Di negeri ini, pemilahan agama dan bukan agama oleh Negara tidak hanya sebatas yang sakral dari yang profan. Apa yang disebut samawi dan bukan samawi (ardli) secara ketat dilekatkan dalam proses pemilahan tersebut. Sebagaimana sering diungkapkan orang, melalui Kepres Tahun 1967, Negara memastikan bahwa agama yang disahkan, karena itu boleh menyandang sebutan agama, hanya yang teruji sebagai samawi; memiliki kitab suci dan tidak hanya terdapat di Indonesia. Maka, hanya Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Buddha, terakhir ditambah Konghucu-lah yang diakui secara resmi. Sementara ratusan agama local, tidak berkitab dan hanya ada di suatu tempat, terlempar dan hanya diakui sebagai kepercayaan atau adat.
Agama resmi, dengan begitu, memperoleh kedudukan dan legitimasi kuat bahkan ketika berhadapan dengan apa yang dikategori sebagai kepercayaan atau adat. Rumusan agama secara politis di satu sisi dan naluri kebenaran mutlak dalam setiap agama resmi di sisi yang lain membangun hubungan antar agama dan adat/ kepercayaan setempat sangat diskriminatif. Dengan mengerek bendera “bangsa beragama” kaum agama resmi bersama birokrasi meng-agamakan para pengikut kepercayaan dan pendukung adat setempat, bahkan dengan cara yang paling kasar sekalipun seperti terbaca dalam liputan utama DESANTARA kali ini.
(Bisri Effendy)