Seorang kawan yang dikenal sebagai aktivis selalu meluangkan waktu mengunjungi McDonal’s. Parodoks: aktivis kok bertamu ke rumah Kapitalis, menyantap hidangannya lalu keluar sambil menenteng dengan bangga kantong plastik ber-merk McDonal’s laksana pangeran menggandeng permaisuri. Tentu ada alasan yang melatarinya, bukan? “Ini pesoalan performance dan lifestyle,” katanya diselingi tawa.
Boleh jadi jawaban kawan kita itu benar: bahwa McDonal’s tidak sekedar makanan yang mengenyangkan perut, tapi juga menorehkan image dan citra dalam diri korbannya: lebih modern, lebih gagah, lebih terhormat dan sejuta angan kelebihan lainnya. Hebatnya, citra yang ke-wah-an tidak hanya menghipnotis remaja atau orang tua, tapi juga anak-anak kecil. Subhan, anak bungsu saudara saya yang tinggal di Jakarta yang berusia 6 tahun, merengek-rengek di depan ibunya. Pasalnya, ia ingin acara ultah-nya diadakan di Mcdonal’s. Dari mana Subhan punya pikiran seperti itu? Ternyata beberapa teman sekolahnya di TK sudah biasa merayakan ul-tah di ruamah makan seperti itu.
Saya ingin mencantumkan lagi satu kenyataan bahwa McDonal’s menguasai semua orang tanpa memandang kelas, ras, usia. Anggia, anak jalanan yang sering mangkal di Pasar Jum’at Lebak bulus, sudah terbiasa membelanjakan hasil ngamen dan ngemisnya di McDonal’s. Lifestyle seperti apa yang diingiunkan oleh Anggia? Lagi-lagi, McDonal’s menjadi prestise di antara komunitasnya: ini bukti bahwa saya lebih hebat dari kalian dalam mencari uang.
Sekali lagi, McDonal’s bukan sekedar persoalan perut, tapi jua ideologis: Amerikanisasi. Dalam persoalan ideologis, ada jaring kuasa yang sedang ditebar. Jaring kuasa ini, menurut Foucalt, tidak melulu harus difahami dan dimaknai sebagai sesuatu yang refresif. Dalam fenomena diatas, jaring kuasa mengambil bentuk mengenakkan, nikmat, bahkan melahirkan kebanggaan: menindas tapi tidak seperti menindas. Buktinya, ketika McDonal’s dibuka pertama kali di Sarinah, Jakarta, sekeitar lima tahun yang lalu, Bambang N. Rachmadi, bos McDonal’s Indonesia, saat itu sampai tidak tahu jam berapa restorannya harus tutup [Bre Redana, 2002].
Kinerja kuasa yang mengenakan melalui produk makanan ini mengingatkan saya pada Abu Hurairah, sahabat Nabi yang disebut oleh Mahmud Rayyah sebagai Syeikh Al-Mudhirrah. Mudhirrah adalah sejenis makanan favorit dan kesukaan Mu’awiyyah, seorang raja dinasti Umayyah. Konon, jika seseorang mencicipi makanan itu, serta merta akan mendukung dan menjadi budak Mu’awiyyah. Di antara sahabat yang pernah menikmati makanan itu adalah Abu Hurairah. Sehingga, melalui lisannya mengalir ribuan hadis palsu mengagungkan dan memuji penguasa dinasti Ummayyah serta menjelek-jelekkan semua rival politiknya.
Akankah McDonal’s sebagai gaya hidup membuat kita semakian terpesona pada Amerika beserta seluruh produknya (fashion, musik, film, dll) dan bangga menjadi budaknya? Dan, pada akhirnya, kita akan menyingkirkan semua produk lokal dan mengangapnya sebagai produk kuno, tak berbudaya dan nora. Lalu, bagaimana menyikapi fenomena tersebut? Apakah hanya dengan ungkapan:”Ini sudah garis takdir, nanti juga akan muncul takdir lain yang akan menggantikannya”, atau “Memang, ini kurang baik, tapi apa yang bisa kita lakukan?” atau juga “Bagaimanapun ini merupakan imprealisme kultural yang harus dilawan. Dan, kita harus menyiapkan langkah dan strategi kultural unutk menghadangnya”? Desantara