Luka Ammatoa Masih Menganga

Bagi komunitas Ammatoa, firman Tuhan turun ke bumi 40 juz, bukan 30. Mereka mengalami pengucilan dan kesewenangan, mulai dicap sesat hingga diserobot tanah leluhurnya.

Jika peraturan daerah (perda) syariat Islam di Bulukumba, Sulawesi Selatan, diterapkan dan dijadikan patokan, komunitas Ammatoa Kajang barangkali tak pantas disebut Islam. Orang Ammatoa tak kenal huruf Arab. Lagi pula, mereka punya paham sendiri soal kitab suci. Mereka punya Pasang Ri Kajang yang terdiri dari 10 juz.”Tuhan sesungguhnya menurunkan firman buat manusia setebal 40 juz. Yang 30 juz, al-Quran itu, ayat Tuhan buat orang lain. Sedangkan buat Ammatoa 10 juz saja, dan itu tertuang dalam kitab lontara Pasang Ri Kajang,” kata Puang Matoa, kepala komunitas di Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba.

Orang Ammatoa betul-betul memegang teguh kitab lontara itu. Pasang ri Kajang menyimpan pesan-pesan luhur. Yakni, penduduk Tana Toa harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Lalu, harus memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan. Orang Ammatoa juga diajarkan untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakal. Pasang ri Kajang juga mengajak untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua aturan itu sebaik-baiknya.

Di luar itu, Kajang juga punya kisah yang barangkali akan membuat sebagian orang Islam mencibir. Syahdan, tersebutlah ulama bernama Datuk Ri Tiro. Dia menyebarkan Islam di tanah Sulawesi Selatan. Datuk Ri Tiro lalu berjumpa dengan Ammatoa. Maka, terjadilah perkelahian seru. Saking hebatnya, adu kadigdayaan itu tak memunculkan pemenang maupun pecundang. Kesaktian sama-sama seimbang.

Orang Ammatoa mendalami betul kisah ini. Mereka lalu memahami, tradisi dan Islam tak boleh, dan tak bisa, saling mengalahkan. Bagi mereka, Islam di Tana Toa adalah soal batiniah, sedang urusan syariat biar orang luar saja yang mengurus.

Kisah macam itu tentu saja suka dianggap irasional—sekadar bumbu hidup dari orang-orang yang selama ini lebih dianggap sebagai “minoritas terpencil”. Kerapkali mereka dinilai sebagai kelompok terbelakang, atau penganut “budaya rendah”. Tak sedikit yang mengira, Ammatoa di Kajang hanya sekumpulan suku terasing dengan paham Animisme.

Para pendukung syariat Islam, lebih-lebih, akan mencap orang Ammatoa sesat. Apalagi jika melihat orang Ammatoa yang tampaknya tak pernah salat, semakin teballah semangat mereka untuk melakukan jihad dan dakwah di tanah Kajang.

Pernah, di tahun 1980an, sekelompok mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, Makassar, datang ke Kajang. Mereka hendak melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN), menyebarkan ajaran agama. Para mahasiswa lama beradu gagasan dengan orang Ammatoa. Mahasiswa-mahasiswa itu nyaris frustasi. Menurut mereka, nalar orang Ammatoa tak bisa diarahkan, orang Ammatoa tak bisa paham Islam.

Maka, setelah keluar dari tempat KKN itu, para mahasiswa menyebarkan ceritanya. Dan, kian kukuhlah citra bahwa Ammatoa benar-benar terbelakang. “Orang-orang Ammatoa adalah suku terpencil yang sungguh pantas untuk diubah,” kata sebagian peserta KKN.

Demikianlah orang Ammatoa dipersepsikan dan diperlakukan. Orang Ammatoa pun pernah mengalami nasib yang lebih pedih. Mereka dianggap sebagai kelompok yang perlu disingkirkan. Saat Kahar Muzakkar menguasai Sulawesi Selatan, orang Ammatoa dikafir-kafirkan. Mereka mendapat perlakuan tak ramah. Suatu ketika, pasukan Kahar Muzakkar tiba-tiba datang dengan parang dan pedang. Mereka meradang ketika melihat penduduk-penduduk desa di Tana Toa tak mau tunduk dan bayar upeti.

Begitu pula, lantaran punya keyakinan yang tak masuk daftar resmi negara, orang Ammatoa nyaris seperti tak dianggap sebagai warga negara. Belum lama ini, mereka harus menerima nasib pahit, untuk ke sekian kalinya. Tanah-tanah leluhur mereka diserobot, diklaim sepihak oleh orang lain. Yang menyedihkan, negara malah melindungi aksi-aksi penyerobotan itu.

Saat itu, ratusan peluru menghujani tubuh-tubuh ringkih petani tak berdosa, hanya karena mereka menuntut hak kepemilikan tanah. Penderitaan menjadi sempurna ketika pengadilan memenangkan PT Lonsum, sebuah perusahaan besar yang lama beroperasi di Bulukumba. Melalui bukti sertifikat, PT Lonsum berhasil memenangkan perkara. Perusahaan ini sukses mengantongi kepemilikan tanah tak kurang dari 500 hektar di Kajang, yang sebagian masih milik adat Tana Toa.

Melalui proses pengadilan, yang terlihat begitu jauh dari rasa keadilan itu, orang Ammatoa harus melepas tanahnya. Ya, orang Ammatoa hanya tahu tanah sebagai suatu yang sakral di Tana Toa. Tapi, itu ternyata tak lebih dihargai ketimbang tanah sebagai sebuah properti. Kitab lontara juga tak pernah dianggap, negara hanya mengakui sertifikat. Dan, bagi adat di Ammatoa, yang tak mengenal tanah sebagai barang yang diperjualbelikan, sertifikat tentu menjadi sesuatu yang aneh. Di Tana Toa, tanah adalah noktah budaya, yang tanpa itu istilah Ammatoa tak mungkin ada.

Tradisi semacam itu telah hidup ratusan tahun. Mereka tak pernah berulah, apalagi berniat membangun negara. Toh, meski usia adat Ammatoa jauh lebih tua dari negara RI itu sendiri, tetap saja hukum-hukum mereka tak pernah dihargai.

Dongeng rakyat, legenda, syair mistik milik Ammatoa juga cuma jadi bahan cemoohan oleh orang luar. Hanya Puang Matoa, si pemimpin Ammatoa, sendirilah yang mengerti bahwa mereka sendiri harus menyiasati hidup dan kehidupan Kajang yang kian didera dunia luar yang begitu cepat berubah. Kisah-kisah kecil itu hanya bagian dari upaya untuk bertahan dari goncangan dunia luar tersebut.

Dan, hingga kini, Ammatoa tetap hidup dengan tradisi itu, di pedalaman, nyaris terisolasi. Orang luar suak mengidentikkan kesunyian Tana Toa itu dengan ilmu gaib dan supranatural. Sebuah kawasan yang gelap, senyap, dan asing. Belum lagi kesan kumuh yang terus melekat. Kondisi semacam itu, serta kesan adanya aura mitis itu membuat orang luar mudah melabelinya sebagai “daerah tak beragama”. Tapi, sungguhkah?

“Tidak juga,” kata PM Laksono, antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. “Ammatoa mengingatkan betapa penting perspektif hidup yang reflektif,” ujarnya. “Dalam suasana hidup yang seperti ini, Puang Matoa berani menjalani hidup paling miskin di antara yang miskin. Kalau semua orang ditakdirkan kaya, maka dia yang paling terakhir kaya.” Jadi, yang jadi masalah, negara, agama (Islam) atau Ammatoa? Desantara / M.Nurkhoiron

BAGIKAN: