Seorang remaja berjilbab putih berdiri di depan pintu rumahnya. Sosok perempuan tua, mungkin neneknya, terlihat ramah menyertai gadis berkulit kuning langsat itu. Kira-kira umur gadis itu tidak lebih dari 21 tahun. Di awal perbincangan ia tidak lupa menjelaskan supaya namanya tetap dirahasiakan lantaran keluarga besarnya tidak mau masa lalunya di ungkit-ungkit lagi. ”Ini sebuah takdir yang harus saya lewati,” ujar Dahlia (bukan nama sebenarnya).
Pada mulanya Dahlia keberatan menceritakan asal mula bagaimana sebetan rotan bisa menyayat kulit dan tubuhnya. Dia dan keluarga sepakat untuk melupakannya. ”Masa lalu tak perlu di buka lagi saya ini ingin fokus kemasa depan,” ucapnya. Kejadian itu bermula ketika ia dan seorang temannya (laki-laki) ditangkap warga di sebuah rumah kosong milik keluarga temannya itu. Dahlia dituduh melanggar Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat. Karena tidak ada bukti, mereka hanya dicambuk lima kali. “Sakitnya tidak seberapa, namun malunya tidak tertahan,” ujarnya. Dahlia mahfum kalau di Serambi Mekkah ini sudah diterapkan Syariat Islam. Namun ia tidak tahu mendetil hal-hal yang melanggar penerapannya yang bisa berakibat fatal, apalagi resiko menerima hukuman cambuk.
Kejadian telah berlalu. Tak perlu disesali atau di ungkit-ungkit lagi. Yang penting tidak terulang lagi. Tak ada gunanya menyimpan masa lalu. Biarkan masa lalu pergi karena masa depan lebih berharga untuk di lalui. Mungkin begitulah cara Dahlia melupakan masa lalu dan menatap masa depannya. Ia mengaku masa depan lebih berharga untuk di isi dengan hal-hal yang bermanfaat. Tanpa perlu membuang waktu, kini Dahlia membantu kakaknya berjualan barang kelontong di toko. Obsesinya, memiliki usaha sendiri. ”saya ingin mandiri dan membahagiakan orang tua,” jelasnya.
Dahlia adalah sosok perempuan yang tak kuasa menolak penerapan Syariat Islam di Aceh. Perihnya sabetan cemeti masih tergurat di tubuhnya. Menurutnya, pemerintah Aceh seharusnya juga melihat pelanggaran lain yang dampaknya lebih luas seperti kasus korupsi. Selama ini pelaku korupsi masih belum diberikan sanksi yang tegas.
Gadis kelahiran tahun 1987 itu menyatakan bahwa dampak korupsi lebih banyak mudharatnya ketimbang khalwat dan judi. Perilaku korup yang sedang menggejala di Aceh lebih mengkhawatirkan, dan berpotensi mengganggu kesejahteraan sosial di sana. Daerah yang berpenduduk kurang lebih empat juta jiwa itu patut mengutamakan agenda pemberantasan korupsi daripada khalwat dan judi. Mengapa tidak ada hukuman cambuk terhadap koruptor? Dahlia heran, sampai hari ini tidak ada koruptor yang di cambuk.
Dahlia berharap jika Aceh serius menerapkan Syariat Islam secara kaffah, maka jangan ada perbedaan dalam pelaksanaannya. Semua orang harus diperlakukannya sama. “Tidak boleh ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, serta tidak hanya mengurus hal-hal seperti jilbab, pakaian ketat, dan khalwat,” harap Dahlia. Memang selama ini salah satu jalan pemerintah pusat dalam menyelesaikan konflik Aceh yang berpanjangan adalah dengan memberikan kewenangan penuh bagi masyarakat Aceh untuk menerapkan Syariat Islam.
Langkah tindak lanjut penerapan Syariat Islam, pemerintah Daerah Aceh membentuk Dinas Syariat Islam yang juga berwenang merancang qanun. Mengenai pengamalan dan pengawasan pelaksanaan Syariat Islam di tengah masyarakat dan sosialisasinya, Dinas Syariat Islam membentuk Wilayatul Hisbah (WH), sebuah lembaga yang memiliki tugas sosialisasi, pengawasan, dan pembinaan.
Berbagai kalangan telah memberi masukan saran dan kritik kepada pemerintah Aceh atas penerapan Syariat Islam selama lima tahun terakhir. Saran serta kritik tersebut lebih ke arah penyempurnaan Syariat Islam terutama menyangkut substansi qanun. Syariat Islam tidak hanya pada jilbab, ritual sekolah/kantor, hari Jumat, tidak boleh memperjualbelikan minuman keras, atau menampilkan simbol-simbol Islam lainnya.
Selama ini pelaksanaan Syariat Islam belum melibatkan seluruh elemen masyarakat, seperti halnya keterlibatan perempuan, remaja, orang tua, dan NGO dalam tahap legalisasi, sosialisasi, dan Implementasi. Keterlibatan perempuan masih sangat terbatas dan superfisial. Pada tahap implementasi, keterlibatan perempuan untuk mengawal qanun sebagai anggota Wilayatul Hisbah, jumlahnya masih sangat terbatas.
Tabel
Jumlah personil WH kabupaten/kota berdasarkan jenis kelamin.
No |
Kabupaten Kota |
Jenis kelamin |
Jumlah |
% |
|
Pr |
Lk |
Perempuan |
|||
1 |
Aceh Tamiang |
8 |
21 |
29 Personil |
27,58 |
2 |
Aceh Utara |
13 |
58 |
72 Personil |
18,05 |
3 |
Lhokseumawe |
3 |
37 |
40 Personil |
7,5 |
4 |
Biereun |
15 |
55 |
70 Personil |
26,9 |
5 |
Banda Aceh |
13 |
32 |
45 Personil |
28,88 |
Jumlah |
92 |
167 |
259 Personil |
26,47 |
Data Dinas Syariat Islam Aceh, April 2007