Kita Juga Bisa Rukun

admin | 10 – Mar – 2008

Wawancara Ahmad Nurcholis dan Ang Mey Yong:
Siapa bilang kawin beda agama adalah sumber konflik dan ketidakrukunan. Toh nyatanya perkawinan yang direncanakan dan dibangun dengan komitmen dan kesepakatan-kesepakatan bersama atau prinsip saling menghargai antara pasangan akan mengantarkannya ke samudera kebahagiaan. Dan negara tidak perlu berdalih atau merakayasa regulasi tentang keyakinan karena justeru akan merusak makna perkawinan itu sendiri. Berikut ini paparan pasangan beda agama, Ahmad Nurcholis (beragama Islam) dan Ang Mei Yong (beragama Konghucu) tentang lika-liku pernikahanannya yang membentur tembok negara, saat diwawancarai Mh. Nurul Huda dari Diaspora. Berikut ini petikannya:

Bagaimana awal perkenalan anda dengan isteri anda?

Kita berkenalan di Gemari (Generasi Muda Antara Iman) tahun 2001 pada suatu kepanitiaan bersama dalam kegiatan antar agama. Gemari ini satu wadah yang menarik karena banyak teman-teman dari ragam agama. Dari situ kita mulai akrab dan muncul rasa cinta satu sama lain. Pertama saya mengutarakan cinta, ia menolak karena problem beda agama. Saya terus maju. Tapi sebelum itu, kami menginventarisir masalah-masalah apa yang akan kita hadapi. Misal sikap keluarga, masyarakat dan teman-teman dan juga pandangan tokoh-tokoh agama. Yang tak kalah penting kami mempersiapkan mental dan psikologi pribadi. Kami juga mencari landasan teologisnya, membuat kesepakatan-kesepakatan solusi setiap masalah dan konsep membangun keluarga ke depan.

Apa hal-hal yang anda sepakati terlebih dulu sebelum melaksanakan perkawinan?

Pertama, kita bertekad menghadapi apapun kata orang secara bersama-sama. Kita memberikan pemahaman yang bisa dimengerti orang lain. Karena kita nggak mungkin masa bodoh begitu saja. Dan nyaris hampir dua tahun dalam masa pacaran itu kita tidak merasa senang-senang seperti halnya anak muda lain. Kedua, soal keyakinan. Kita tetap mempertahankan agama masing-masing. Lalu, ketiga, mengenai agama anak nantinya. Kita sepakat menyerahkan soal pilihan agama kepada mereka sendiri. Anak-anak tidak akan kita arahkan ke mana. Kita hanya jelaskan bahwa dunia ini ada banyak ragam agama. Silahkan kamu pelajari mana yang paling sreg di hati, mau Islam, Katolik, Konghucu atau yang lain. Sejak kecil kita akan mengajari norma moral dan budi pekerti, bisa dari Islam atau Konghucu. Yang jelas kita tidak mengajarinya dengan model propaganda, tapi secara fair dan ilmiah.

Apa sih sebenarnya prinsip perkawinan dalam bangunan perkawinan anda?

Perkawinan itu pada dasarnya menjalin dua pasangan yang berbeda. Perbedaan ini lalu disinergikan. Setiap perbedaan kan menyimpan energi positif. Misalnya, perbedaan agama. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Soal sikap hidup mungkin sikap saya ada yang baik dan ada yang kurang, demikian juga sikap isteri saya. Jadi masing-masing saling bersinergi. Kedua, adanya saling pengertian dan saling memahami. Ketiga, saling mencari solusi setiap ada masalah atau konflik. Kita tidak pernah menabukan konflik, bahkan sejak pacaran kita sering konflik. Yang perlu dicatat konflik itu tidak pernah soal agama, tapi soal hidup keseharian saja. Selama dalam diri kita ada kemauan mencari solusi, insya Allah tidak berlanjut sampai parah. Itu modal utama dalam membangun rumah tangga. Soal beda agama kita tidak menemui masalah. Karena kita terbiasa dengan forum antara agama. Mey (panggilan Ang Mey Yong, Isteri Nurcholish, Red.) aktif di Gemaku (Generasi Muda Konghucu, Red.) dan kita sama-sama di Gemari dan Pelangi yang memiliki warna sama, yakni interfaith.

Bagaimana dengan soal relasi suami-isteri…

Saya mengacu pada bunyi ayat Al Quran: Al-rijalu qowwamuna ‘ala al-nisa. Saya memaknai qowwamun sebagai teman atau partner. Di situ kesetaran antara laki-laki dan perempuan terjalin. Saya sendiri tidak pernah merasa diri lebih pintar atau lebih baik dari isteri saya. Jadi kita bersama-sama menata kehidupan rumah tangga agar baik. Kita saling mengoreksi dan memperbaiki. Jadi qowwamun di sini tidak bermakna pemimpin yang superior. Yang bisa memaksa isteri seenaknya.

Bukankah ayat tersebut sering menjadi landasan kekhawatiran nikah beda agama, karena pihak laki-laki dianggap akan mengajak atau memaksa sang isteri pindah agama. Sehingga banyak ulama melarang wanita muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim?

Dalam al-Quran sendiri sebenanya tidak ada landasan bahwa seorang muslimah dilarang menikah dengan non-muslim. Jadi menurut hukum, sesuatu yang tidak ada landasan hukumnya, maka hukum asalnya adalah boleh. Tapi orang-orang Islam sendiri yang memaknai demikian. Ini semua muncul dari pandangan patriarkis. Kalau suaminya muslim diharapkan perempuannya akan ikut muslim. Nah, lagi-lagi ini kan pendekatan propagandis. Saya tidak setuju hal ini. Bagi saya pindah agama itu biasa-biasa saja, bukan sesuatu yang wah. Bukan kecelakaan. Orang beragama itu kan ibarat orang meniti jalan, mencari jalan yang mudah dan tidak terjal.

Lantas bagaimana pandangan anda sendiri mengenai perkawinan beda agama yang anda lakukan?

Sebagai seorang muslim, saya berlandaskan Al Quran. Orang sering mengutip surat Al Baqarah ayat 221 yang melarang menikah dengan orang musyrik. Menurut asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat, Red.), musyrik di situ dialamatkan pada orang Quraisy Mekkah yang memusuhi Islam saat dibawa oleh Rasulullah. Nah, larangan mengawini orang musyrik alasannya saat itu karena kita nggak mungkin hidup dengan mereka yang memusuhi kita. Jadi, musyrik itu sebenarnya label sosial saja, bukan teologis. Lagi pula secara kebahasaan musyrik itu kan beragam makna. Dan sama sekali tidak persis sama dengan kafir atau ahlul kitab. Musyrik itu berarti orang-orang yang tidak berada di jalan kebaikan, atau mereka yang benci dan memusuhi orang lain. Cak Nur bilang musyrik itu orang-orang yang tidak tercerahkan. Sementara orang mukmin atau ahlul kitab itu orang yang tercerahkan karena dia punya acuan kitab suci. Jadi perkawinan antar agama secara teologis adalah sah, dan ada landasannya.

Sekarang ini banyak asumsi yang memandang nikah beda agama itu rawan konflik. Bahkan asumsi ini menjadi landasan pihak-pihak tertentu dalam menyusun sejumlah regulasi dan UU yang tidak pluralis. Pandangan Anda?

Mereka itu kan menggunakan pendekatan asumtif dan spekulatif. Tidak empirik. Mereka tidak pernah meneliti bagaimaan pasangan antar agama yang rukun-rukun saja. Pengalaman saya yang nikah beda agama, toh rukun-rukun saja. Dan buktinya banyak nikah seagama yang dilanda konflik dan cerai, dan sebaliknya banyak juga yang melaksanakan nikah beda agama hidup rukun. Menurut saya konflik nikah beda agama itu bukan berasal dari perbedaan. Tapi bagaimana kita menyikapi perbedaan itu dan mencari solusi permasalahan yang timbul dan kearifan dalam menghadapi konflik. Jadi yang memicu konflik bukan perbedaan, tapi ketidakmampuan secara arif mengatasi masalah. Harmoni sebuah hubungan tidak berkaitan dengan kesamaan, tapi bagaimana kita mengelola konflik.

Ok, secara keagamaan perkawinan anda tidak ada kendala. Lalu bagaimana halnya perkawinan anda di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor Catatan Sipil?

Kita pernah bertemu Pak Nurhadi (Direktur Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI) dalam sebuah diskusi. Saya bertanya apakah bisa pernikahan saya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Dia bilang, nggak bisa. KUA juga jelas nggak bisa. Terus saya tanya, kok ada yang nikah di Paramida? O, itu urusan mereka karena ada yang menafsirkan kawin campur itu kawin antara warga Indonesia dengan warga negara lain, dan juga ada yang menafsirkan kawin beda agama. Itu kebijakan mereka sendiri. Tapi dari atas tetap dilarang, kata dia. Alasannya karena banyak ulama dari Islam maupun Katolik menentang hal itu. Jadi kita nggak mungkin melegalkan pernikahan seperti itu, katanya dia lagi. Bahkan lanjut dia, sebagian kecil saja ulama yang melegalkan nikah beda agama, yang banyak malah menentang.

Lalu bagaimana sikap anda sebagai warga negara?

Jelas peraturan itu tidak aspiratif. Dalam sebuah penelitian di Yogya diketahui ternyata setiap 1000 orang, sekitar 15 sampai 18 orang melaksanakan kawin beda agama. Sikap KUA atau petugas Catatan Sipil dan seluruh perangkat hukumnya tidak mengacu pada realitas empiris yang sebenarnya banyak terjadi di masyarakat. Tidak seharusnya pemerintah campur tangan dalam soal keyakinan. Sudah saatnya UU Perkawinan 1974 itu dan produk hukum yang seperti itu diamandemen. UU itu kan sangat politis. Ada beragam kepentingan. Misalnya, bila perkawinan antar agama dilegalkan, umat Islam akan berkurang. Ketakutan-ketakutan sepeti ini sangat tidak rasional.

Apa langkah anda setelah upaya anda mencatatkan diri di KUA dan Catatan Sipil mengalami jalan buntu?

Kita diberi saran oleh Pak Candra (Chandra Setiawan, Ketua MATAKIN, Red.) untuk meminta keterangan nikah menurut Islam dan Konghucu di Pengadilan Negeri. Nanti pihak pengadilan akan menerbitkan surat perintah ke kantor Caatan Sipil untuk mengesahkan pernikahan. Tapi kami belum mencoba. Karena kalau sudah masuk birokrasi, persoalannya berbelit-belit, di-pingpong ke sana kemari, juga kita mesti keluar fulus banyak. Saya jadi males. Akhirnya, sudahlah kita tunggu saja sampai UU-nya diamandemen.

Jadi, sampai kini pernikahan anda belum diakui secara resmi?

Ya, secara kenegaraan memang belum sah pernikahan kita. Kita cuma ngantongin surat bukti nikah dari Paramadina dan Matakin.

Lho, bagaimana dengan akte kelahiran anak anda nantinya?

Sekarang memang ada kemajuan ya, dalam arti dulu dibilang anak haram atau di luar nikah begitu. Sekarang sudah dihapus istilah itu, menjadi “anak dari seorang perempuan”. Tapi tetap saja tidak disebutkan anak hasil dari pernikahan siapa.

Bagaiman perasaan anda?

Kami jelas tidak menghendaki. Kami sebagai warga negara menggugat peraturan yang diskriminatif. Karena nikah itu kan hak setiap orang untuk menentukan siapa pasangan hidupnya. Soal keyakinan, negara seharusnya tidak ikut campur.

Senada dengan suaminya, Ang Mei Yong, dengan raut muka berseri namun tampak tegas dan sesekali melemparkan wajah geram dan kedongkolannya terhadap kebijakan pemerintah, pun menyampaikan pandangan dan uneg-unegnya tentang perkawinannya. Berikut petikannya:

Bagaimana perasaan anda menikah dengan suami anda yang tidak seagama?

Bahagia. Memang awalnya aku tidak cukup berani. Tapi setelah aku masuk Gemari dan banyak memahami pengalaman agama-agama aku baru berani melangkah lebih jauh. Bagi aku, agama-agama itu simbolnya saja yang berbeda, ajarannya sama. Tapi memang sebelum perkawinan aku mempersiapkan pribadi dulu, mental yang penting. Banyak temanku yang khawatir nantinya aku akan pindah agama. Padahal aku sudah punya prinsip Konghucu adalah agama terakhirku. Adapun anak-anakku nantinya bebas memilih mana agama yang akan mereka anut.

Bagaimana sikap suami anda selama ini?

Kami sejak awal punya kesepakatan. Dia tidak mau ikut agamaku, dan sebaliknya aku juga tidak mau ikut agama dia. Memang sih ada keluarga yang menyarankan supaya suamiku pindah agama. Tapi bagiku, buat apa pindah agama kalau hatinya tidak berada dalam agama kita. Keyakinan kan urusan hati pribadi yang tidak bisa dipaksakan. Akhirnya semua keluargaku menerima. Dan teman-teman akhirnya juga mengerti dan belajar dariku bahwa kawin beda agama itu mungkin, tanpa salah satu pihak mengorbankan agamanya. Hal-hal seperti ini yang mesti kita lewati sedari awal.

Bagi anda, apa makna perkawinan itu?

Perkawinan itu menyatukan dua insan yang berbeda yang dilandasi dengan kasih sayang dan saling pengertian. Orang kalau sudah sama nggak perlu disatukan. Yang perlu disatukan itu kan perbedaan. Pada prinsipnya kita saling menghargai dan saling bekerjasama.

Agama tidak menjadi masalah?

Aku dalam keluarga sudah biasa dengan perbedaan. Keluargaku ada yang Katolik dan Buddha. Aku saja yang Konghucu. Bagiku, hal itu sudah biasa. Tidak seperti anggapan orang-orang yang melihatnya tabu. Kami sejak kecil sudah biasa berdebat soal agama. Setelah itu ya biasa saja karena ini masalah keyakinan yang tidak bisa diungkit-ungkit.

Apa harapan keluarga anda ke depan?

Aku berharap anak-anak kita mencontoh orang tuanya. Dan pemerintah sebaiknya tidak ikut campur dalam masalah keyakinan dalam pernikahan. Karena keyakinan itu hak asasi setiap orang yang paling mendasar. Dengan pernikahan ini kami juga ingin menunjukkan bahwa pernikahan beda agama tidak selalu penuh konflik. Kita juga bisa rukun. Desantara

BAGIKAN: