Komunitas Cikoang Pecinta Nabi Sepanjang Hayat

desantara-default

Desantara.or.id

Haddad Alwi dan Sulis boleh masyhur sebagai pelantun tembang Cinta Rasul (CR), sekaligus menuai keuntungan besar hasil penjualan kaset dan sejumlah asesoris album CR (yang konon mencapai jumlah jutaan kopi dari empat seri album). Dan itu semua sah-sah saja, apalagi jika tujuannya mulia, memupuk kecintaan kepada baginda Nabi SAW. Tetapi jauh sebelum album Cinta Rasul (dan album-album senada lainya bermunculan), komunitas Cikoang telah menancapkan kecintaan pada Nabi Muhammad SAW, jauh di dalam lubuk hatinya. Dan semua itu tercermin dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena itu barangkali tak berlebihan kalau komunitas ini pantas diberi gelar “Pecinta Nabi Sepanjang Hayat”.

Contoh kecintaan itu, adalah pada struktur keyakinan mereka yang mempercayai bahwa rukun Islam itu ada 41, bukan 5. Dari 41 rukun itu, yang pertama dan yang terakhir tidak boleh ditawar-tawar, sedang yang lainnya boleh saja tidak dilakukan. Yang pertama Maulid dan yang terakhir adalah memperingati 40 hari meninggalnya seseorang. Menurut keyakinan mereka, urutan rukun Islam itu harus dimulai dari Maulid dulu karena manusia lahir dulu, baru di ‘aqiqah (rukun Islam yang kedua), lalu disunat (rukun Islam ketiga), setelah itu baru bersyahadat (rukun Islam yang keempat) dan seterusnya.

Inilah sepenggal potret komunitas Cikoang yang berdiam di pinggir pantai, sekita 50 km dari kota Takalar. Tepatnya desa Cikoang, Kecamatan Marbo Kabupaten Takalar. Sebagai masyarakat pantai kehidupan mereka sehari-hari adalah melaut. Untuk pertanian tempat ini tidak memungkinkan sebab tanahnya tergolong gersang.

Setiap bulan Rabbiul Awal, masyarakat Cikoang melaksanakan Maulid dari rumah-ke rumah. Puncak acaranya Maudhu Lompoa dilaksanakan tanggal 29 Rabbiul Awwal. Perayaan maulid memang bukan hal baru bagi umat Islam. Namun yang menarik dari perayaan Maulid di Cikoang adalah karena ia bukan sekedar acara seremonial belaka, tetapi ada acara anrate yang prosesnya telah dilakukan sejak bulan Safar. Pada bulan Safar penduduk Cikoang membersihkan diri, anrio saparang (mandi safar), yang dimaksudkan sebagai pensucian diri menyambut perayaan Maulid Nabi. Persiapan seperti ini penting, karena yang akan dilaksanakan nantinya bukan sekadar perayaan maulid biasa tetapi perayaan Maulid Nabi di alam Nur.

Maulid, dalam pandangan komunitas Cikoang terdiri dari tiga tingkatan; maulid di alam rahim, maulid di alam lahir dan yang tertinggi maulid di alam nur. Yang diperingati komunitas Cikoang adalah maulid jenis terakhir ini, dan dianggap bukan saja sunat tapi malah wajib. Adapun peringatan maulid yang lain, yang diadakan oleh para pejabat dan masyarakat lainnya, adalah peringatan maulid di alam lahir.

Sayyid Jalaluddin

Bagaimana sejarah komunitas ini sehingga memiliki pandangan keagamaan yang khas ini? Sebagaimana dituturkan oleh ketua adat, Tuan Kai, sejarah masuknya ajaran Islam di Cikoang dimulai ketika Sayyid Jalaluddin datang ke tempat itu. Sebelumnya ada beberapa penghulu agama yang datang, namun tidak banyak berpengaruh. Sayyid Jalaluddin yang beristrikan Tamami, putri Sultan Abdul Kadir Alauddin di Banjar, mula-mula datang ke kerajaan Gowa Tallo yang saat itu telah memeluk agama Islam. Sebenarnya istri Sayyid adalah keluarga dekat kerajaan Tallo. Namun di kerajaan itu Sayyid Jalaluddin seakan-akan tersisihkan, tidak mendapat tempat yang semestinya. Padahal sebagai kerajaan yang baru memeluk Islam tokoh seperti Sayyid Jalaluddin mestinya mendapat tempat, sebab Sayyid Jalaluddin adalah keturunan ke 27 dari Nabi Muhammad dan merupakan ulama yang keramat.

Akhirnya Sayyid Jalaluddin meninggalkan Gowa dan pergi menuju ke satu tempat melalui sungai Barombong, pinggiran laut Padanga, Batu-batu, sampulungan, tamalate, soreang, sawakung, beba, borong calla dan Kalongkong. Tak lama kemudian, dengan kekuasaan Tuhan, ia pun sampai di sebelah utara pulau Tana Keke. Di tempat itulah ia bertemu dengan dua orang tokoh setempat, yaitu Bunrang dan Danda. Di sanalah ia kemudian mengajar tentang Islam dengan berpedoman kepada tujuh kitab yang dibawanya yaitu: Fiqih Siratal Musataqim, Akhbarul Akhir, Tajwid, Farail Qawani Nasarail, Ushuluddin, Sauf Saufim, dan Aqidatul Awwam. Ketujuh kitab tersebut saat ini masih ada di masyarakat Cikoang dengan bahasa setempat yaitu bahasa Makassar. Dari sejarah dan peninggalan kitab inilah masyarakat Cikoang menimba ajaran agama Islam.

Komunitas Cikoang secara keseluruhan memeluk agama Islam, namun mereka memiliki cara pandang tersendiri terhadap ajaran agama itu. Cara pandang yang kental dengan pendekatan tarekat dan makrifat. Sebagaimana dikatakan oleh Sagala Alam Aidid, memahami agama Islam bisa melalui teks tetapi juga bisa melalui tradisi lisan. Bahkan menurut mereka memahami Islam melalui tradisi lisan lebih mendalam, karena tidak melalui perantaraan budaya tertentu.

Meski hidup tenang dengan segala keyakinannya, sampai saat ini komunitas Cikoang masih sering menghadapi kecaman dan stigmatisasi. Sering mereka dianggap melakukan perbuatan bid’ah dan khurafat. Berbagai kalangan sering mengecam upacara-upacara yang mereka lakukan. Bahkan tak jarang mereka mendatangi komunitas ini untuk melakukan pelarangan. Sekali pun demikian komunitas ini tetap teguh menjalankan keyakinan dan tradisi mereka. “Apakah salah kalau kami berbeda memahami ajaran agama dan juga apakah kami keliru kalau kami mau mengekspresikan persaan cinta kami kepada Rasulullah”?, ujar Tuan Kai bernada tanya. Desantara

BAGIKAN: