M. Kodim, Desantara
Al-din wahid wa al-syari’atu mukhtalifah (Ibn ‘Aqil). Dengan demikian, memformalisasikan satu bentuk syariat tentu akan menghancurkan syariat Islam yang lain.Wacana khilafah kembali bergejolak di dataran Indonesia belakangan ini. Isu ambisius ini sontak mengobarkan perseteruan terbuka antara mereka yang pro dan yang kontra. Bagi yang mengamini, khilafah adalah panacea bagi penyelesaian serangkaian problem kemanusiaan sekaligus sebagai jalan pemersatu umat Islam di dunia. Namun bagi mereka yang menolak, khilafah tak lebih hanya sebuah mimpi besar tentang ‘kejayaan Islam’ yang naïf dan tidak mendasar karena berusaha merekonstruksi sejarah sebagai wajah tunggal untuk dihadirkan dalam masa kekinian. Dan di level kebangsaan, khilafah justeru akan menggerus nilai budaya lokal yang telah lama berakar urat, serta bisa menggoyah keutuhan NKRI.
Kobaran api itu datang dari Stadion Utama Bung Karno beberapa pekan lalu, tepatnya Minggu, 12 Agustus 2007. Penyulutnya tak lain adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sedang menggelar hajatan Konferensi Khilafah Internasional 2007 bertajuk “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia”. Sungguh sebuah hajatan besar yang membelalakkan dan sekaligus meresahkan mereka yang selama ini mempunyai kegelisahan terhadap fenomena kian merebaknya gerakan-gerakan Islam yang mempunyai politik dan ideologi transnasional.
Seratus ribu lebih orang dengan mengenakan atribut dan simbol HTI tumplek jadi satu di stadion. Mereka terdiam, dan dengan khidmat mendengarkan orasi dan paparan tiga narasumber yang didatangkan dari luar negeri. Mereka adalah Profesor Dr Hassan Ko Nakata (Guru Besar Doshisha University, Kyoto/Presiden Asosiasi Jepang), Dr Salim Atcha (Hizbut Tahrir Inggris), dan Syekh Usman Abu Khalil (Hizbut Tahrir Sudan) yang menyampaikan materi dilengkapi dengan lima pembicara dari dalam negeri, yakni Profesor Dr. Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah/Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia), Aa Gym (PP Daarut Tauhid, Bandung), KH Amrullah Ahmad (Ketua Umum Syarikat Islam), dan Tuan Guru Turmudzi (Syuriah Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat) serta KH Tohlon (MUI Sumatera Selatan).
Tidak sekadar jumlah massa yang fantastis, tapi yang menggetarkan dalam momentum itu adalah Hizbut Tahrir Indonesia kini dengan lantang dan gagah menyuarakan khilafah di tengah Indonesia yang menganut konsep nation-state. Padahal konsep khilafah tentu saja berselisih dengan konsep nation-state dan demokrasi. Pihak HTI pun merasa sukses, tidak semata-mata pada penyelenggaraan acaranya namun yang lebih penting adalah keberhasilannya mengibarkan gagasan khilafah. Dan mereka pun kian pede.
Sontak, acara itu menuai kritik tajam. Achmad Munjid, seperti yang ditulis dalam koran Tempo, secara verbal mengeritik dengan menunjuk kekeliruan secara mendasar yang dilakukan oleh para pendukung politik Islam seperti HTI. Kekeliruan itu karena mereka menempatkan agama pertama-tama sebagai sebongkah norma tertutup yang beku dan ahistoris, bahkan anti sejarah. Sementara itu, persoalan sosial dipandang sebagai relasi-relasi sederhana yang gampang diurai dan diselesaikan dengan menggunakan senjata agama sebagai norma.
Pangkal persoalan kekeliruan organisasi seperti HTI ini adalah mempersepsikan Islam yang diyakini sebagai lembaga serbasempurna diandaikan telah menyediakan cetak biru (blue print) apa saja, termasuk sistem politik, yang wajib dan tinggal dipraktekkan. Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang khas dengan ideologi Islam dan perundang-undangan yang mengacu pada al-Quran dan hadis. Tegaknya khilafah diyakini mampu menegakkan syariat Islam dan mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.
Entah apa yang melatari mereka bersikukuh mengusung agenda khilafah ke Indonesia bahkan dunia. Namun yang jelas, argumentasi mereka selalu merujuk pada kilas sejarah masa lalu tentang pemerintahan yang pernah dipraktekkan oleh khulafa al-rashidun dan sesudahnya. Mereka secara obsesionis ingin memboyong masa kegemilangan peradaban Islam untuk bisa dipraktekkan saat ini dengan dalih untuk mempersatukan umat Islam di dunia. Mereka pun terlelap dalam glorifikasi sejarah Islam.
Apa yang menjadi dasar argumen ini tentu saja masih butuh diuji kebenarannya terlebihdahulu. Benarkah Nabi Muhammad pernah mewariskan sistem politik Islam? Apakah para khulafa al-rashidun telah menetapkan sebuah rumusan tentang khilafah? Apakah pemerintahan pasca khulafa al-rashidun mempraktekkan sistem khilafah dan berhasil menyatukan umat Islam di belahan dunia ini? Untuk menjawab itu semua, mari kita sejenak menengok sejarah Islam masa lalu.
Apa yang menjadi dasar argumen ini tentu saja masih butuh diuji kebenarannya terlebihdahulu. Benarkah Nabi Muhammad pernah mewariskan sistem politik Islam? Apakah para khulafa al-rashidun telah menetapkan sebuah rumusan tentang khilafah? Apakah pemerintahan pasca khulafa al-rashidun mempraktekkan sistem khilafah dan berhasil menyatukan umat Islam di belahan dunia ini? Untuk menjawab itu semua, mari kita sejenak menengok sejarah Islam masa lalu.
Membeber Sejarah Pemerintahan Islam
“Islam adalah agama sekaligus Negara”. Demikian adagium yang membius kalangan yang mempercayai sistem khilafah. Karenanya, mereka mengangap bahwa Islam bukan hanya menjadi agama semata, tapi juga sebagai sistem politik. Dan di ujung keyakinannya itu, mereka tanpa ragu memaklumatkan bahwa sistem khilafah merupakan bagian inhern dalam tubuh Islam yang tak mungkin bisa dipisahkan.
Berangkat dari situ, mereka meyakini bahwa Nabi saw., di samping seorang rasul juga menjadi kepala negara. Ia adalah penguasa tertinggi keagamaan dan politik. Madinah adalah negara Islam pertama di muka bumi ini, dimana Islam mencapai bentuknya yang paling sempurna. Era kekuasaan Nabi selanjutnya diteruskan oleh para Sahabat yang melembagakan sebuah sistem politik yang disebut khilafah.
Yang demikian ini adalah versi mereka. Benarkah Nabi pernah menetapkan satu bentuk kekuasaan tertentu? Apakah Nabi juga pernah berpesan bahwa orang-orang sepeninggalnya harus meneruskan tradisi kekuasaan yang telah ia bangun? Logika yang penulis gunakan sederhana saja: bagaimana Nabi sampai pada level penetapan formulasi baku tentang bentuk kekuasaan (negara), padahal Nabi selama memimpin di Madinah tidak pernah sibuk dan berupaya memformalisasikan Islam sebagai merek yang harus dipancang dalam ruang kenegaraan. Coba lihat secara jeli, Piagam Madinah yang terdiri dari tiga lembar itu sama sekali tak menyebutkan, bahkan, kata Islam.
Bukti bahwa Nabi tak pernah menetapkan satu bentuk kekuasaan politik tertentu dapat dilihat dalam proses pengangkatan keempat khalifah, yang semuanya terkesan ad hoc serta tidak ada model yang secara konsisten diikuti dari waktu ke waktu. Abu Bakar diangkat secara aklamasi; Umar diangkat melalui wasiat; Utsman diangkat melalui tim formatur yang diprakarsai Umar; dan Ali diangkat melalui aklamasi.
Memperkuat penyangkalan ini, Munjid mengajak kita untuk membaca buku-buku sejarah Islam standar, entah yang klasik seperti Tarikh al-Rasul wa al-Muluk karya Al-Thabari, entah yang kontemporer seperti The Crisis of Muslim History karya Mahmoud Ayoub, maka kita akan segera mengerti betapa, bahkan, sejak hari pertama Nabi Muhammad wafat, persaingan dan perselisihan politik di kalangan para sahabatnya telah dimulai. Itulah salah satu alasan mengapa Abu Bakar tergesa dibaiat tanpa kehadiran Ali, keluarga terdekat Nabi. Demi menghindari pertikaian yang kian kentara, Abu Bakar menunjuk Umar ibn al-Khattab sebagai penggantinya. Sementara itu, Umar merasa perlu membentuk dewan formatur buat memilih penerusnya kelak akibat munculnya kubu-kubu politik yang seimbang dan saling berselisih. Adapun Ali diangkat sebagai khalifah di tengah penolakan pelbagai kelompok, termasuk kaum Khawarij dan kubu Aisah, istri Nabi, yang kemudian memuncak dalam perang Jamal dan Siffin.
Pasca khulafa al-rashidun, terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam sistem kekuasaan. Bani Umayyah dan Bani Abbashiyah mengembangkan sistem dinasti, dimana kekuasaan diwariskan menurut garis keluarga, secara turun-temurun dalam lingkaran dinasti. Malah kadang disertai pertumpahan darah di antara sesama saudara sendiri, seperti kasus Al-Ma’mun dan Al-Amin, para ahli waris Sultan Harun al-Rasyid. Tradisi yang dikembangkan oleh generasi Sahabat sama sekali ditinggalkan.
Anehnya, periode dinasti Islam, terutama dinasti Umayyah dan Abbasiyyah –dengan keberhasilan ekspansi wilayah dunia Islam yang amat dramatis dengan segala capaian peradaban yang gemilang–, seringkali dirujuk oleh para pendukung sistem khilafah sebagai puncak dari sistem khilafah Islam.
Dari sini, kesangsian kian kuat, seperti yang ditanyakan Munjid. Jika khilafah dianggap merupakan sistem politik baku, tunggal, dan menyatukan umat Islam seluruh dunia selama belasan abad, kenyataan sejarah manakah yang kita rujuk? Dinasti Umayyah di Spanyol, Dinasti Fatimiyah di Mesir, dan Dinasti Abbashiyah di Bagdad bukan cuma merupakan tiga kekuasaan terpisah yang pernah berdiri satu zaman, tapi juga berperang satu sama lain.
Andai itu yang dikatakan khilafah, maka khilafah tidak memiliki kisah sukses yang memadai. Sejarah telah banyak menunjukkan perihal kegagalan demi kegagalan penyelenggaraan khilafah dan tak jarang berujung pada penghilangan nyawa sesama. Lihat saja, dari empat khulafa al-rashidun, tiga di antaranya (Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib) mati terbunuh justru ketika konsep khilafah itu diterapkan. Peperangan onta (waq’ah al-jamal) yang melibatkan Ali ibn Abi Thalib (menantu sekaligus sepupu Nabi) dan Siti Aisyah (istri Muhammad SAW) telah menelan korban nyawa yang tidak sedikit. Inkuisisi (mihnah) dengan menghukum para intelektual muslim brilian juga terjadi dalam dunia khilafah. Belum lagi cucu Nabi, seperti Al-Husain yang tewas dengan kepala terpancung dan Al-Hasan diracun akibat perintah biadab penguasa yang menyandang gelar khalifah. Bagaimana mungkin khilafah sebagai sistem politik diklaim meneladani Nabi? Ini adalah bukti kuat bahwa khilafah bukanlah konsep yang ideal. Ia telah gagal justru pada saat uji cobanya yang pertama.
***
Akhirnya, kisah tentang khilafah pun harus ditamatkan. Pada tahun 1924, khilafah Islam di Istambul dengan Sultan Abdul Hamid II sebagai penguasa, secara resmi dihapus oleh Mustafa Kamal Attaturk. Peristiwa ini secara simbolis menghapus sistem khilafah dari dunia Islam. Setahun kemudian, Ali Abdurraziq dari Mesir menerbitkan buku yang kontroversial al-Islam wa Ushul al-Hukm: Ba’ts fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam. Abddurraziq menyatakan bahwa Islam sama sekali tidak mengenal sistem khalifah. Sistem khilafah diciptakan oleh orang perorang sepeninggal Nabi saw. sebagai ijtihad politik. Khilafah Islam di Istambul itu merupakan episode terakhir dari semua rangkaian cerita yang hanya menyisakan kegetiran belaka. Pasca itu, tak ada lagi cerita tentang khilafah. Ia cukup disimpan dalam etalase sejarah dan sekali waktu dikenang dengan kemirisan. Logika sederhana saja tentu sudah mafhum, bahwa cita-cita membuat pemerintahan tunggal Islam serasa khayal belaka, sebab itu akan mereduksi dan mendistorsi kemajemukan Islam dalam ruang dan masanya masing-masing.
Masih belum percaya? Coba sekarang Anda sisir semua dataran bumi ini, maka Anda tak akan menemukan satupun belahan bumi yang mengadaptasi konsep khilafah ini. Bahkan, di timur Tengah sendiri, ide pembentukan pemerintahan tunggal ini ditolak. Negara-negara tersebut tetap menggunakan sistem pemerintahan berbentuk kerajaan, republik Islam, atau emirat. Di Eropa, ide khilafah yag diusung Hizbut Tahrir juga ditolak karena mempermasalahkan sistem dan konstitusi Negara.
Masih belum percaya? Coba sekarang Anda sisir semua dataran bumi ini, maka Anda tak akan menemukan satupun belahan bumi yang mengadaptasi konsep khilafah ini. Bahkan, di timur Tengah sendiri, ide pembentukan pemerintahan tunggal ini ditolak. Negara-negara tersebut tetap menggunakan sistem pemerintahan berbentuk kerajaan, republik Islam, atau emirat. Di Eropa, ide khilafah yag diusung Hizbut Tahrir juga ditolak karena mempermasalahkan sistem dan konstitusi Negara.
Lalu bagimana dengan konsep khilafah islamiyah yang lagi giat-giatnya dirapalkan oleh HTI di Indonesia? Itu mungkin hanyalah romantisme Taqiyuddin al-Nabhani –pendiri Hizbut Tahrir—akan sejarah kejayaan Islam yang coba rekonstruksi dan diformulasikan menjadi konsepsi politik Islam yang kemudian diwiridkan secara terus-menerus agar dipercaya mampu menjadi jimat pemersatu antar umat Islam di muka bumi ini.