Masalah penting yang harus dijawab dalam upaya perjuangan menghapus diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan ialah apakah agama sendiri memiliki landasan teologis dalam gerakan tersebut. Atau sebaliknya agama-agamalah yang justeru menjadi sumber dari berbagai kasus diskriminasi itu. Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan mulai menggali dan menelusuri sistem atau budaya keberagamaan di Indonesia dan kaitannya dengan soal bagaimana perilaku diskriminasi itu dibentuk dan dilegitimasi oleh kekuasaan dalam Islam.
Secara historis, pergeseran pemaknaan teks-teks keagamaan tidak lepas dari proses sejarah perebutan kekuasaan yang terjadi dalam dunia Islam sendiri maupun dalam interaksinya dengan dunia luar. Lalu melalui proses sosialisasi dan kulturisasi masif dan berabad-abad lamanya, pandangan kekuasan atas teks agama ini selanjutnya dirasakan, dipikirkan dan dilakukan sebagaimana laiknya keyakinan agama. Tafsir kekuasaan atas teks-teks agama inilah yang sesungguhnya mengasingkan akar-akar hak asasi manusia dalam Islam. Dan ketika ada upaya untuk menggali kembali akar yang hilang ini, muncul resistensi dan persoalan yang luar biasa dari kekuasaan.
Kalau kita lacak sebenarnya budaya keberagamaan kita ini dibangun sejak pasca Khulafaur Rasyidun (setelah masa empat khalifah sepeninggal Nabi) yang penuh dengan hingar bingar perebutan kekuasaan. Yang sangat menarik adalah bahwa sekte-sekte besar dalam Islam lahir setelah peristiwa perang antara kaum muslim sendiri, antara kubu Sayidina Ali dan kubu Muawiyah. Muawiyah menyerukan “tidak ada hukum kecuali Allah”, namun kubu Ali menyanggah dengan kata-kata“Kalimatu haqqin urida biha bathil”, yang artinya: kalimat itu benar tapi untuk maksud yang salah. Dari sinilah sebenarnya sejarah penafsiran seturut dengan kehendak kekuasaan terjadi. Dan saya melihat, persoalan-persoalan diskriminasi sepanjang sejarah Islam dilegitimasi oleh pandangan penguasa atas teks-teks agama seperti itu.
Sekarang ini, kita tidak lagi memaknai agama secara genuin dalam bentuk aslinya. Banyak istilah yang sudah tereduksi besar-besaran untuk kepentingan kekuasaan. Misalnya, istilah “kafir” dan “murtad”. Keduanya sering digunakan atas nama agama, padahal sesungguhnya istilah-istilah tersebut dieksploitasi untuk kepentingan kekuasaan.
Istilah “kafir” sendiri sebenarnya bermakna ganda, “kafir teologis” dan “kafir sosiologis” atau kafir ijtima’i. Namun sayangnya, kata kafir dalam sejarahnya digeneralisir menjadi kafir teologis untuk kepentingan menindas orang lain dan untuk kepentingan kekuasaan. Menurut saya, kafir sosiologis adalah kedzaliman. Siapapun bisa menjadi kafir dalam arti ini. Yaitu pengingkaran terhadap kemanusiaan, apapun agama dan kepercayaannya. Buktinya, KTP sajalah. Bila KTP-nya Islam mendapatkan perlindungan tersendiri dari non-muslim. Padahal justeru yang menggunakan KTP Islam secara sosial telah melakukan kekafiran kemanusiaan, tetapi itu dibatasi oleh kekuasaan.
Hal seperti inilah yang selama ini coba disembunyikan oleh kekuasaan. Kekuasaan berupaya memarginalkan dan meniadakan teks-teks yang dianggap merugikannya. Teks-teks yang responsif dan menghargai semangat perlindungan hak-hak asasi manusia dipinggirkan dan dianggap sebagai mansukh (dihapus, dikoreksi oleh teks-teks lain). Dalam kitab tafsir Jalalain, misalnya, ayat-ayat perang (ayatus syaif = ayat pedang) dianggap lebih legitimate dari, dan menghapus, ayat-ayat damai. Karenanya makin jelas di sini, bahwa tafsir-tafsir kekuasaanlah yang selama ini menyesatkan kita, mereduksi pemaknaan Islam yang benar sehingga Islam tampak berwajah buram dan intoleran.
Saya melihat bahwa sejarah Islam sebetulnya juga adalah sejarah pertentangan antara kalangan muslim dengan pihak luar. Sehingga lalu muncul istilah-istilah kafir dzimmi, kafir harbi, kafir musta’min dan lain-lain yang menjadikan orang asing kelas dua. Istilah-istilah itu ciptaan ahli fikih. Dan memang masa itu dikuasai para ahli fikih.
Lalu bagaimana budaya keberagamaan di Indonesia?
Masuknya Islam di Indonesia pada awalnya melalui pendekatan cultural sufism. Sehingga Islam tampak sangat toleran terhadap agama-agama lain. Setelah itu masuklah “Islam fikih” yang membatasi pemaknaan sufisme. Dari sini lahirlah sikap intoleransi Islam.
Nah, kini saatnya kita harus menggali dan menghadirkan kembali teks-teks yang membawa semangat Islam toleran dan anti diskriminasi yang selama ini ditenggelamkan. Ini banyak sekali. Misalnya: La ikraha fiddin (tidak ada paksaan dalam beragama), Innaka la tahdi man ahbabta wa lakinnallaha yahdi man yasya’ (Sesunguhnya kamu tidak bisa memberi petunjuk orang yang kamu cintai, dan Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki), Man sya’ a falyu’min wa man sya’ a falyakfur (jika menghendaki ia akan beriman dan begitu pula ia bisa bersikap enggan), dan dan masih banyak lagi. Contoh teks lain yang menyerukan semangat tolerasi adalah “Allah tidak melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil (Al Mumtahanah: 8). Selain itu, Islam secara tegas telah merumuskan lima konsepsi perlindungan hak asasi manusia dalam rumusan “al-kulliyatul al-khams”. Kelima gagasan prinsip universal itu adalah perlindungan terhadap agama, jiwa dan kehidupan, akal-pikiran, keturunan, dan harta/properti.
Di sini menurut saya, konsep Hifdz al-din atau kewajiban melindungi agama dalam Islam sangat relevan bagi perjuangan penghapusan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan. Yang dimaksud dengan perlindungan terhadap agama ini bukan sekadar bagi Islam saja, tapi bagi seluruh penganut agama apapun. Karena soal beragama tidak bisa diintervensi oleh siapapun, sebagaimana sebuah keyakinan yang tidak bisa dipaksakan kepada siapapun.
Saya kira, kita harus mengembalikan makna Islam dengan sebenar-benarnya sehingga Islam bisa memberikan kontribusi besar bagi upaya-upaya penegakan hak-hak asasi manusia dan penghapusan diskriminasi. Label kafir dapat saja melekat pada diri siapapun yang anti kemanusiaan, entah muslim, yahudi, kristen, kepercayaan, dan sebagainya. Karena menurut saya, “al kafirun humudzolimun”, yang kafir adalah yang berbuat zalim, diskriminatif dan menindas sesamanya.
Dalam konteks ini pula, saya pun merasa prihatin terkait dengan hadirnya sejumlah rancangan perundang-undangan, seperti: RUU Kerukunan Umat Beragama, RUU Hukum Terapan Peradilan Agama dalam Bidang Perkawinan, dan lain-lain, yang memuat unsur-unsur diskriminasi dan membeda-bedakan agama di dalamnya. Terlebih itu dilakukan atas nama ajaran agama dan dilakukan pula oleh lembaga yang mewakili agama-agama. Sekali lagi, ini adalah sebuah kekeliruan pembacaan teks yang tidak mempertimbangkan konteks sosial dengan meniadakan teks-teks lain, sekaligus contoh konkret bagaimana agama menjadi alat kekuasaan.
Terakhir, saya ingin mengutip sebuah syair seorang tokoh sufi muslim, Ibnu Arabi, yang layak direnungkan oleh para tokoh dan pemeluk agama, serta para pemimpin dan pengambil kebijakan. “Hati saya telah terbuka untuk menerima kenyataan-kenyataan. Ada padang rumput bagi gembala kijang-kijang untuk makan. Ada kelenteng-kelenteng diperuntukkan bagi para rahib. Ada pure-pure, dan ada orang-orang Thawaf di Ka’bah. Ada lempeng-lempeng Taurat dan ada lembaran-lembaran Quran. Saya beragama dengan agama cinta. Kemanapun kendaraan cinta itu ada, maka itu adalah agama saya.” Desantara- KH. Husein Muhammad (Pengasuh Pesantren Fahmina, Cirebon)