Fenomena penyingkiran minoritas pribumi atau penduduk pribumi nampaknya bukan hal yang asing terjadi di Indonesia, begitu juga di belahan dunia yang lain. Penduduk pribumi nyaris terpinggirkan, termarginalkan dari dinamika suatu dunia dalam berbagai aspek kehidupan. Mereka disingkirkan dan dimarjinalkan dalam ranah politik, kebijakan publik, akses ekonomi, akses pendidikan, akses birokrasi dan sebagainya.
Malangnya, peminggiran dan pemarginalan warga asli suatu daerah selalu dibarengi dengan stigma buruk yang ditujukan kepada penduduk pribumi . Di Papua sangat terasa ketika penduduk asli Papua yang selama ini mendiami di pinggiran pantai, pegunungan, lembah, di daerah aliran sungai di seluruh Papua sangat tersisihkan dari sistem pemerintahan, sistem politik, ekonomi , jangkaun kesehatan yangm memadai, kualitas pendidikan yang rendah, dan monopoli atas kekayaaan alam masyarakat Asli hanya atas nama sebuah “pembangunan” yang ternyata lebih tepat disebut “pembuangan .”
Akankah seluruh rakytat asli Papua mengalami hal yang sama seperti Orang Aborigin di Australia, Betawi di Jakarta, Amungme di Timika , Orang Enggros Di Tobati? Bagaimana kepedulian para birokrat, politisi, dan pemburu dollar di Negeri ini ? Sadarkah kita akan peminggiran masyarakat pribumi Papua yang selama ini masyarakat menjerit dan menjerit dari keterpinggiran , keterjepitan, himpitan, tekanan social ekonomi mereka ? Menilik pergumulan, keterjepitan masyarakat Asli Papua inilah saya sebagai anak Negeri Papua menguraikan di atas lembaran ini agar menjadi perhatian kita bersama di Buana Papua ini terutama kepada para politisi, birokrat, dan pemburu dollar di atas negeri Paradise ini .
Di negeri Kangguru Australia misalnya Orang Negrito alias Aborigin. Kelompok masyarakat ini sudah bertahun-bertahun lamanya menjadi kelompok masyarakat yang termarginalkan , terpinggirkan dari perhatian pemerintah Australia dengan stigma bahwa orang terbelakang ,pemabuk pemalas, dan lebel stigma lainnya . Keterlibatan mereka dalam pemerintahan, perpolitikan, kebijakan , ekonomi, pendidikan disisihkan dari jangkauan , gapaian sehingga menjadi penonton dari sebuah penindasan, pemanfaatan semua hak ulayat kaum Aborigin . Nilai sumber daya manusia dan sumber daya alam dimanfaatkan,, digunakan untuk kepentingan pemerintah, swasta , LSM bahkan kepentingan pribadi . Masyarakat dan kekayaan alam yang diatasnya yang notabenennya milik ulayatnya dijadikan sebagai ajang, obyek bagi kaum birokrat,politisi, kapitalis demi memperkayakan dirinya . Sementara kekayaan alam dikuras, digadai, dirusak , manusianyapun turut digeserkan dari semua dimensi kehidupan maka jadinya masyarakat lokal menjadi pengemis, miskin diatas kekayaan alamnya . Seperti kata Yoasap Awandoi merantau di negeri sendiri.
Kesorot di Jakarta ibukota Negara ini , Orang Betawi Asli yang punya ulayat Tanah Jakarta ini kini hidup di pinggiran kota Jakarta yang hidup cukup memprihatinkan . Semua tanah ulayat telah diambil alih , dijadikan , dirampas dari masyarakat yang kini jadikan pembangunan kantor-kantor pemerintah , gedung bisnis yang megah , pengembangan perusahaan-perusahaan dan lainya, kini masyarakat lokal Betawi hilang dari gemuruh, dinamika kota Jakarta . Tak ada yang pernah memperhitungkan dalam semua dinamika, malahan turut menuding dengan berbagai preseden buruk yang menyurutkan orang Betawi . Orang ketinggalan zaman, pemeras, pengemis, dan lainnya itulah yang dialamatkan kepada mereka padahal mereka terhimpit diantara semua orang yang memiki kepentingan untuk memanfaatkan kekayaan alam maupun kekayaan manusia manusia tanpa memberdayakan mereka dari keterpurukan . Sebenarnya kelompok sekolot, sesederhana apapun pasti ada benang-benang merahnya untuk memberdayakan, mengangkat, membangun, menata dari keterpinggiran,ketersisian , ketertindasan pisikis , psikologis mereka . Namun dalam kenyaatannya para pemburu dollar , maupun pemburu jabatan, dan kepentingan lainnya malahan turut membunuh, memberangus, menindas, memanfaatkan potensi pengembangan masyarakat lokal yang harusnya diangkat, dikembangkan . Malahan kelompok ini dilindas dengan derunya semua kepentingan kaum pendatang yang hendak memburu kekayaan kaum pribumi.
Meninjau kota-kota besar di Papua , nyaris hampir semua daerah masyarakat lokal di kota tersebut selalu berada dalam sebuah lingkaran yang distigmakan oleh para pemburu dollar, pemburu jabatan dan pemburu lainnya . Di Timika , Orang Amungme dan Kamoro adalah anggota OPM, Pemabuk, kolot, pembangkang , pemabuk dan lainnya adalah sebuah stigma yang mewacana di kalangan kaum migran baik migrant lokal maupun pendatang dari luar papua . Stigma buruk yang mematikanm ini sengaja dibangun, diwacanakan secara luas dengan memanfaatkan semua media yang ada demi mematikan kreativitas, apreasi masyarakat pribumi sehingga kaum pemburu bersanding, bersandiwara, bergelimanng harta , dan hidup tenang diatas kekayaan dan penderitaan rakyat asli . Penduduk asli menjadi ajang bagi semua orang yang di daerah mereka sekaligus datang memanfaatkan semua kekayaan ( manusia maupun Sumber daya alam ) tanpa memperhitungkan , menghargai , mensyukuri kepada masyarakat pribumi . Dalam benak pemburu emas, politisi, birokrat juga kaum migrant dari masyarakat pribumi adalah bagaimana melibas, meminggirkan, memanfaatkan potensi (alam dan manusia ) masyarakat demi melanggengkan kepentingan mereka tanpa memperdulikan, memerhatikan, memberdayakan . Perilaku, tindakan, pola pikir demikian kapan kita mengangkat masyarakat pribumi sebagai wujud ucapan rasa syukur dan balas jasa kepada mereka ? Hanya karena mereka ada dan kita hidup diatas tanah mereka maka kita dengan sebebas-bebasnya dapat mencari nafkah hidup, menikmati , berkarya dengan tenang tanpa ada tekanan. Ketika kita tidak memberdayakan, memberikan hak kesulungan mereka, mengangkat dari berbagai keterpurukan maka kita semua akan menanggung dan mempertanggungkan dosa besar kepada Yang Maha Kuasa , dimana secara nyata-nyata kita tidak buat banyak bagi kaum pribumi yang sengaja kita termarginalkan yang notebenenya merekalah yang punya tanah, kekayaan alam sehingga kita dapat menikmatinya , mencari nafkah hidup dan menghidupi bagi keluarga kita .
Kita lihat lagi kondisi masyarakat pribumi di Kota Jayapura , Nyaris sebagian penduduk pribumi yang hidup di pinggiran dengan kondisi ketertinggalan dari semua dimensi kehidupan . Masyarakat Enggros, Tobati, Sentani yang dulunya mereka yang memiliki ulayat menguasai daerah kota Jaypura , Abepura dan sekitarnya kini sudah beralih tangan kepada pemerintah , pengusaha dan lainnya sehingga kini mereka hidup di atas air laut alias rumberlab ( rumah berlabuh ) juga pinggiran danau sentani . Untuk menyudutkan , meminggirkan, memarginalkan , manusia pemburu membangun opini publik yang mematikan bukan wacana membangunkan via potensi masyarakat pribumi yang dimilikinya . Orang membangun wacana orang sentani, engross, tobati dan sekitarnya adalah pemabuk, pemalang, paling kotor, pemalas kerja dan lainya yang semakin meminggirkan mereka .Turut didukung pula tekanan ekonomi, politik dan social lainnnya semakin memarginalkan mereka ,lalu bagaimana kepedulian akan kondisi masyarakat pribumi yang punya hak ulayat ini? Emanuel Goo, Wartawan tinggal di Nabire, Papua