Ada banyak istilah untuk menamai yang satu ini, hubungan seksual. Di antaranya, ada jima’, liqa (Arab) dan bersetubuh,bercinta (Indonesia). Baik jima’ dan liqa maupun bersetubuh dan bercinta, sama-sama berarti sebuah pertemuan, perpaduan, dan kebersamaan antara dua makhluk berbeda kelamin. Karena itun dapat dipahami jika Erich Fromm, misalnya, menyatakan seks menyediakan bagi bertemunya kembali kebersamaan manusiawi. Bahkan dalam pengertiannya yang biologis pun, jima’ atau bersetubuh dapat dipahami sebagai penyatuan jantan dan betina, sebagai bagian dari kesadaran reproduksi, untuk menjaga keberlanjutan proses penciptaan melalui dialektika kemakhlukan dan kekhalikan.
Tetapi ternyata seks tak mampu menghindar dari cakupan eksternal. Bahkan kini, ia menjadi bagian sangat penting dari kepentingan-kepentingan rezim agama, pengetahuan, politik dan capital. Akibatnya adalah terjadinya pe-wadag-an atau pen-tubuh-an seksualitas. Contoh, dalam tradisi Islam, para ahli fiqh kemudian merumuskan hubungan seksual sebagai dukhul yang berarti memasukkan penis ke dalam vagina. Mirip dengan apa yang terjadi dalam tradisi klangenan priyayi Jawa, curiga manjing warangka, yang secara harfiah berarti keris masuk rangkanya, kemudian dipakai untuk menamai (simbolik) ujud paling konkrit seksualitas. Lokus seksualitas pun berpindah dari kerinduan kebersamaan manusiawi menjadi kelezatan dan kenikmatan sesaat yang ukuran-ukurannya pun sangat fisik; zakar besar-panjang dan vagina sempit…
di dalam rengkuhan kekuatan-kekuatan luar itu, seks atau seksualitas benar-benar berubah wajah;dari yang religious dan manusiawi menjadi porno, saru, dan karenanya harus dikenai hokum-hukum formal. Ke-porno-an dank e-saru-an yang tampaknya hanya muncul ketika seksualitas itu sendiri dibungkus, direduksi, dan dikontrol oleh agama, pengetahuan, politik, dan capital.
(Bisri Effendy)