Riza Bahtiar*
Entah tahun berapa tepatnya, saat itu Desantara mengadakan acara Halaqah Kebudayaan di daerah Banjarbaru bila saya tak salah ingat. Sepertinya pada paruh pertama dekade 2000-an. Saat itu, saya jadi panitia utama. Ya, jadi panitia, ya moderator. Banyak pelaku seni dan pegiat budaya yang diundang.
Tentu saja Mas Bisri datang dalam acara ini. Mas Bisri adalah magnetnya. Saya kira, saat saya jadi moderator, saya mungkin sempat menggiring Mas Bisri jadi agak rikuh. Pasalnya, saat memberi pengantar saya memakai bahasa Banjar. Mungkin ini faktor ego kedaerahan dan keanakmudaan yang membuncah.
Beberapa tahun saya habiskan di Ciputat, menyerap diskursus ilmu sosial dan filsafat, lantas dilanjutkan dengan memamah teori-teori kebudayaan maupun poskolonialisme, sehingga saat mengadakan diskusi kebudayaan di daerah sendiri, ada banyak gairah yang meluap-luap. Tapi, boleh jadi juga Mas Bisri anteng-anteng saja. Pengalaman lapangan beliau yang sangat luas jelas jadi alasan. Sayang, saya tidak sempat menanyakan pada beliau bagaimana perasaan beliau atas acara Halaqah Kebudayaan tersebut saat sudah kembali di Depok. Acara berjalan lumayan lancar seingat saya.
Saat acara berlangsung saya sempat menangkap ada yang mengemukakan beberapa kritik sejarah atas sejarah nasional Indonesia. Pijakannya jelas dari buku C. Van Dijk tentang Darul Islam. Konteks yang dibicarakan adalah program rasionalisasi tentara yang dijalankan Presiden Soekarno yang menelurkan pemberontakan Ibnu Hajar. Brigjend Hasan Basri yang dibuang ke Mesir karena bisa menghambat program rasionalisasi. Ada nada romantisme yang getir dan agak menggugat. Program rasionalisasi Soekarno dituduh sebagai jawanisasi. Begitulah uniknya, halaqah kebudayaan Desantara justru membicarakan ihwal sejarah yang marjinal.
Ada nada romantisme yang getir dan agak menggugat. Program rasionalisasi Soekarno dituduh sebagai jawanisasi. Begitulah uniknya, halaqah kebudayaan Desantara justru membicarakan ihwal sejarah yang marjinal.
Malam ini lewat Zoom akan diadakan acara Haul Mas Bisri dan 40 hari meninggalnya istri beliau Ibu Siti Anjariyah. Acara ini dirangkai juga dengan Launching Buku berjudul Agama, Kebudayaan, dan Rekonsiliasi: Obituari Bisri Effendy. Sebagai salah seorang yang pernah jadi ‘santri kebudayaan’ Mas Bisri, saya didapuk untuk ikut menulis dalam buku di atas. Sebuah kehormatan yang luar biasa karena nama semenjana saya rupanya bersanding dengan penulis-penulis besar.
Sayang, ada dua guru yang tak ikut menyumbangkan tulisan, yakni Mas Ahmad Baso dan Mas Hairus Salim. Andaikata keduanya menulis, setidaknya ada jejak-jejak intelektualisme yang bisa diraba.
*Penulis Associate Desantara; tinggal di Kalimantan Selatan