Singgahan. Sebuah desa yang terletak di lereng Barat pegunungan Wilis dan membawahi enam dusun yang meliputi Krajan, Ngradi, Singgahan Lor, Cengkir, Mojo, dan Puthuk Suren, mungkin bisa mewakili gambaran kehidupan berkesenian pada umumnya di Ponorogo. Atau paling tidak, mewakili dinamika politik budaya lokal yang khas di sana semenjak reyog ditetapkan sebagai ikon resmi budaya daerah.
Penuturan Mahfud mengenai nasib kesenian thik ini menarik disimak. “Kelompok jaranan thik didirikan atas nama masyarakat Singgahan. Tak jarang mereka iuran sendiri untuk menggelar pertunjukan. Sementara, reyog menerima dana resmi dari pemerintah. Ketika menyebut tokoh reyog, sama artinya dengan menyebut para tokoh desa.” Begitu ujarnya.Ungkapan di atas sedikitnya memberi gambaran bagaimana posisi politik jaranan thik dalam konteks kehidupan kesenian di Singgahan. Perseteruan antara jaranan thik dan reyog tidak semata ketegangan antar kelompok kesenian, tapi juga bagian dari masalah politik lokal.
Di Singgahan reyog selalu menjadi ikon resmi desa. Meski sebenarnya Singgahan bisa dibilang desa seni yang subur oleh berbagai jenis kesenian tradisional macam reyog, jaranan thik, gajah-gajahan, tayub, keling, dan sebagainya. Dalam setiap acara-acara resmi, reyog pasti dipentaskan. Dananya pun kerap ditanggung desa. Bahkan kata Pak Saiman, setiap acara desa yang ada hubungan dengan keramaian, seperti peringatan kemerdekaan RI atau bersih desa, reyog bisa dipastikan menjadi kesenian yang dipertunjukkan. Hanya sesekali saja kesenian lain, seperti jaranan thik, tampil. Itupun kalau ada “dana ekstra”.
Memang sih harus diakui kalau reyog pun sebenarnya jarang memperoleh “dana pembinaan” yang memadai dari dana desa. Kalaupun ada dana insentif dari desa nilainya sangat kecil. Tak jarang warga sendiri yang menanggung kekurangan dana yang jumlahnya jauh lebih besar dari dana bantuan desa. Namun masalahnya bagi para seniman non-reyog perbedaan perlakukan aparat desa ini dirasa tidak adil. Sekecil apapun bantuan dana yang dikucurkan untuk komunitas reyog itu menandakan pengistimewaan terhadap reyog. Sikap yang hampir tidak pernah diterima seniman jaranan thik dan juga seniman lain.
Boleh dibilang kesenian reyog di mata aparat desa Singgahan menempati kasta tertinggi di antara jenis kesenian lain. Bukan hanya privelese yang membuat reyog menjadi satu-satunya kesenian yang dominan. Sebagaimana terjadi di Ngradi, aparat dusunnya terkesan menghalang-halangi saat jaranan thik hendak tampil dalam acara-acara dusun. “Suara yang sering terdengar dari pihak aparat adalah jaranan thik dianggap memecah belah persatuan,“ aku Mahfud.
Entah persatuan macam apa yang diimajinasikan aparat dusun itu. Semacam retorika Orde Baru jaman dulukah atau persatuan dalam arti yang lain. Tapi yang jelas di benak para seniman macam jaranan thik, slogan “persatuan” rupanya dipandang sebagai upaya menunggalkan ekspresi kesenian masyarakat dalam reyog. Persatuan menunjuk pada tiadanya diversifikasi kesenian masyarakat. Dengan imajinasi semacam itu tidak mengherankan bila kemudian jaranan thik distigma sebagai kesenian pemecah belah persatuan. Apalagi sejak awal beberapa aparat desa yang menjadi bagian dari komunitas reyog sudah memperlihatkan rasa tidak senangnya ketika jaranan thik Turonggo Sakti berdiri.
Bagaimanapun juga retorika “persatuan” aparat desa ini juga memperlihatkan fenomena yang menarik. Slogan itu sekaligus menandai mulai bergesernya isu kebudayaan di Singgahan dari kontestasi antarkesenian ke arah konflik ideologis-politis. Penilaian seperti ini bukan mengada-ada. Setidaknya sikap inilah yang pernah dirasakan oleh komunitas jaranan thik.
Komunitas jaranan thik merasa kamituo (kepala dusun) tidak suka dengan adanya kelompok jaranan thik Turonggo Sakti di dusunnya. Jadilah kemudian sikap suka dan tidak suka ini diekspresikan dalam bahasa-bahasa politik. Komunitas jaranan thik dipandang sebagai anggota masyarakat yang secara politis melawan aparat pemerintahan dusun. Misalnya, suatu hari, komunitas thik mengadakan kerja bakti membersihkan saluran air di pingir jalan Dusun Ngradi. Hanya karena kegiatan ini tidak diinformasikan ke aparat pemerintahan dusun, mereka dituduh akan mendirikan kamituwan (dusun) sendiri.
Dalam konteks kehidupan desa di mana harmoni sosial menjadi sesuatu yang sangat berharga, tuduhan tersebut tampaknya mengindikasikan suatu konflik politik yang cukup serius. Resiko sosial-politik pun tidak mustahil akan diterima komunitas seniman thik, jika aparat desa mengklaim keberadaan mereka mengganggu harmoni atau stabilitas sosial seperti jaman dulu. Begitu juga terhadap kesenian-kesenian lain yang berhadapan dengan homogenisasi dan hegemoni reyog di seluruh wilayah Ponorogo.
Inilah potret singkat perseteruan reyog dengan jaranan thik, di mana sejarah, legenda, dongeng, menjadi wilayah perebutan makna untuk mengukuhkan posisi masing-masing dan saling melakukan delegitimasi. Wilayah-wilayah yang diperebutkan itu tentu saja bukan sebuah dunia yang isolatif, tapi sebuah dunia yang langsung terhubung dengan praktek-praktek politik lokal. Desantara / Ahmad Zainul Hamdi