Pagupon omahe doro
Melu Nippon tambah sengsoro
(Pagupon rumahnya merpati
ikut Jepang semakin sengsara)
Kata-kata Cak Durasim (dalam buku lain disebut Cak Markeso-red) di atas, pernah sangat terkenal di tanah air, khususnya di Jawa Timur. Untuk konteks sosial politik saat itu, tembang Cak Durasim tersebut merepresentasikan satu kritik (bahkan mungkin juga perlawanan) terhadap pemerintah kolonial Jepang.
Bahwa jargon pemerintah Jepang sebagai ‘pahlawan’ Asia, yang memberi kemakmuran bagi bangsa Indonesia, hanyalah bohong belaka. Di telinga pemerintah Jepang, jelas kritik semacam ini sangat menyakitkan dan membahayakan. Karena itu Cak Durasim pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Kidung atau tembang berpantun (yang sering juga disebut jula-juli) seperti itu memang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu pertunjukan Ludruk. Isinya bisa bermacam-macam, tidak melulu berupa kritik politik. Banyak juga persoalan lain yang berhubungan dengan kehidupan remeh-temeh diusung dalam panggung pertunjukan. Sebagaimana dicatat seorang peneliti dari Universitas Hawaii Amerika Serikat, Carl J. Hefner, bahwa dalam pertunjukan-pertunjukan Ludruk yang berlangsung sepanjang malam itu merupakan peristiwa komunal yang sangat penting, yang penuh diwarnai dengan simbol, makna dan juga emosi.
“Di sepanjang malam pertunjukan itu kita seperti menyaksikan berbagai macam dan tingkatan persoalan dinegosiasikan, sebagaimana halnya kontestasi kekuasaan dan otoritas, konflik dan ketegangan yang berlangsung dalam masyarakat lokal dan persoalan-persoalan rumah tangga, eksplorasi yang pas mengenai hubungan-hubungan keluarga dan persoalan moralitas dalam transaksi sosial dan ekonomi,” tulis Hefner.
Di dalam pertunjukan Ludruk, persoalan yang berhubungan dengan pelesatrian nilai-nilai tradisional diperdebatkan, dan dibenturkan dengan tantangan perubahan yang diakibatkan oleh pengaruh modernitas. Persoalan-persoalan generasi antara orang tua dan anak-anak, diberi forum untuk berlangsungnya perdebatan retorika. Isu-isu gender didiskusikan baik secara implisit maupun eksplisit, sebagai satu metode pementasan yang menggambarkan terjadinya perubahan moral dalam dunia sosial. “Konflik-konflik kadang-kadang dipecahkan, tetapi kadang juga tidak. Meskipun demikian pertunjukan ini menyediakan satu ruang ideologi yang aman bagi dialog-dialog yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial yang penting dan mendasar,” tegas Hefner.
Contoh bagaimana persoalan rumah tangga diusung Ludruk dalam kerangka kritik sosial, terlihat dalam Juli-juli Kidungan Nusantara yang disampaikan Cak Kartolo Cs, dalam cerita ‘Kuro Kandas’ berikut:
Tolek bojo sak dalan-dalan
Tapi nek tolek jodho rodo kangelan
Ojok nggawe cara serampangan
Akhire oleh wong wedok nek sing jagoan
Oleh bojo tepak wong wedok sing gak neriman
Mula gawene wani mbarek wong lanang
Blonjo wis cukup ngomong sik kurang
wong wedok ngono iku gak kenek gawe pendaringan
Blonjone kurang gawene ngringik
Poleh masake cuma sethithik
Gak tahu adus ambune rambute sampek tengik
Sing lanang budhal nyambut sing wedok budhal unyik
(cari istri gampang
tapi kalau cari jodoh susah
jangan suka menggampangkan
nantinya dapat perempuan jagoan
dapat istri perempuan yang tidak terima apa adanya
kerjaannya melawan suami
belanja sudah cukup bilangnya masih kurang
perempuan seperti itu tidak bisa dijadikan pendamping
uang belanja kurang kerjaannya mengomel
masaknya hanya sedikit
tidak pernah mandi rambutnya bau apek
suami berangkat kerja dia malah berangkat main)
Seperti halnya jenis kesenian yang lain, Ludruk dalam sejarahnya tak lepas dari bayang-bayang intervensi kekuasaan. Pada masa Orde Baru berkuasa, Ludruk sempat menjadi corong kepentingan pemerintah, mulai dari sosialisasi pembangunan, Program KB, transmigrasi, pariwisata dan semacamnya. Meskipun demikian, menurut Bagio, seorang pengamat kesenian Ludruk, sesungguhnya yang menjadi orientasi para seniman Ludruk bukan semata-mata pada pembangunan sebagai satu tematik atau bahkan membawakan pesan-pesan sponsor pemerintah. “Ketidakberdayaan seniman Ludruk dalam menghadapi ketatnya kontrol pemerintah serta kebutuhan untuk tetap survive mengharuskan para seniman ludruk kala itu harus dapat menyiasati kemauan pemerintah. Maka, tema-tema pembangunan kemudian menjadi bungkus untuk menyampaikan nilai-nilai, sehingga tidak semata-mata menjadi corong program pemerintah,” ujarnya.
Era reformasi pasca ambruknya kekuasaan Orde Baru, ternyata tak juga membawa angin segar kepada nasib kesenian ludruk, hal mana dialami pula oleh mayoritas kesenian tradisional. Ibaratnya, hidup segan mati pun tak mau. “Ludruk merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional yang menjadi korban perubahan selera berkesenian dan selera publik terhadap jenis tontonan dan hiburan," kata Dr Ayu Sutarto, staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember dalam sarasehan dan pelatihan sandiwara Ludruk se-Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) di Surabaya.
Ketergantungan ludruk (sengaja dibuat bergantung) pada pemerintah di masa rezim ORBA membuahkan berkurangnya kemampuan adaptasi seniman ludruk terhadap perkembangan jaman. Tingkat ketertarikan terhadap ludruk semakin lama semakin menurun drastis. Regenerasipun mengalami kemacetan karena kurangnya minat untuk menjadi pewaris aktif kesenian ini.
Dalam situasi seperti itu tidak ada pilihan lain selain melakukan kolaborasi dengan nilai-nilai dan simbol-simbol modernitas serta menggunakan media-media yang dekat dengan gaya hidup modern. Diantaranya, adalah media televisi. Maka, kemudian dapat disaksikan taburan pertunjukan ludruk di stasiun-stasiun televisi seperti Ludruk Tjap Toegoe Pahlawan, Ludruk Glamor, Ludruk Hoki, Bintang Timur dan sebagainya. Menyimak tayangan ludruk-ludruk di atas kita dihadapkan pada kenyataan bahwa tampaknya Ludruk kini sedang berganti wajah. Desantara