktur lainnya, yakni krama gumi –masyarakat adat biasa—dan krama gumi pulangan –krama desa yang sudah pensiun dari tugasnya karena pasangannya meninggal atau salah satu anaknya menikah. “Kalau melakukan poligami, dia kembali jadi krama gumi secara tidak hormat,” jelas Widia.
Meski disibukkan oleh kegiatan adat, menjadi warga adat Tenganan memberikan kebanggaan bagi para perempuan Tenganan, tak terkecuali Sumartini. “Pastinya bangga karena kita merasa dihargai sebagai perempuan,” ujarnya. “Jadi perempuan Tenganan, bangga. Kan di sini perempuan juga dapat waris. Artinya, kita sejajar sama laki-laki,” ujar Ni Komang Andayani (40), perempuan Tenganan lainnya menimpali.
Ni Komang Erviani