Toni Pangcu
Terus terang sampai sekarang saya benar-benar lupa, kapan saya pertama kali kenal atau bertemu pertama kali dengan Mas Bisri. Di Lakpesdam, LIPI, P3M, atau di mana. Juga selama ini saya tidak intensif atau sering ketemu beliau. Mungkin yang agak intensif adalah pada saat beliau mau menulis saoal pengembangan masyarakat di Pesantren Annuqayah. Itu pun tidak ada yang saya ingat. Yang pasti, buku yang beliau tulis tentang Pesantren Annuqayah dan Pengembangan Masyarakat yang diterbitkan oleh BPM telah menjadi “buku babon” di lingkungan Pesantren Annuqayah. Setiap ada yang buat tulisan tentang Annuqayah, oleh pihak Pesantren dianjurkan untuk baca buku ini.
Dengan segala keterbatasan intensitas dan komunikasi saya dengan Mas Bisri, saya hanya ingat satu hal tentang Mas Bisri. Pada 1989, Lakpesdam PBNU dengan dukungan dana dari the Asia Foundation (TAF) dalam menghadapi Muktamar NU di Krapyak berencana membuat suatu penelitian atau studi. Yang tujuannya –jika tidak salah– ingin mengetahui “apa saja yang telah dibuat NU untuk masyarakat dan keahlian apa yang dimiliki NU”. Semangatnya tentu kegiatan dan keahlian yang berkaitan dengan pengembangan masyarakat (community development pada masa itu)
Untuk penelitian itu, Mas MM Billah yang waktu itu aktif sebagai pengurus Lakpesdam PBNU memanggil saya. Mas Billah minta saya yang mengkoordinir secara teknis penelitiannya. Terus terang, saya keberatan atau tidak mau menerima tugas ini, karena saya tidak punya dasar ilmu penelitian. Tapi Mas Billah mengatakan bahwa Gus Dur yang minta saya mengkoordinir penelitian tersebut. Ya, saya terima dengan syarat saya boleh memilih tim penelitiannya dan saya sendiri ikut meneliti di lapangan yaitu di Jawa Timur. Seingat saya lokasi penelitiannya di Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Salah satu orang yang saya kontak untuk penelitian tersebut adalah Mas Bisri Effendi. Saya minta beliau untuk ikut tim ini dan turun ke lapangan. Tapi beliau menolak dengan alasan “saya santri, sehingga saya tidak akan bisa objektif jika saya menulis tentang kiai atau NU. Sudah cocok dan tepat kamu yang diminta untuk mengkoordinir, karena kamu pasti bisa objektif. Tidak ada rasa sungkan kepada kiai”. Itu hal yang sampai sekarang saya ingat, karena Mas Bisri tahu saya tidak pernah mondok di pesantren dan saya kuliah di ITB. Dan ternyata dugaan Mas Bisri benar, bukan hanya objektif mungkin sudah kurang ajar, karena semua temuan lapangan saya tulis dalam laporan penelitian tersebut. Sehingga ada komentar di lingkungan pengurus Lakpesdam saat itu, jika laporannya seperti ini dan ini diketahui oleh pihak funding bisa-bisa Lakpesdam susah mendapat dana untuk kegiatan di lapangan. Komentar saya waktu itu begini. Tugas saya adalah menyampaikan apa yang ada di lapangan. Jika untuk publikasi ke luar itu adalah hak pengurus.
Setelah Mas Bisri mendirikan Desantara, saya hanya kontak melalui telepon dan beberapa kali di acara seminar atau pelatihan. Tapi tidak ada omongan yang serius. Ya, karena kebetulan saya jika ketemu teman, memang tidak terlalu suka ngomong yang serius, he, he, he. Karena itu, saya tidak bisa menulis yang berakitan dengan pikiran-pikiran Mas Bisri. Selama ini memang tidak pernah diskusi serius dengan beliau. Yang pasti Mas Bisri adalah teman yang enak diajak ngobrol, bisa guyonan, tidak selalu serius dan tidak pernah menggurui lawan bicaranya. Saya amat terkejut ketika dengar Mas Bisri wafat. Masih relatif muda usianya dan masih energik serta masih diperlukan kehadirannya. Tapi mungkin Allah memang selalu sayang pada orang-orang yang baik. Alfatihah buat Mas Bisri.
Malang, 08 Oktober 2020
Toni Pangcu. Pengamat Musik dan Budaya Popular. Tinggal di Malang, Jawa Timur.