Suatu hari di awal tahun 1998, seorang kiai di Jawa Timur senang bukan kepalang ketika saya beri hadiah sebuah kaset lagu-lagu Arab yang saya bawa dari negeri Belanda. Beberapa hari kemudian lagu-lagu itu terdengar melalui pengeras suara di masjid pesantrennya terutama setiap menjelang shalat magrib. Kepada saya kiai itu mengaku sangat terkesan dengan sebuah lagu dalam kaset itu, al-quds yang berkisah tentang perjuangan kaum Palestina untuk membebaskan negerinya dari kolonialis Yahudi. Meski pun sebenarnya antusiasme kiai itu lebih karena lagu-lagu yang ada berbahasa Arab.
Kesan dan antusiasme kiai itu mendadak berubah total dan dengungan suara lagu-lagu itu berhenti setelah saya beritahu bahwa Fairuz, vokalis lagu-lagu dalam kaset tersebut adalah seorang Kristen Libanon yang sangat popular. “Lho, ini kan lagu-lagu Arab,” katanya sambil menampakkan tidak percaya. “Ya, betul kiai. Dia orang Arab, tetapi beragama Kristen dan berjuang untuk bumi Palestina yang dijajah Israil,” jawab saya sambil menjelaskan bahwa Arab tidak mesti muslim dan muslim juga tidak hanya Arab. Akhirnya, kiai itu kembali memutar kaset lagu-lagu Umi Koelzoem yang memang ia sukai dari dulu, meskipun liriknya hanya berisi cinta dan sedikitpun tidak melukiskan perjuangan.
Peristiwa itu sekali lagi menjelaskan betapa bahasa Arab menjadi amat penting bagi kaum muslim, melebihi subtansi yang dikandungnya. Subtansi lagu-lagu Fairuz yang melukiskan perjuangan bangsa Palestina melawan kolonialisme dan beberapa lirik lain yang diangkat dari syair-syair Kahlil Gibran ternyata tidak berarti sedikitpun bagi kiai di atas. Kiai itu hanya terpaku pada bahasa yang dipakai karena dipercaya sebagai bahasa Islam. Dan setelah tahu bahwa penyanyinya bukan muslim, ia pun lalu tampak kecewa.
Arab dan Arabisasi Islam bagi muslim non Arab (‘ajam) memang merupakan gejala yang sangat lama. Mungkin karena, selain Nabi Muhammad adalah orang Arab, seluruh reference penting Islam berbahasa Arab. Bukan itu saja, beberapa tradisi Arab seperti pakaian pun (gamis dan jilbab) oleh sebagian banyak muslim dipandang sebagai pakaian muslim-muslimat. Kalangan penduduk muslim di banyak desa, kampung, dan kota menganggap bahwa orang Arab yang datang dengan gamis dan tasbih selalu diberi predikat ‘habib’ yang berarti mempunyai sambungan genealogis dengan Nabi Muhammad. Kenyataan bahwa di Arab pun terdapat Abu Jahal atau Musailamah Al-kadzab menjadi tertutup dan tidak dikenal.
Lebih jauh lagi bahwa idealisasi masa tertentu di masa awal Islam cenderung menguat akhir-akhir ini. Imajinasi masyarakat madani, penamaan (identifikasi) serambi Madinah, serambi Mekah menjadi trend bagi sekelompok muslim di banyak tempat di negeri ini, yang dengan begitu sebuah wilayah tertentu dan penduduknya akan terhindar dari krisis, konflik, dan malapetaka sosio-kultural. Baldah atau qoryah yang thoyyibah (negeri dan penduduk yang baik) seolah dapat diraih hanya dengan menamainya dengan merujuk ke Arab.
Dalam konteks kecenderungan semacam itulah tiba-tiba lagu atau gendhing, bahkan qasidah diubah menjadi nasyid. Dalam blantika musik negeri ini, nasyid akhirnya menjadi genre tersendiri yang dikategori sebagai yang beraliran Arab dan oleh sebagian muslim diklaim sebagai musik Islami, meski tidak memedulikan isi dan subtansi, persis seperti yang ditunjukkan oleh kiai di atas. Nasyid adalah penamaan yang sesungguhnya tidak berbeda dengan lagu, kawih, atau gendhing. Di Arab pun, nasyid meliputi semua lagu apapun isi dan subtansi liriknya termasuk yang dilantunkan oleh penyanyi non-muslim. Akhirnya, nasyid sama sekali tidak memuat kesucian tertentu, bahkan tidak sakral sama sekali. Bisri Effendy / Desantara