Dunia Islam dan Barat tidak harus dipandang secara antagonis dan bertentangan. Keduanya harus saling melengkapi dan memperkaya. Itulah pikiran utama yang mengemuka dalam acara deklarasi berdirinya Komunitas Nahdlatul Ulama Amerika Serikat (KNU-AS) hari ini di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat.
Sejumlah aktivis NU di AS yang terlibat dalam persiapan pendirian KNU-AS hadir dalam deklarasi ini. Mereka adalah Sumanto Al Qurtuby dan Achmad Tohe, keduanya adalah mahasiswa PhD Boston University, Achmad Munjid, mahasiswa PhD di Temple University, dan Ulil Abshar Abdalla, mahasiswa PhD Harvard University.
“Bagi kami, hubungan dunia Islam dan Barat tidak harus antagonis. Islam justru bisa memberikan kontribusi positif bagi dunia Barat. Begitu pula perjumpaan dunia Islam-Barat bisa memberikan kontribusi positif bagi dunia Islam,” demikian bunyi deklarasi yang dibacakan oleh Ulil Abshar-Abdalla.
“Bagi kami, keindonesiaan dan keislaman bersifat saling melengkapi dan memperkaya,” tegas deklarasi itu
Prof. Salahuddin Kafrawi, aktivis NU yang sekarang menjadi Profesor Filsafat Islam di William and Hobart College, Geneva, New York, mendukung pemikiran tersebut. Dalam pandangan Prof. Kafrawi yang juga salah satu deklarator KNU-AS itu, identitas keislaman dan keamerikaan juga tak harus dipertentangkan. Keduanya bisa saling berdialog secara produktif.
Ada tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan para deklator KNU-AS. Pertama, hubungan dunia Islam-Barat yang masih diwarnai oleh prasangka. Kedua, kehidupan berbangsa dan bernegara yang memprihatinkan. Ketiga, melemahnya vitalitas Nahdlatul Ulama sebagai ormas keagamaan.
Dalam pandangan Achmad Munjid, aktivis NU yang menjadi salah satu motor utama KNU-AS ini, visi keislaman NU kurang berhasil diterjemahkan dalam konteks masyarakat modern. Visi keislaman yang ditawarkan oleh “gerakan-gerakan Islam baru” tampaknya jauh lebih memikat generasi Islam sekarang.
“Tantangan NU adalah bagaimana melakukan kontekstualisasi visi keislaman ala NU dalam konteks yang sudah berubah saat ini,” tegas Munjid.
“Dengan berdirinya KNU-AS ini, kami juga hendak menyumbangkan gagasan-gagasan segar dalam wacana keislaman di tanah air,” tambah Munjid lagi.
Meskipun merupakan wadah umat Islam Amerika Serikat yang memiliki hubungan kultural dan keagamaan dengan tradisi NU, namun KNU-AS berusaha merumuskan identitas ke-NU-an yang terbuka.
“Kami mendefinisikan diri sebagai umat Islam dalam tradisi Sunni, Asy’ari, dan mazhab empat, namun terbuka pada keragaman sekte, aliran dan mazhab-mazhab yang ada dalam masyarakat Islam, baik di Amerika, Indonesia, atau dunia Islam secara umum,” tegas Achmad Tohe, aktivis NU yang sekarang sedang menempuh program PhD di Boston, University.
“Kami ingin mempertahankan tradisi Asy’ariyah dan mazhab empat, tetapi kami juga ingin agar tradisi itu terbuka pada kemungkinan tafsir baru,” kata Syamsul Ma’arif, mahasiswa PhD di Arizona State University.
Dalam kesempatan itu, Prof Kustim Wibowo juga menyampaikan pandangannya. Dia mengakui bahwa negara yang penduduknya sebagian besar muslim hidup dalam taraf perekonomian yang kurang layak dan ketidak-teraturan.
“Selain itu, kita juga harus mengakui tindakan sebagian kecil warga muslim melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan anarkis yang menimbulkan kekacauan, ketidak-amanan, dan kekejaman,” kata Prof Kustim yang kini menjabat Ketua Departemen Manajemen Sistem Informasi di Eberly College-Indiana University of Pennsylvania.
Tindakan dan keadaaan itu, kata Prof Kustim, menimbulkan sikap prejudice di kalangan warga di Dunia Barat terutama terhadap warga non muslim-nya. “Dunia Barat melihat Islam sebagai suatu simbol keterbelakangan dan kebengisan. Sebaliknya, sebagian besar warga muslim menganggap Dunia Barat sebagai suatu simbol kemajuan dan etika,” katanya.
Menurut Kustim, Padahal Islam yang mengajarkan dan memperkenalkan Dunia Barat dasar-dasar ilmu pengetahuan, etika, dan spiritual, yang sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw, para sahabat, para khalifah, dan cendekiawan Islam.
”Jadi, tidak lah berlebihan jika kita harus mengedepankan nilai-nilai Islam dalam berinteraksi dengan Dunia Barat,” tegas Prof Kustim.
Dia pun berharap agar KNU-AS dapat menyejajarkan Dunia Islam dan Barat. KNU-AS yang hidup dan berada di Dunia Barat diharapkan menjadi ujung tombak untuk meningkatkan usaha-usaha pengentasan kemiskinan dan pendidikan dalam rangka pemberdayaan sumber daya manusia, serta peningkatan hubungan harmonis antara Dunia Islam dan Barat.
Yang terpenting, KNU-AS dapat memberikan tauladan tentang sikap damai (salam), menjunjung nilai-nilai kekeluargaan, bersikap dermawan (zakat dan amal jariyah) untuk kepentingan umat manusia, menanamkan etos kerja, dan menunjukkan nilai-nilai perekonomian dan perdagangan dalam perspektif Islam.
“Dengan semangat kebersamaan dan perdamaian, InsyaAllah KNU-As dapat berperan serta dalam mewujudkan nilai-nilai keIslaman dalam kehidupan sehari-hari dimanapun berada tanpa memandang ras, bangsa, agama, dan budaya,” pungkas Prof Kustim.
Deklarasi ini juga dihadiri oleh Sukidi Mulyadi, pemikir muda Muhammadiyah yang sekarang menempuh program PhD di Harvard University, dan Jajang Jahroni, mahasiswa PhD di Boston University.
Deklarasi ditutup dengan do’a yang dibacakan oleh Sukidi Mulyadi yang mewakili Muhammadiyah dan Akhmad Munjid yang mewakili NU.
“Agar NU dan Muhammadiyah bisa bekerjasama untuk mengembangkan pemahaman Islam yang kontektual dan progresif di Amerika,” tegas Ulil mengomentari doa yang dibacakan dua wakil dari ormas besar Islam di Indonesia itu.
Sejumlah aktivis NU di AS terlibat dalam persiapan pendirian organisasi ini. Mereka adalah Sumanto Al Qurtuby (mahasiswa PhD Boston University), Achmad Munjid (mahasiswa PhD Temple University), Achmad Tohe (mahasiswa PhD Boston University), Muhammad Abdun Nasir (mahasiswa PhD Emory University), Kustim Wibowo (Ketua Departemen Manajemen Sistem Informasi di Eberly College-Indiana University of Pennsylvania), Akhmad Sahal (mahasiswa PhD University of Pennsylvania), Ahmad Rafiq (mahasiswa PhD Temple University), Syamsul Ma’arif (mahasiswa PhD Arizona State University), Munajat (mahasiswa PhD Texas A & M University), Salahuddin Kafrawi (Professor Filsafat Islam di William and Hobart College, Geneva, New York), Dadi Darmadi (mahasiswa PhD Harvard University), Ulil Abshar-Abdalla (mahasiswa PhD Harvard University), Saiful Umam (mahasiswa PhD University of Hawaii at Menoa), Hasan Basri (visiting fellow di Temple University), dan Mustaghfiroh Rahayu (mahasiswa MA di Florida International University, Miami).**** Kliping Desantara dari wahidinstitute.org